Pemberontak Diizinkan Tinggalkan Ghouta

Pemberontak Diizinkan Tinggalkan Ghouta
Pemberontak Diizinkan Tinggalkan Ghouta. (Reuters).

HARIANRIAU.CO - Pemberontak Suriah ditawari meninggalkan Ghouta Timur dengan aman. Tawaran dari militer Rusia itu untuk mengizinkan oposisi menyerahkan wilayah terakhir yang dikuasai dekat Damaskus pada Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Kementerian Pertahanan (Kemhan) Rusia menyatakan pemberontak bisa pergi bersama keluarga dan senjata pribadinya melalui koridor aman di Ghouta Timur, tempat pasukan Suriah terus menguasai banyak wilayah. Proposal Rusia itu tidak menyebut ke mana pemberontak itu akan pergi.

Tawaran ini sama seperti kesepakatan sebelumnya saat pemberontak menyerahkan wilayah pada Assad dan diberi kesempatan pergi ke wilayah lain yang dikuasai oposisi di perbatasan Turki.

“Pusat Rekonsiliasi Rusia menjamin kekebalan semua pejuang pemberontak yang mengambil keputusan meninggalkan Ghouta Timur dengan senjata pribadi dan bersama keluarga mereka,” ungkap pernyataan Kemhan Rusia dikutip kantor berita Reuters.

Ratusan warga sipil tewas dalam penyerangan di Ghouta Timur, pinggiran Damaskus. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakin 400.000 orang terjebak di dalam wilayah itu hingga mengalami krisis makanan dan suplai medis.

Damaskus dan Moskow terus melancarkan kampanye di Ghouta Timur meski Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata. Mereka berpendapat serangan itu menargetkan kelompok teroris terlarang yang tidak dilindungi dalam gencatan senjata. Langkah ini mengikuti taktik Assad dalam pertempuran, yakni dengan mengepung wilayah pemberontak, melakukan pengeboman, melancarkan serangan darat, dan mengizinkan warga sipil serta pejuang meninggalkan wilayah itu.

Juru bicara kelompok pemberontak utama di Ghouta Timur, Failaq al-Rahman, Wael Alwan menyatakan, langkah rezim Suriah dan aliansinya melancarkan eskalasi militer serta memaksa pengungsian warga Ghouta Timur merupakan kejahatan.

Alwan yang berbasis di Istanbul menyatakan tidak ada kontak dengan Rusia tentang proposal itu. Militer Suriah menguasai lebih dari sepertiga Ghouta Timur dalam beberapa hari terakhir dan tampak akan membaginya menjadi dua. Pemantau Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) menyatakan, pengeboman yang dilakukan rezim Suriah menewaskan 790 orang sejak 18 Februari, termasuk 80 orang yang tewas pada Senin (5/3).

Assad menyatakan, militer Suriah akan terus masuk ke Ghouta Timur yang telah dikepung sejak 2013. Banyak warga sipil telah melarikan diri dari garis depan ke Kota Douma. Bagi pemberontak yang ingin menggulingkan Assad, hilangnya kontrol Ghouta Timur akan menandai kekalahan terburuk sejak perang di Aleppo pada akhir 2016. Serangan pemberontak di Damaskus juga telah menewaskan puluhan orang sejak dua pekan lalu. Rusia telah menerapkan gencatan senjata lima jam per hari untuk mengizinkan warga sipil pergi dan konvoi bantuan masuk.

Moskow menuduh pemberontak menghalangi warga meninggalkan wilayah konflik. Tuduhan ini disangkal pemberontak. Direktorat kesehatan di Ghouta menyatakan, menerima laporan warga keracunan akibat gas klorin di Desa Hammourieh pada Senin (5/3).

Pejabat direktorat itu menjelaskan, pihaknya terus mengumpulkan informasi tentang insiden itu dan akan mengumumkan rincian laporan terkait hal tersebut. Negara-negara Barat dan tim penyelamat menyatakan Suriah berulang kali menggunakan gas klorin sebagai senjata di Ghouta Timur dalam beberapa pekan terakhir. Tuduhan ini disangkal Pemerintah Suriah.

Badan penyelamat pertahanan sipil di Ghouta Timur menyatakan, pengeboman terbaru dengan gas klorin mengakibatkan 30 orang mati lemas di Hammourieh. Pemerintah Suriah menyangkal menggunakan gas beracun itu dan menyebut pemberontak menggunakan gas di Ghouta Timur agar dunia internasional menuduh militer Suriah sebagai pelakunya.

Kremlin menyatakan, hanya investigasi independen di Suriah oleh komisi internasional yang bisa menentukan apakah tuduhan penggunaan senjata kimia itu memang benar. Wilayah pemberontak di Ghouta pernah mengalami serangan gas saraf yang menewaskan ratusan orang pada 2013. Suriah bersedia menyerahkan senjata kimia itu untuk menghindari pembalasan Amerika Serikat (AS) atas serangan itu.

Meski demikian, PBB menemukan penggunaan gas sarin pada tahun lalu dalam insiden yang memicu serangan udara AS sebagai pembalasan. Tidak seperti sarin, klorin tidak dilarang untuk penggunaan sipil, tapi dilarang jika digunakan sebagai senjata.

sumber: sindonews

Halaman :

Berita Lainnya

Index