Bagaimana Dokter Mengoperasi Dita, Gajah kecil, di Hutan Riau

Kamis, 23 November 2017 | 12:38:41 WIB
Tim dokter hewan mengobati Dita di dalam kawasan hutan Talang, karena kondisinya kian menurun.

HARIANRIAU.CO - Konflik antara gajah dan manusia di Provinsi Riau masif terjadi karena makin berkurangnya habitat gajah.

Dita, seekor gajah Sumatera berusia 25 tahun, terluka akibat jerat hingga mengalami dehidrasi. Kondisinya membaik setelah tim dokter hewan melakukan pengobatan di dalam hutan.

Tujuh sumpit bius mengenai Dita. Tubuhnya mulai melemah, lalu terduduk. Dita pun terpisah dari dua kawanan gajah lainnya, Bara dan Seruni.

Tim dokter hewan dari BBKSDA, WWF, dan Vesswic, harus membius Dita sebelum melakukan pengobatan, di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, Kabupaten Bengkalis.

Kaki kiri Dita terluka akibat jerat, hingga membuatnya sulit mencari makan dan mengalami dehidrasi.

Anhar Lubis, dokter hewan dari Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) menyatakan, Dita juga mengalami malnutrisi dan luka yang sudah infeksi.

"Metabolisme tubuh Dita memburuk. Padahal, kondisi tubuh yang baik diperlukan untuk penyembuhannya. Apabila metabolisme normal, makan bagus, maka proses penyembuhannya akan lebih cepat," kata Anhar.

Dita sudah empat kali diobati, sejak tahun 2014 hingga November 2017. Dari hasil pemeriksaan terakhir, diketahui Dita mengidap anemia, malnutrisi dan protein rendah.

Wartawan Dina Febriastuti yang ikut bersama tim dokter, melaporkan Dita dirawat selama lima jam di dalam hutan Talang. Dokter memberi cairan infus dan antibiotik, untuk mengobati infeksi dan menambah asupan nutrisi.

Usai diobati, Dita bisa menjelajah hutan Talang, dan bertemu kembali dengan Seruni, setelah terpisah sekitar dua pekan. Indra, anggota tim patroli satwa di Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, sempat melihat Dita saat bersama Seruni, pada Selasa (21/11).

"Dia (Dita) sudah semakin lincah, terlihat makin kuat dan banyak bergerak, kondisinya makin membaik. Sangat berbeda dengan sebelumnya, ia lebih banyak diam di tempat. Bergerak untuk makanpun, ia tak bertenaga," kata Indra.

Pemantauan gajah di SM Balai Raja rutin dilakukan oleh Himpunan Penggiat Alam (Hipam) dan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN). Tim pemantau biasanya melacak posisi gajah, melalui jejak-jejak yang ditinggalkan gajah, seperti jejak kaki, kotoran, sisa-sisa makanan dan patahan ranting kayu.

Tim pemantau biasanya mengamati gajah dari jarak lima meter. Beragam cara mereka lakukan untuk bisa merekam aktivitas gajah di SM Balai Raja, mulai dari bersembunyi di balik pohon dan belukar, hingga memanjat pohon.

Selain memantau kondisi gajah, tim juga membersihkan jerat, racun, atau hal lain yang dapat membahayakan gajah.

 

Konflik dengan manusia

 

Konflik gajah dengan manusia, marak terjadi di Riau. Data yang dirangkum Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) menunjukkan ada 17 gajah yang mati pada tahun 2014.

Jumlah kematian gajah menurun di tahun 2015 menjadi tujuh ekor dan dua ekor di tahun 2016. Hingga November 2017, tidak ada gajah yang mati.

Konflik terjadi karena semakin bekurangnya ruang hidup gajah. Kepala Bidang Wilayah II BBKSDA Riau, Heru Sutmantoro, menyatakan berkurangnya hutan karena dikonversi menjadi perkebunan, dan untuk kebutuhan permukiman, sehingga membuat habitat gajah makin berkurang.

Luas SM Balai Raja secara formal 15.343 hektare, namun hanya kawasan Hutan Talang seluas lebih kurang 200 hektare yang masih ada. Hanya tersisa enam ekor gajah, termasuk Dita dan Seruni, yang hidup di sana.

"Perlindungan gajah penting dilalukan, karena gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) adalah satu satu spesies dilindungi dan sudah tergolong langka. Keberadaan gajah sangat diperlukan untuk penyeimbang ekologi di sini," ujar Heru.

Tapi, bagi sebagian warga di sekitar Balai Raja, gajah dianggap sebagai hewan pengganggu, karena sering masuk ke kawasan pertanian warga.

"Petani terusik juga oleh gajah, karena tanamannya dimakan. Gajah ini mengganggu mereka bercocok tanam. Kalau bisa dicarikan habitat untuk gajah yang tepat, misalnya hutan lindung dipagari, agar gajah tidak masuk ke area pertanian," kata Heriyanto, yang tinggal di dekat suaka margasatwa Balai Raja.

Direktur eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, Yuliantony, menilai masyarakat di sekitar Balai Raja perlu menerapkan konsep berbagi ruang hidup dengan gajah, agar habitat gajah tetap terjaga, dan aktivitas warga juga tidak terganggu.

Kondisi kawasan konservasi di Riau tidak lagi bebas dari aktivitas manusia, sehingga habitat gajah berubah menjadi pemukiman atau perkebunan.

"Manusia dapat hidup di habitat gajah dengan kesadaran bahwa mereka tinggal di wilayah gajah serta membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan untuk bertahan dari konflik tanpa merugikan gajah serta mengalokasikan lahan tertentu di antara aktivitas mereka untuk gajah," ungkap Yuliantony.

Program berbagi ruang dengan gajah sudah diterapkan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur. Warga di sekitar taman nasional membangun gubuk penjagaan untuk menghalau gajah liar kembali ke hutan.

Para pegiat lingkungan juga melatih gajah untuk menghindari perburuan.

Sumber: bbc

Terkini