Kerusuhan Mei 1998 dari Mata Sang Jurnalis Wanita

Kerusuhan Mei 1998 dari Mata Sang Jurnalis Wanita

"Eh.. cina ya… cina nih.. kamu cina kan??" teriakan yang terdengar beberapa kali pada 13-14 Mei 1998. Tak jarang teriakan itu bernada ancaman menimbulkan ketegangan yang merayap.

Berkacamata hitam lebar, lengkap dengan topi dan rompi bertuliskan Wartawan Forum Keadilan. Wanita yang terkalung kartu identitas Sen Tjiauw, Majalah Forum Keadilan itu di tengah peristiwa itu seakan memiliki tameng pelindung. Beberapa wartawan dan fotografer yang berkeliling bersamanya saling melindungi.

Jika tidak berstatus wartawan dan Forum Keadilan, bisa saja ia menjadi bulan-bulanan seperti kebanyakan perempuan-perempuan cina lain. Namun tetap saja, keputusan untuk berjalan keliling kota melihat dan mencatat kekacauan di hari itu menjadi upaya bunuh diri bagi kebanyakan orang, terutama keturunan cina.

12, 13, 14 Mei 1998, tepatnya Selasa, Rabu dan Kamis, itu seakan mimpi buruk. Kerusuhan dan kemarahan rakyat pecah atas penembakan mahasiswa Trisakti. Suasana mencekam menyelimuti Senayan, Slipi, Grogol dan sekitarnya.

Masih teringat oleh Sen Tjiauw ketika kerusuhan itu pecah di skitar Trisakti-Untar, ia dan beberapa rekannya lari pontang-panting mencari tempat aman. Menghadapi tembakan gas air mata yang memerihkan mata, suara tembakan di sana-sini dan lemparan batu.

Sen Tjiauw juga ingat, saat ia ikut memunguti longsongan peluru-peluru kosong untuk dibawa pulang. Ikut menghadiri prosesi penghormatan terakhir untuk empat mahasiswa Trisakti yang menjadi martir tertembak peluru-peluru tajam tentara. Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Saat itu Indonesia bergolak. Kemarahan atas aksi brutal tentara memicu demonstrasi dan kekacauan di berbagai kota besar.

Ketakutan Sen Tjiauw sangat minim, setelah 4-5 tahun sebagai wartawan di lapangan. Terlebih lagi 2 tahun sebelumnya, saat kerusuhan 27 Juli 1996 meledak di Jakarta, ia sudah berada di jalanan.

Pengalaman menghadapi aparat keamanan dan demonstran yang marah dan gelisah sudah ada di kepala. Menghadapi gas air mata yang ditembakkan dan memenuhi ruang udara juga bukan hal baru baginya dan untuk menghadapinya ia hanya butuh botol air minum dan odol yang dioleskan di kantong mata.

Hari-hari itu dihabiskannya di jalanan. Pulang ke kantor sebentar untuk berkoordinasi dengan sejawat lain, lalu entah itu dengan bermotor bersama fotografer atau diantar supir kantor, ia menembus blokade-blokade jalan untuk mengetahui yang terjadi di Jakarta saat itu. Bersama fotografer Krus Haryanto (almarhum), Sen Tjiauw merayap ke Jakarta Barat, Jembatan Besi, Jelambar dan sekitarnya. Kepulan asap menghitamkan udara Jakarta.

Saat itu, ia bergabung dengan beberapa wartawan foto di sekitar Glodok dan Harmoni. Satu lelaki yang membawa kardus buah tiba-tiba menatapnya yang tengah di sisi jalan. Tak ada komunikasi saat itu, lelaki itu tiba-tiba menyodorkan buah apel ke arahnya yang berakhir dengan tolakan, seolah pria itu menawarkan persekongkolan.

Di sudut jalan itu, terngiang seruan-seruan yang diarahkan kepadanya. "Eh, cina ya... kamu cina kan!" Sen Tjiauw tak berani menjawab, hanya menggoyangkan kartu identitas besar yang terkalung di dada yang bisa dilakukannya.

Sulit baginya untuk menjelaskan perasaannya sebagai warga negara Indonesia (WNI). Harus menyaksikan kebringasan kelompok orang yang berbondong-bondong entah dari mana, seperti dilansir dari DW Indonesia.

Saat ia berdiri atas jembatan penyeberangan di sekitar Harmoni dengan suasan yang semula senyap dan menegangkan, berhias kabut asap dan udara menyengat dari ban yang dibakar di tengah jalan, tiba-tiba berubah menjadi ajang pesta penjarahan.

Entah bagaimana, seketiba muncul gerombolan liar di ujung-ujung gang. Ia bersama yang lainnya hanya menunggu, pasti akan terjadi sesuatu. Pertanyaan besar yang hingga kini masih menggantung dibenaknya, dari mana gerombolan-gerombolan liar itu didatangkan.

Bukan hanya para korban jarahan, rampokan dan kebrutalan yang merana. Ia ingat betul, bagaimana seorang teman baiknya yang kini menjabat Pemimpin Redaksi sebuah koran, seolah linglung selama berhari-hari. Ia sempat meraih tangan rekannya itu dan merasakan gemetarannya.

Rasanya, apa yang ia ingat dan ia catat bersama jurnalis lainnya saat itu begitu membuncah, melebihi kapasitasnya. Namun, begitu beruntungnya mereka, wartawan-wartawan politik-hukum, yang biasa turun di lapangan, selalu kompak dan bahu-membahu, termasuk saling menenangkan. Bersama yang lainnya ia biasa berkumpul di pressroom Depdagri, di DPR RI, di kantor YLBHI, di markas Komnas HAM.

Tragedi Mei 1998 dan hingga belasan tahun waktu berlalu, masih terus dijadikan misteri. Tidak pernah ada pertanggungjawabn yang nyata dan tegas terhadap korban kerusuhan mengerikan itu.

"Negara jelas-jelas menelantarkan rakyatnya. Dan tentara, seperti temuan TGPF, telah melakukan pembiaran terharap chaos yang terjadi, sehingga ada alasan untuk mengambil alih kekuasaan," kata Sen Tjiauw.

Halaman :

Berita Lainnya

Index