20.790 Pekerja Di-PHK Akibat Penerapan Regulasi Gambut

20.790 Pekerja Di-PHK Akibat Penerapan Regulasi Gambut
Ilustrasi

PEKANBARU - Asosiasi Pengusaha Indonesia menyatakan penerapan regulasi gambut untuk hutan tanaman industri melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.17/2017, tidak bisa dipaksakan karena akan berimplikasi pemutusan tenaga kerja hingga 20.790 orang di Provinsi Riau.

"Potensi pemutusan hubungan kerja atau PHK tidak bisa dihindari, disektor hutan tanaman industri saja dapat mencapai 20.790 orang yang terdiri atas karyawan langsung sebanyak 3.471 orang dan karyawan tidak langsung atau kontraktor mencapai 17.319 orang," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Riau, Wijatmoko Rah Trisno, di Pekanbaru, Kamis.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada Februari 2017 mengeluarkan aturan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut melalui empat Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Salah satunya adalah Permen No. P.17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Dalam aturan itu, terdapat konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan dengan fungsi ekosistem gambut, sehingga perusahaan selaku pemegang izin harus merevisi rencana kerja usaha (RKU) paling lambat 30 hari setelah menerima peta fungsi kosistem gambut. Konsesi yang masuk dalam fungsi ekosistem gambut dan sudah ada tanaman industri, hanya dapat dipanen satu daur dan tidak boleh ditanami kembali karena wajib dilakukan pemulihan.

Ia mengatakan, PHK akan mulai terjadi secara bertahap hingga lima tahun ke depan karena penggunaan pekerja menurun seiring luas konsesi HTI yang akan berkurang. Wijatmoko mengungkapkan sekitar 76 persen konsesi HTI, atau 380.000 hektare (Ha) dari total realisasi tanaman pokok seluas 449.980 Ha, telah masuk dalam peta fungsi ekosistem gambut. Dengan begitu, luas HTI yang tersisa hanya 24 persen, atau seluas 120.829 Ha.

Kemudian, areal untuk tanaman kehidupan yang masuk ke dalam fungsi ekosistem gambut mencapai 73 persen, atau sekitar 16.000 Ha, sehingga hanya 7.000 Ha yang tersisa.

"Total areal tanaman pokok HTI dan tanaman budidaya di Riau mencapai 398.000 hektare, dan lahan gambut itu harus direstorasi dengan biaya ditanggung oleh pengusaha," katanya.

Meski dalam Permen No.17/2017 terbuka peluang bagi pemegang izin konsesi mengajukan lahan usaha pengganti (land swap), namun Wijatmoko menilai hingga kini lokasinya tidak jelas.

"Proses land swap untuk Riau belum jelas dimana, itu yang juga menjadi masalah. Lokasinya tentu harus ditanah mineral, bukan lagi gambut, tapi di Riau saya ragu itu ada. Kalau lokasinya di luar Riau, itu tidak mudah untuk memindahkannya dan justru berdampak negatif pada daya saing produk," ujarnya.

Ia mengatakan Apindo Riau kini berusaha membuka komunikasi dengan Pemprov Riau untuk mencari solusi masalah ini. Sebabnya, dampaknya juga akan bermuara pada pendapatan daerah karena industri pulp dan kertas selama ini menyumbang sekitar 9,8 persen untuk Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau per tahun.

Selain itu, ia juga meminta agar serikat buruh jangan sampai melakukan demonstrasi meski sudah ada kegelisahan karena terancam kehilangan pekerjaan.

"Tidak ada perusahaan yang ingin berlawanan dengan pemerintah, namun kita harapkan kearifan pemerintah untuk melihat dampak dari kebijakan ini pada aspek ekonomi, sosial dan industri," katanya.

Ia menambahkan, regulasi tentang gambut ini tidak hanya berdampak ke Riau, melainkan kepada delapan daerah lainnya yang ekonominya bergantung pada komoditi perkebunan seperti kelapa sawit.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan sekitar satu juta hektare lahan kelapa sawit di Indonesia akan dialihfungsikan karena terdampak regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, disela Rapat Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Perkebunan tahun 2017, di Pekanbaru, Rabu (26/4). Menurut dia, sekitar satu juta hektare (Ha) sawit tersebut kemungkinan adalah perkebunan milik perusahaan yang mendapat izin hak guna usaha (HGU).

Ia mengatakan, kini luas lahan sawit di Indonesia berdasarkan data Kementerian Pertanian mencapai 11,9 juta Ha, sebelum adanya regulasi gambut.

"Dari total 11,9 juta hektare (sawit) ini, satu juta di antaranya bakal harus ditinggalkan oleh pemiliknya karena HGU tidak lagi boleh melanjutkan menanam kembali sawit di areal gambut sesuai PP 57/2016," katanya kepada wartawan.

Bambang mengatakan, meski regulasi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengembalikan fungsi hidrologis gambut, namun pengalihfungsian dari areal sawit tetap berisiko. Sebabnya, ketika area sawit itu direstorasi, belum ada kepastian siapa yang harus menjaganya.

"Risiko itu yakni kemungkinan lahan gambut yang ditinggalkan dan tidak ditanam ulang itu menjadi rusak, karena tidak lagi diawasi secara berkelanjutan seperti praktik yang berjalan saat ini," katanya. (Ant)

Halaman :

Berita Lainnya

Index