Ustaz Ini Puluhan Tahun Mengajar Mengaji di Atas Tempat Tidur Sambil Menahan Sakit

Ustaz Ini Puluhan Tahun Mengajar Mengaji di Atas Tempat Tidur Sambil Menahan Sakit
Ustad Sugiarto sedang mengajar Al Quran murid muridnya di rumahnya desa Karangbawang, Ajibarang Banyumas

BANYUMAS - Lantunan ayat suci Al Quran menggema dari sebuah kamar tidur berukuran 3x 4 meter di rumah Sugiarto (38), desa Karangbawang, Ajibarang Banyumas.

Dua puluhan anak duduk berdesakan di sisi kanan kiri ranjang. Masing-masing anak menyangga kitab Al Quran dan Iqra'.

Sugiarto berbaring di atas kasur kapas usang. Ia tegakkan sebuah kitab Al Quran di atas dadanya sebagai sandaran.

Ustaz Sugi, demikian ia akrab dipanggil, menyimak satu persatu muridnya yang membaca Al Quran secara bergantian.

Sebagian murid sudah fasih membaca ayat Quran. Ada yang masih terbata-bata membaca. Ia langsung membetulkan bacaan santrinya setiap terjadi kesalahan dalam membaca ayat.

Sugi juga tak segan menuntun anak belia yang masih belajar mengeja huruf Al Qur'an.

Di luar, puluhan ibu duduk di pelataran rumah tetangga menunggui anak-anak mereka selesai belajar.

17 tahun telah berlalu, sejak Sugi divonis lumpuh total pada tahun 2000 silam. Selama itu, Sugi istikamah dalam mengajar murid-muridnya, meski dengan cara berbaring karena lumpuh.

Saya menyerahkan sepenuhnya keadaan saya kepada Allah. Saya hanya ingin istikamah menjalani ibadah ini,"katanya

Sugi awalnya adalah pemuda berfisik bugar. Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, 20 tahunan lalu, ia memutuskan pulang dan membuka kelas bagi anak-anak desa untuk belajar agama di rumahnya.

Nahas, suatu ketika, sebuah bus antar provinsi menabrak sepeda motor yang dikendarainya hingga roboh.

Ia mengalami luka pada kaki.

Sugi sempat dilarikan ke RSUD Banyumas dan menjalani rawat inap. Ia juga sempat dirujuk ke rumah sakit ortopedi untuk kesembuhan kakinya.

Pembelajaran Al Quran di rumahnya seketika terhenti.

Genap 40 hari dirawat, ia tak kunjung diberi kesembuhan.

Sugi memutuskan pulang. Ia memikirkan santri-santrinya yang telah menunggu untuk diajar mengaji.

Sugi kembali membuka kelas. Bukan lagi bertempat di ruang tamu, melainkan di ruang tidurnya.

Perubahan format pembelajaran itu menyesuaikan kondisi sang guru.

Sugi hanya bisa berbaring. Separuh tubuhnya lumpuh. Ia bahkan tak mampu memiringkan badan.

Namun Sugi tak berkeluh kesah. Ia sebaliknya bersyukur, organ produksi suaranya masih normal.

Otaknya tak terganggu. Sehingga ia masih bisa melafalkan Al Quran dan mengajarkannya ke murid-muridnya.

Sugi tak ingin umurnya sia-sia menunggu kematian. Bagi dia, sakit tak jadi alasan untuk tidak berbuat baik dan memberi manfaat bagi orang lain.

Meski terlihat jelas, ia seringkali meringis menahan sakit saat sedang mengajar.

"Saya tidak ingin menjadi orang yang merugi karena menyia-nyiakan kesempatan. Saya akan terus mengajar hingga Allah memanggil saya. Semoga bisa istikamah,"katanya

Selain alim, Sugi juga dikenal ikhlas dalam mengamalkan ilmunya. Sugi tak memungut bayaran sepeserpun kepada para wali santri atas pendidikan anak mereka.

Meskipun, ekonomi keluarga Sugi serba kekurangan.

Sugi sudah merasa sangat beruntung, anak-anak di lingkungannya bersedia meluangkan waktu untuk mengaji.

Dengan demikian, ia dapat mengamalkan ilmunya sekaligus membentengi mereka dengan iman dan akhlak mulia.

"Anak-anak mau mengaji saja sudah bagus. Tidak usah mengharap imbalan,"katanya

Sebagian wali terkadang membawakan jajan atau cemilan untuk sang ustad sebagai bentuk terima kasih.

Sugiarto dirawat oleh ibunya, Tasem. Karena tak memiliki cukup uang, Tasem terpaksa merawat putranya di rumah dengan obat yang dibeli dari apotik.

Tasem rutin membersihi luka pada kaki Sugi yang membusuk dan berbau. Tiga hari sekali, ia mengganti perban yang membungkus luka kaki Sugi.

Ia mengaku prihatin dengan kondisi kesehatan Sugi yang terus memburuk. Tubuh Sugi yang dahulu gemuk kini berubah kurus kering.

Luka terbuka pada kakinya juga tak kunjung sembuh meski telah mati rasa.

Tasem sebenarnya ingin memeriksakan putranya kembali ke rumah sakit namun terkendala biaya.

Ia pun tidak memiliki Jaminam Kesehatan Nasional (JKN) baik BPJS maupun Jamkesda meski keluarganya tegolong tidak mampu.

"Anak saya mau kalau diperiksa di rumah. Tapi kalau dibawa ke rumah sakit kayaknya repot,"katanya

Di sisi lain, Tasem bangga melihat perjuangan putranya dalam mendedikasikan sisa umurnya untuk mengajar meski dalam kondisi pesakitan.

Kegigihan Sugi dalam mengajar membangkitkan semangat Tasem untuk terus merawat dan mendampingi anaknya hingga akhir hayat.

"Saya ingin anak saya sembuh," ucap Tasem, air matanya berderai.

Halaman :

Berita Lainnya

Index