Alquran Menginspirasi Ilmuwan

Alquran Menginspirasi Ilmuwan
Ilustrasi

HARIANRIAU.CO - Bertempat di ruang kerjanya di Departemen Fisika, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (8/1), Prof Terry Mart berkenan membagi berbagai hal perihal relasi antara fisika dan keislaman. Ilmuwan lulusan Universität Mainz kelahiran Palembang, 3 Maret 1965 ini sempat menyinggung pentingnya keberadaan ilmuwan Muslim dalam perkembangan sains. Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan di Departemen Fisika Universitas Indonesia, Depok.

Selama menekuni fisika, di titik mana Anda menemukan kaitan antara ilmu ini dengan Islam dan Alquran?

Ini adalah pencarian panjang. Saya mulai dulu dari SMA. Di sana ada perpustakaan. Saya tertarik dengan sejumlah buku. Salah satunya karangan Maurice Bucaille tentang Bibel, Alquran, dan Sains Modern. Kemudian, saya juga tertarik mempelajari karya Harun Nasution tentang aliran-aliran teologi Islam. Setelah saya baca, karya Maurice Bucaille sangat menarik karena membahas sains yang ditemukan oleh orang Barat ternyata sudah ada di Alquran. Saya sangat tertarik dengan kajian tersebut sampai kuliah.

Apa yang Anda ambil dari pemikiran Bucaille?

Tetapi setelah sarjana dan mulai riset fisika, saya menilai ada yang kurang pas dari pemikiran Maurice Bucaille. Karena apa? Kenapa tidak ada kebalikannya bahwa yang disebut dalam Alquran kemudian ditemukan. Kenapa tidak dimulai dulu penemuan hebat dari Alquran, kemudian dapat Nobel sebagai pengakuan dari dunia.

Kemudian, saya cari-cari lagi buku tentang zaman keemasan, ilmuwan Islam dan kontribusinya kepada sains modern. Saya menemukan buku karya Pervez Hoodbhoy berjudul 'Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality'. Pervez dikenal sebagai fisikawan partikel teoretis, sebidang dengan saya, sehingga tone-nya sama.

Apalagi di sana kata pengantarnya diberikan oleh Abdus Salam, pemenang Nobel dari Pakistan. Mulailah saya baca dan tertarik dengan ide Abdus Salam dan Steven Weinberg. Abdus Salam sangat religius, sementara Steven Weinberg seorang ateis. Dua-duanya mendapatkan satu kebenaran yang sama, yaitu teori elektro lemah (electro weak). Ini adalah teori yang menggabungkan dua dari empat gaya yang ada di alam semesta.

Seperti kita tahu, di dunia ada empat gaya, yaitu gravitasi, elektromagnetik, nuklir kuat, dan nuklir lemah. Nah, gravitasi belum bisa disatukan. Elektromagnetik dan nuklir lemah disatukan oleh Abdus Salam dan Steven Weinberg. Mereka mendapatkan Nobel yang sama, bersama-sama Sheldon Glashow.

Apa saja pandangan Pervez tentang sains dan agama?

Jadi, menurut Pervez, tidak masalah dengan keyakinannya kalau mau lihat sains, tetap selama dia berada di rel sains, akan ketemu di titik atau kebenaran yang sama. Nah, kemudian setelah banyak membaca, diramu beberapa diskusi, saya sampai pada kesimpulan bahwa antara sains dan agama (termasuk Islam) berbeda. Sains itu ditegakkan di atas keraguan, agama ditegakkan di atas keyakinan.

Karena apa? Di dalam sains, kalau orang datang dengan teori baru, haruslah diragukan (diverifikasi) dulu. Beberapa waktu lalu ada temuan partikel (neutrino) yang bergerak melebihi kecepatan cahaya. Padahal, menurut fisika tidak mungkin.

Tidak lama setelah itu mereka mengoreksi bahwa ada kesalahan teknis, sehingga eksperimennya salah. Teori relativitas selamat. Tapi intinya atau ibrah-nya adalah yang namanya sains harus terus diuji. Sampai kapan? Tidak ada batasnya. Sampai akhir zaman. Selama bisa bertahan, teorinya akan dipakai terus. Kalau tidak maka diganti.

Bagaimana dengan agama?

Agama tentu saja berbeda. Pertama, dalam agama, kita harus yakin dulu. Ini namanya iman. Cocok dengan buku itu (karya Pervez Hoodbhoy). Itu level kedua dari pencarian pemikiran saya. Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres dan harus diperbaiki.

Setelah saya baca buku-buku, meletakkan sains dan agama di rel yang berbeda, bisa jadi mengarah pada sekularisme. Tapi mesti hati-hati juga karena keduanya memang berbeda. Sains tak boleh Anda anggap sebagai agama karena terus diuji kebenarannya. Nah, dalam hal agama, Anda yakin, Anda tidak boleh meletakkan di rel sains yang harus diuji terus.

Kalau seorang yang ateis atau sedang mencari agama boleh saja dia menguji terus dengan data empiris, data yang dilihat secara indrawi, yang tentu saja memiliki keterbatasan. Sampai kalau agama itu lolos ujian, dia akan anut.

Jadi, ada masalah. Pertama, kita yakin bahwa rel sains dan agama berbeda. SOP-nya itu berbeda. Buktinya apa? Lihat saja kedua pemenang Nobel tadi. Kalau melakukan dengan tepat, mereka menemukan kebenaran yang sama meski agama berbeda. Kedua, kalau kita mengambil paham demikian, artinya kita membedakan agama dan sains. Jika keduanya diturunkan Tuhan maka hal itu menimbulkan semacam konflik di batin saya, setelah memahami pemikiran Maurice Bucaille dan Pervez Hoodbhoy.

Ilmuwan siapa lagi yang Anda pelajari?

Kemudian, saya ketemu buku karangan Nidhal Guessoum, Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. Dia seorang professor astrofisika di Uni Emirates Arab. Dia banyak menulis tentang sains dan Alquran. Semacam mendamaikan. Mungkin di sinilah saya menemukan jawabannya. Dia menjelaskan bahwa tafsir Alquran ada tujuh lapis. Buku Nidhal Guessoum menyebutkan tafsir lapis awal untuk orang-orang awam. Tapi untuk ilmuwan yang tiap hari bekerja dengan teori evolusi dan melihat begitu banyak bukti evolusi, kalau hanya melihat arti harfiah, bisa keluar dia dari agamanya. Karena tidak cocok.

Apakah ini titik temu sains dan agama?

Mungkin seorang ilmuwan harus masuk ke tafsir lapis kedua dan itu juga bergantung dengan perkembangan zaman. Dengan perkembangan zaman, data-data ilmiah semakin akurat. Orang yang sudah mendalami sains dengan data yang akurat tadi, mungkin harus masuk ke lapis berikut. Akhirnya terlihat bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan antara sains dan agama, dalam hal ini Alquran.

Intinya adalah kita harus sadar bahwa sains adalah hasil pemikiran manusia dan dibuktikan secara indrawi-empiris. Hal yang sama meski terlihat agak berbeda adalah mekanika kuantum, mekanika yang berlaku di dunia mikroskopik. Ada ketidakpastian di sana dan kita tak bisa memasukkan alat ke sana. Kita hanya bisa bermain dengan model. Jika modelnya begini, dampaknya pada data pengukuran apa? Meski demikian, ini juga interpretasi manusia.

Sains itu interpretasi manusia. Namun, kita harus apresiasi sains karena SOP-nya sudah bagus. Interpretasi based on data-data sebelumnya, teori-teori sebelumnya. Sains itu sifatnya selalu memperbaiki diri sendiri. Dia sangat terbuka kepada kritik. Nah, kalau statusnya seperti itu tentu saja sangat relatif. Sains hari ini berbeda dengan sains pada esok hari.

Di sisi lain, kalau Alquran ditafsir, terbatas pada penafsir. Kalau keduanya tidak ketemu di satu titik, jangan salahkan salah satunya atau keduanya. Makanya, kata Nidhal Guessoum, interpretasi itu berlapis. Jadi, damai, tidak ada masalah lagi. Saya sudah sampai di situ.

Bagaimana perkembangan fisika yang dikembangkan ulama Islam dahulu dan pengaruhnya?

Saya sangat yakin dan keyakinan ini didukung pendapat para orientalis Barat bahwa sains modern sangat berutang kepada sains dalam masa keemasan Islam. Ambil contoh Aljabar. Tidak ada yang bisa menggantikannnya sampai sekarang. Bahkan, namanya masih tetap Aljabar. Contoh lain adalah optik. Salah satu ilmuwan Muslim yang besar kontribusinya adalah al-Haitsam yang di Barat dikenal sebagai Alhazen. Optika modern sangat berutang budi padanya. Mungkin ratusan ilmuwan Muslim sudah berkontribusi saat itu.

Tapi saya paham kondisi saat itu. Ilmuwan umumnya berpikir bebas dan sangat fair. Mereka tidak akan mengakui karya orang lain sebagai karyanya. Mayoritas, tidak semua. Namun, yang terjadi saat itu banyak sekali ilmu diambil tanpa referensi. Di bidang kedokteran pun begitu. Salah satu orientalis Jerman mengakui sains modern berutang kepada ilmuwan Islam. Cuma sekarang kondisinya sudah telanjur. Referensi sekarang mentok ke abad pencerahan Eropa, lalu melompat ke Yunani masa Aristoteles, Socrates. Ini kok ilmu bisa melompat ratusan tahun tanpa ada penjelasan. Padahal, yang terjadi sebenarnya pengembangan ilmu berasal dari Cina, India, Mesir, dan Yunani, kemudian masuk ke/dan dikembangkan oleh masyarakat Muslim, baru pindah ke Eropa.

Termasuk astronomi?

Astronomi pun demikian. Para sultan dulu sangat tertarik astronomi. Pertama, mungkin untuk pengembangan pertanian yang sangat berkaitan dengan iklim. Kedua, terkait hilal untuk Ramadhan. Dari internet kita bisa melihat foto-foto Andromeda dan di sana disebutkan bahwa galaksi tersebut pertama kali diobservasi oleh ilmuwan Muslim, Abdul Rahman al-Sufi, pada tahun 964 dan itu dibukukan dalam satu buku yang berjudul Kitab al-Kawatib at-Tsabit al Musawwar atau 'The Book of Fixed Stars'. Yang lain-lain mungkin karena pengaruh abad pencerahan sudah hilang. Kalau tidak ada kontribusi ilmuwan Islam, tentu saja pengembangan sains modern putus. Eropa harus mengulang dari awal.

Bagaimana perkembangan ilmuwan sains Muslim di masa sekarang?

Menurut saya, perkembangan sains di dunia Muslim mengalami kemunduran sejak tahun 1300. Titik balik di sini. Memang ada kemajuan, tetapi itu tidak begitu berarti jika dibandingkan dengan perkembangan sains Barat. Tapi ini versi saya, mungkin beda dengan pemikir-pemikir lainnya. Memang sejak tahun 1300, ketertarikan Muslim terhadap sains secara umum mundur.

Perkembangan sains di negara Islam membutuhkan inovasi dan dukungan kuat dari negara dan semua pihak. Negara-negara seperti Mesir dan Turki tidak juga maju. Mengapa begitu? Saya melihat ada tren umum. Interest mayoritas mulai ke ibadah ritual saja. Namun, apa benar Islam seperti itu?

Kuncinya ada pada pembangunan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas akan mampu membangun terobosan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas.

Agar ilmuwan Muslim berkembang?

Mari kita kembali melihat ke Alquran. Saya sering ditanya, benarkah semua ilmu itu bisa berasal dari Alquran? Di sini kita harus bijak. Tapi tantangannya bagaimana start dari Alquran kita bisa menghasilkan publikasi hasil riset di jurnal internasional bereputasi? Diperlukan tahapan yang sangat panjang. Misalnya, banyak ayat Alquran berisikan anjuran yang menggugah orang agar melakukan pengamatan. Ayat yang paling sering disampaikan, misalnya, adalah ar-Rahman ayat 33.

Ayat itu saya interpretasikan bahwa kita pertama harus mengamati ke atas, seperti pergantian siang dan malam. Kemudian, di ar-Rahman juga disebutkan kata sulthon. Mayoritas diterjemahkan sebagai kekuatan. Kalau terjemahan versi Universitas King Saud artinya adalah authority atau otoritas. Nah, di bawah bumi juga banyak yang belum diketahui dan sangat penting untuk diamati. Meski demikian, saya memiliki interpretasi lain, ke langit itu mengamati makrokosmos, sedangkan ke dalam bumi itu mikrokosmos. Sebagai kesimpulan, Alquran sebenarnya bisa menginspirasi para ilmuwan.

Halaman :

Berita Lainnya

Index