Kredit Bermasalah Bank Riau Kepri Sudah Melampaui Batas

Kredit Bermasalah Bank Riau Kepri Sudah Melampaui Batas
Ilustrasi

PEKANBARU - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riau menyatakan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) PT Bank Riau Kepri (BRK) sudah di atas batas kewajaran (tak sehat) karena mencapai 5 persen atau melampaui batasan yang ditetapkan.

"Kita lihat, jika sudah di atas 5 persen tentu ini sudah di atas batas yang seharusnya, kalau masih di bawah 5 persen masih belum," kata Ketua OJK Riau, M Nurdin Subandi kepada pers lewat telepon, Kamis siang.

Sebelumnya dilaporkan bahwa selain anjloknya kredit dan pembiayaan selama 2016 di semester I, Bank Riau Kepri juga membukukan kredit bermasalah dengan angka yang fantastis. Kredit bermasalah atau Net Performance Loan (NPL) sampai triwulan II tahun lalu nyaris menyentuh angka Rp700 miliar.

Berdasarkan laporan evaluasi triwulan II Bank Riau Kepri, tercatat kredit bermasalah (kolektibilitas 3, 4 dan 5) sebesar Rp692,878 miliar dengan persentase 4,68 persen.

Namun, angka ini meningkat atau menembus diatas Rp700 miliar, karena beberapa saat setelah rapat triwulan, kredit macet sempat nangkring di atas 5 persen.

"Memang, sudah pernah menembus 5 persen dan kemudian turun sedikit. Dengan persentase 4,68 persen saja sudah nyaris mencapai Rp700 miliar. Disisi lain, penyaluran kredit anjlok setiap tahun terkhusus semester I 2016. Bahkan beberapa sektor kredit tidak tersalurkan atau minus," kata seorang petinggi Bank Riau Kepri yang minta namanya tak disebutkan.

Ketua OJK Riau mengatakan, BRK bisa saja masuk dalam pengawasan intensif karena memiliki non performing loan (NPL) net di atas 5 persen yang berdampak pada rasio kecukupan modal (capital to adequacy ratio/CAR) turun hingga berada di bawah batas minimal CAR sesuai profil risiko.

"Nanti coba kita lihat, karena jika bank tersebut NPLnya di atas 5 persen, maka OJK meminta untuk segera menekannya," kata dia.

Sejumlah pihak menyebut bahwa kasus BPD Riau Kepri mirip dengan kasus PT Bank Mutiara Tbk (dulu Bank Century) yang sempat mendapat pengawasan intensif karena NPLnya di atas 5 persen.

Namun perbankan tersebut kemudian mendapatkan suntikan sekitar Rp100 miliar sesuai permintaan OJK sehingga (capital to adequacy ratio/CAR) sudah berada di atas rasio kecukupan modal sesuai profil risiko yakni sekitar 11 persen.

Tak Sehat

NPL atau Non Performing Loan menurut OJK merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. Indikator tersebut merupakan rasio keuangan pokok yang dapat memberikan informasi penilaian atas kondisi permodalan, rentabilitas, risiko kredit, risiko pasar dan likuidasi.

NPL yang digunakan adalah NPL neto yaitu NPL yang telah disesuaikan. Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut yang jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak bahaya pada bank.

Seorang konsultan hukum, Raja Adnan menjelaskan, bahwa NPL yang juga dikenal dengan kredit bermasalah ini memang bisa berdampak pada berkurangnya modal bank.

"Jika hal ini dibiarkan, maka yang pasti akan berdampak pada penyaluran kredit pada periode berikutnya," kata dia.

Adnan menjelaskan bahwa ada sejumlah indikator yang menyebabkan BRK tidak sehat, salah satunya adalah kinerja karyawan dan pimpinan yang tidak sehat pula.

Pada level ini, lanjut dia, sebenarnya masih bisa dilakukan perbaikan dengan kajian kinerja, atau bahkan memangkas sistem perekrutan nepotisme yang selama ini memang dilakukan BRK.

Kebijakan untuk memperbaiki sistem perekrutan karyawan di BRK telah dilakukan oleh perusahaan itu lewat kebijakan Direktur Utama Irvandi Gustari.

Sejak tahun lalu, BRK menerapkan sistem perekrutan yang transparan, bahkan dilakukan secara online atau e-recruitment.

Kemudian, penyebab BRK tidak sehat juga bisa disebabkan perusahaan ini masih ketergantungan dengan modal pemda baik Pemprov Riau maupun Kepri sebagai kas daerah.

Upaya yang baiknya dilakukan, lanjut dia, perbankan daerah ini harus melakukan penawaran saham atau efek lainnya kepada masyarakat yang disebut go public.

Terkait persoalan ini, Direktur Utama Bank Riau Kepri, Irvandi Gustari, juga telah berencana untuk go public atau melakukan kegiatan penawaran saham atau efek lainnya kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaannya.

Irvandi juga menyatakan bahwa akan mengedepankan visi Bank Riau Kepri akan lebih fokus ke sektor ritel, yang mana hal ini sejalan dengan peran BPD itu sendiri yakni sebagai penggerak perekonomian daerah dan menjadi Regional Champion di daerahnya sendiri dan sejalan dengan program Transformasi BPD secara nasional.

Salah satu wujud keseriusan Bank Riau Kepri dalam menjangkau pelaku ekonomi ritel yakni dengan semakin memperluas jaringan kantornya di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Perluasan jaringan ini diharapkan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang ingin memanfaatkan jasa perbankan guna perkembangan perekonomian daerah.

Irvandi juga menjelaskan bahwa Bank Riau Kepri juga telah mengembangkan ekspansi bisnisnya dengan membuka jaringan kantor di daerah strategis Jakarta.

Bank Riau Kepri selanjutnya juga telah berencana untuk membuka jaringan kantor di Kota Bandung dan Yogyakarta.

Masalah lainnya yang menjadi indikator BRK mengalami NPL tinggi, menurut Adnan adalah sasaran penyaluran kredit yang masih didominasi kalangan keluarga pemegang saham.

Tentu saja, lanjut dia, sebagai BPD, Bank Riau Kepri harus menjaga hubungan dengan seluruh pemda yang memiliki saham di dalamnya, namun bukan berarti mengenyampingkan aturan.

"Banyaknya kredit macet itu karena ketidak hati-hatian dalam menyalurkan kredit. Banyak kasus juga yang ternyata fiktif dan itu sudah kami laporkan ke pihak berwajib," kata Adnan.


Terjerat Banyak Kasus

Raja Adnan menjelaskan, indikator lainnya yang menyebabkan BRK menjadi bank yang tidak sehat adalah banyaknya pejabat di perusahaan perbankan itu yang terbelit kasus.

"Ada cukup banyak kasus BRK yang saya tahu, selain adanya kredit fiktif, juga ada kasus obligasi senilai Rp500 miliar. Saya sudah lama melaporkan kasus ini dan sudah ditangani kejaksaan, ya walau tak jelas ujungnya," kata dia.

Ia mengingatkan, jangan sampai rencana penjualan obligasi sebesar Rp1,5 triliun yang dilaksanakan saat ini, juga menjadi skandal baru.

"Jika ini terjadi, bisa bangkrut bank riau," katanya.

Adnan menjelaskan, bahwa kasus lainnya yang sempat dia laporkan ke pihak berwajib adalah kasus penggelembungan dana pensiun pegawai dari Rp8 juta menjadi Rp22 juta yang tidak sesuai dengan arahan Kementerian Keuangan.

Lalu, katanya, yang baru didapat adalah banyak proyek di BRK yang dilaksanakan dengan kajian yang tidak matang, seperti iklan luar ruang di Bandara SSK II Pekanbaru senilai Rp1,7 miliar.

Proyek ini, kata dia, juga diindikasi mark up karena lebih besar dibandingkan dengan kontrak sebelumnya yang hanya Rp1,3 miliar.

Terlebih, katanya, BRK telah melakukan pelunasan ke pihak vendor tanpa mengkroscek ke bandara berkaitan kontrak iklan luar ruang tersebut.

"Info terakhir yang saya terima, bank riau telah melunasinya ke vendor, namun pihak vendor justru sampai sekarang belum membayarkannya ke pihak bandara. Kalau begini tentu tidak lagi mark up, melainkan fiktif," katanya.

Adnan menjelaskan, sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus ini harus bertanggung jawab, dan pihak kejaksaan atau kepolisian sebaiknya segera mengambil sikap.

"Pejabat-pejabat BRJ yang terlibat juga harus diberi sanksi oleh perusahaan, jangan dibiarkan apalagi dibela," katanya.

Dalam persoalan satu ini, Dirut Irvandi Gustari juga telah menyiapkan seorang pengacara yakni Yudianta Medio N Simbolon (Simbolon & Partners Law Firm) yang sebelumnya dilaporkan dibayar senilai Rp450 juta per kasus. (ANT)

Halaman :

Berita Lainnya

Index