Sejarah Truk di Indonesia Sejak Zaman Penjajahan

Sejarah Truk di Indonesia Sejak Zaman Penjajahan
Truk mengangkut Tentara Indonesia dekat wilayah Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, 1974. FOTO/gahetna.nl via indotrucker

Setelah keluar dari dinas militer Belanda pada 1948, bekas Kapten pasukan khusus KNIL Belanda Raymond Paul Pierre Westerling terjun ke dunia bisnis. Dia jadi pengusaha angkutan perkebunan alias transport onderneming, memegang beberapa armada truk bekas militer. Begitu menurut buku biografinyaWesterling de Eenling (1982) yang ditulis Dominique Venner dan autobiografinyaChallenge to Terror (1953). 

Berbekal nama besar Westerling yang disegani di kalangan militer Belanda, bisnisnya tak diganggu. Nama Westerling jadi oli pelicin bagi truk miliknya ketika melewati pos-pos penjagaan. Cukup bilang, “truk Westerling,” maka truk pun boleh lewat. 

Di dunia militer modern, truk sangat penting dalam pergerakan pasukan. Sejarah peperangan modern melibatkan banyak truk pengangkut pasukan di dalamnya. Termasuk dalam Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), 23 Januari 1950. Tak hanya truk milik Westerling saja yang terlibat. 

Menurut Laporan Jawatan Kepolisian kepada Presiden pada 21 Februari 1950 tentang aksi Westerling, transport onderneming Hergalaxtina seperti Bintang Tiga, Selecta, dan Ie Hian juga ikut meminjamkan kendaraan pengangkut mereka dalam Pemberontakan APRA. Di luar pemberontakan atau pergerakan militer, truk-truk itu digunakan untuk urusan bisnis. 

Westerling tergolong pengusaha beruntung karena punya truk bekas militer. Pedagang-pedagang di daerah pendudukan Belanda bagaimanapun perlu truk untuk mengangkut barang dagangannya. Termasuk pedagang Tionghoa muda bernama Tjia Kian Liong. 

Pemuda yang di zaman pendudukan Jepang sudah mulai berdagang ini bukanlah pemain sepikul dua pikul. Dagangannya lebih dari pikulan. Maka, sejak masa pendudukan Jepang dan Belanda, Kian Liong sering membayar tentara yang memiliki truk untuk mengangkut barang dagangannya. Entah dari Cirebon ke Bandung atau dari Bandung ke Jakarta. 

Meski dagangannya makin berkembang, Tjia Kian Liong masih ingat pentingnya truk. Dia “sadar betul betapa pentingnya truk sebagai moda transportasi dalam berbisnis. Truk seperti cinta lama baginya,” seperti tercatat dalam bukuMan of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012). 

Di Indonesia, truk sudah masuk sejak zaman kolonial. Berdasar penelusuran Rudolf Mrazek dari surat kabar De Ingeniur in NI volume 6 nomor 2 (Februari 1939), seperti yang ditulisnya dalamEngineers of Happyland (2006), pada 1939 sudah terdapat 12.860 unit truk. Selain Depresi Ekonomi Dunia, bersama bis, truk ikut jadi penyebab turunnya pemasukan dari jawatan kereta api di Jawa—sebesar 40 persen di tahun 1933. 

Dari puluhan ribu truk yang ada di Hindia Belanda tersebut, sebagian di antaranya bermerek Chevrolet. Truk Chevrolet, menurut catatan Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya, nampaknya punya penjualan yang cukup baik di Hindia Belanda pada 1930an. NV General Motors Java Handel Maatschappij, yang berdiri pada 3 Februari 1927, menjadi penyalurnya. 

Pabrikan dari Chevrolet, yakni General Motors, pun akhirnya membikin pabrik sejak 1938 di Tanjung Priok. Pabrik seluas 7 hektar itu, adalah perakitan mobil pertama di Indonesia dan terbesar se-Asia Tenggara di masanya. Sayangnya, pabrik tersebut sempat bernasib nahas. Sebelum balatentara Jepang menduduki Indonesia, perakitan tersebut dihancurkan sendiri oleh militer Belanda agar tak bisa dipakai Jepang. Setelah jatuh ke tangan Indonesia, perusahaan itu ganti nama sebagai PN Gaya Motor. Sisa kawasan komplek Gaya Motor itu masih bisa ditemukan hingga hari ini di sekitar Cilincing. 

Pabrik perakitan itu belakangan terlupakan oleh General Motors yang di masa sebelum Perang Dunia II merakit truk Chevroletnya di situ. Di awal-awal Orde Baru, Tjia Kian Liong—yang sudah ganti nama menjadi William Suryadjaya—berusaha meramaikan lagi kompleks perakitan Gaya Motor. 

Apalagi William mendapat pinjaman dana dari USAID sebesar $2,9 juta. Dengan dana itu, William boleh mengimpor apapun, termasuk truk dari Amerika. Sadar akan pentingnya truk, dia pun mengimpor truk. Di zaman Sukarno, waktu itu, impor truk sangat dibatasi. Begitu juga investigasi asing. 

“William menggunakan dana tersebut untuk mengimpor 800 unit truk merek Chevrolet buatan General Motor Co. dan menjualnya kepada Pemerintah,” tulis Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi (2000). 

Menjual kepada pemerintah membuat William berada dalam masalah, karena ada ketentuan tak boleh jadi penyalur barang untuk pemerintah. Buku Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya menyebut William tak mengerti aturan itu. Belakangan, usahanya mengimpor dan merakit truk-truk Chevrolet di Gaya Motor gagal. Dia sempat juga mengajak Nissan untuk hal yang sama. Usaha itu pun gagal. 

“Hidung bisnis William yang tajam segera mengendus-ngendus peluang lain. Truk-truk bermerek Toyota segera terbayang di kepalanya,” tulis Amir Husin Daulay dalam William Soeryadjaya, Kejayaan dan Kejatuhannya (1993). 

Kebetulan, sekitar akhir 1969 itu, salah seorang petinggi Toyota, Hideo Kamio—yang pernah jadi manager di Gaya Motor waktu zaman Jepang—bersikeras truk-truk Toyota yang masuk Indonesia harus dirakit di Gaya Motor. 

Setelahnya, truk-truk Toyota membanjiri areal proyek-proyek maupun industri-industri di Indonesia. William—bersama perusahaan yang awalnya sempat jual hasil bumi, Astra—kemudian tak hanya mengimpor truk saja. Astra, sejak 1971, setelah Amerika tidak memproduksi truk dan jip dengan stir kanan, akhirnya menguasai pasar truk dan jip. Astra pun mulai jadi perusahaan besar. 

Halaman :

Berita Lainnya

Index