Jutaan Hektare Lahan Sawit Terkena Dampak Regulasi Gambut

Jutaan Hektare Lahan Sawit Terkena Dampak Regulasi Gambut
Ilustrasi

PEKANBARU - Sekitar satu juta hektare lahan kelapa sawit di Indonesia akan dialihfungsikan karena terdampak regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, disela Rapat Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Perkebunan tahun 2017, di Pekanbaru, Rabu (26/4). Menurut dia, sekitar satu juta hektare (Ha) sawit tersebut kemungkinan adalah perkebunan milik perusahaan yang mendapat izin hak guna usaha (HGU).

Ia mengatakan, kini luas lahan sawit di Indonesia berdasarkan data Kementerian Pertanian mencapai 11,9 juta Ha, sebelum adanya regulasi gambut.

"Dari total 11,9 juta hektare (sawit) ini, satu juta di antaranya bakal harus ditinggalkan oleh pemiliknya karena HGU tidak lagi boleh melanjutkan menanam kembali sawit di areal gambut sesuai PP 57/2016," katanya kepada wartawan.

Bambang mengatakan, meski regulasi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengembalikan fungsi hidrologis gambut, namun pengalihfungsian dari areal sawit tetap berisiko. Sebabnya, ketika area sawit itu direstorasi, belum ada kepastian siapa yang harus menjaganya.

"Risiko itu yakni kemungkinan lahan gambut yang ditinggalkan dan tidak ditanam ulang itu menjadi rusak, karena tidak lagi diawasi secara berkelanjutan seperti praktik yang berjalan saat ini," katanya.

Sementara itu, Pemprov Riau menyatakan regulasi tentang gambut serta empat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai aturan turunannya, berpotensi berdampak pada perusahaan besar terhadap disektor perkebunan yang menggunakan areal gambut. Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Riau Masperi mengatakan dampak itu yang jelas bakal memberi pengaruh dari segi produksi hasil kebun.

"Dampaknya bakal besar khususnya ke hasil produksi. Misalnya ada perusahaan punya HGU 1 juta hektare, karena aturan ini dipangkas 500.000 hektare jadi sisanya tinggal setengah," katanya.

Menurut dia, Pemprov Riau tidak bisa menolak kebijakan itu, namun akan mencoba menyinergikan agar tidak berdampak negatif terhadap dunia usaha dan pendapatan daerah.

Apalagi, selama ini sektor perekebunan khususnya kelapa sawit memberi kontribusi hingga 59 persen, yaitu senilai Rp86 triliun per tahun untuk ekonomi Riau.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Provinsi Riau juga meminta agar pemerintah mengevaluasi Peraturan Pemerintah No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, beserta empat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai regulasi urunannya, karena penerapan aturan baru itu berpengaruh pada pengelolaan budidaya sawit.

"Regulasi itu tidak bisa dipaksakan karena jelas berpengaruh pada bisnis kelapa sawit," kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau, Saut Sihombing.

Luas perkebunan kelapa sawit di Riau kini mencapai sekitar tiga juta hektare (Ha). Dari total luas kebun sawit tersebut, 45 persen lahan sawit dimiliki masyarakat, 40 persen milik perusahaan, dan sisanya lahan petani plasma.

"Mari kita bersama-sama mendukung pengembangan kelapa sawit nasional sebagai penopang perekonomian, bukan malah menyulitkan dengan beragam aturan yang ketat. Bila memang ada masalah dalam tata kelola sawit, mari sama-sama dibenahi bukan ditambah sulit dengan aturan baru," katanya.

Menurut dia, ada salah satu poin dalam regulasi baru itu yang sulit diimplementasikan terkait mengatur tentang pengelolaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter, yang harus diubah statusnya menjadi hutan lindung. Padahal, ia mengatakan Riau memiliki luasan lahan gambut mencapai 3,8 juta Ha, dan 75 persen di antaranya memiliki kedalaman di atas tiga meter.

Selain itu, ada poin dalam regulasi itu yang mengatur ketinggian muka air pada lahan gambut ditetapkan harus setinggi 40 centimeter (0,4 meter), akan sulit dipraktikan dilapangan.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, produk ekspor sawit dan turunannya mencapai lebih dari 154 jenis, dengan nilai ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk hilir turunannya pada 2016 mencapai 18,6 miliar dolar AS. Pada tahun yang sama, industri kelapa sawit juga telah menyumbang penerimaan pajak mencapai 2,23 persen dari penerimaan pajak sekitar Rp1.230 triliun.

Industri kelapa sawit hulu-hilir menyerap 5,3 juta tenaga kerja, didominasi sektor perkebunan kelapa sawit dan menghidupi lebih dari 21,2 juta orang. (Ant)

Halaman :

Berita Lainnya

Index