Informasi Beberapa Daerah di Riau Berkiblat ke Malaysia

Informasi Beberapa Daerah di Riau Berkiblat ke Malaysia
bu-ibu di Desa Bokor, Kepulauan Meranti sedang menonton siaran stasiun televisi Malaysia, beberapa waktu lalu. Foto kiri, Johana berfoto di depan ruma

PEKANBARU - Empat kabupaten/kota di Riau berbatasan dengan Malaysia. Yakni Bengkalis, Rokan Hilir (Rohil), Kepulauan Meranti, dan Dumai. Daerah itu hanya di­pisahkan oleh selat. Kedekatan wilayah dan kesamaan budayamembuat masyarakat di perbatasan tersebut begitu mudah menerima segala informasi berbau Malaysia.

Boleh dikatakan masyarakat di sana masih menjadikan negeri jajahan Inggris itu sebagai kiblat mendapatkan informasi media elektronik. Baik televisi (tv), maupun radio. Cukup hanya mengandalkan antena biasa dengan ketinggian di atas 10 meter yang dipasang di samping atau belakang rumah, sudah cukup mendengar suara penyiar berdialek bahasa Melayu campur Inggris dari seberang pulau. Begitu juga dengan siaran televisi. Mulai dari TV 1, TV 2, TV3, TV 8 dan TV 9 semuanya bisa didapat dengan baik.

Sementara informasi tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) begitu minim. Sudah 72 tahun Indonesia merdeka kondisi itu tetap belum berubah, meski pemerintah RI berupaya keras membenahi itu.

Kabupaten Bengkalis misalnya memiliki kesamaan budaya dengan Malaysia. Itu terlihat dari persamaan bahasa yang digunakan dalam berinteraksi setiap harinya. Tidak hanya bahasa, beberapa daerah di Bengkalis juga terkontaminasi dengan siaran-siaran media televisi di negeri Siti Nurhaliza itu. Hal ini dipengaruhi faktor jarak yang cukup dekat di antara kedua pulau tersebut.

Chanel-chanel tv Malaysia hampir setiap harinya bisa ditonton masyarakat. Salah satunya di Desa Selat Baru, Kecamatan Bantan. Beberapa warung dan tempat makan yang terlihat di sana hampir rata-rata memutar channel stasiun televisi Malaysia, TV 1, TV2 dan TV3. Tidak hanya siaran tv, siaran radio pun juga sering didengar dengan bahasa Malaysia.

“Itu dari dulu. Jadi tidak asing lagi kami-kami di sini. Malaysia sudah sangat dekat dengan hati kami,” ungkap Lilis, warga Desa Selat Baru.

Demikian juga di Desa Bokor, Kepulauan Meranti. Umumnya masyarakat di sana lebih mengenal siaran-siaran yang disajikan di berbagai chanel dari Malaysia. Mulai dari informasi berita, hiburan dan film lokal maupun film luar Malaysia.

“Karena cuma siaran Malaysia yang kami dapat. Mulai siaran berita, film, maupun hiburan musik. Siaran dalam negeri hanya TVRI. Kadang juga tak begitu jelas gambarnya,” sebut Kartini (51), warga Bokor yang mengaku hafal dan kenal seluruh artis yang tampil di stasiun televisi Malaysia.

Setelah selesai Salat Magrib setiap harinya, Kartini akan membuka siaran yang telah dinantinya sejak seharian. Pasalnya di Bokor, listrik hanya hidup malam hari.

Senada dengan Kartini, warga Bokor lainnya Johana (47), mengatakan setiap malam mereka selalu menikmati sajian informasi dan hiburan dari Malaysia. Johana mengaku sangat senang mendengarkan radio dibandingkan menonton televisi. Banyak siaran radio yang didengarnya setiap hari. Mulai dari radio klasik, Era FM, Musik FM Malaysia dan juga ada Sinar FM Singapura.

“Dari gadis kami senang mendengarkan radio Malaysia. Siaran kesukaan kami rock slamber pada siaran Musik FM,” ucapnya.

Johana sadar mereka tinggal di wilayah Indonesia. Kegemaran melihat siaran dan televisi dan radio Malaysia, bukan untuk mengkhianati bangsa. Tetapi memang seperti itulah kondisinya. Sebab Malaysia lebih terasa dekat jika dibandingkan dengan Indonesia. Selain karena memang siaran media elektronik yang mudah didapatkan dibandingkan siaran Indonesia, juga karena Malaysia menjadi negara untuk mencari rezeki keluarga.

Tak Asing Lagi

Rohil juga merupakan salah satu kabupaten yang secara geografis, posisinya berhadapan langsung dengan Negeri Jiran yang hanya dibatasi Selat Malaka. Wilayah Rohil yang berhadapan langsung dengan Malaysia adalah Kecamatan Sinaboi, Kecamatan Kubu, dan Kecamatan Pasirlimau Kapas.

Ketua Nelayan Kecamatan Sinaboi Antan (60) mengatakan, keberadaan Malaysia sudah tidak asing baginya. Malahan, dirinya sempat bolak balik ke Malaysia menggunakan kapal pompong.

‘’Kalau menggunakan pompong, perjalanannya sekitar tujuh jam,’’ kata Antan.

Setiap kali pulang dari Malaysia dengan mengarungi Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas yang terpadat itu, kapal pompongnya selalu membawa sejumlah barang. Mulai dari bahan perabot rumah tangga hingga pakaian. Termasuk berbagai jenis bahan makanan.

Rumah yang ditempati Antan di Kuala Sinaboi Kecil sangat sederhana. Ada peralatan televisi yang dilengkapi dengan beberapa digital maupun VCD player. Semua peralatan itu hanya dapat dinikmati saat sore. Di depan halaman rumahnya yang tergolong sempit itu terdapat satu unit parabola yang berdiri kokoh. Melalui antena parabola inilah, dia bersama keluarga menikmati siaran televisi. Semuanya channel-nya berasal dari Indonesia. ‘’Dulu ya siaran Malaysia. Sekarang, semuanya sudah pakai parabola. Jadi, semua siaran yang ditonton chanel Indonesia,’’ kata Antan.

Pemerhati penyiaran Riau Cecep Suryadi mengatakan, berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun KPID Riau, tidak ada lembaga penyiaran di daerah perbatasan seperti di ibu kota Rohil, Bagan Siapi-api.

“Di sana tidak berfungsinya Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL). LPPL (RSDP) di Rohil off, radio komunitas bantuan Kemenkominfo off, LPPL TV di Bengkalis off,” kata mantan Komisioner KPID Riau itu.

Lebih lanjut dikatakannya, kebudayan yang sama antara Malaysia dan Riau bahkan ada hubungan kekeluargaan, sehingga siaran Malaysia dianggap tidak menjadi masalah. Kemudian infrastruktur lembaga penyiaran yang ada masih belum memadai. Dikatakannya, di Dumai ada 61 siaran radio luar yang bisa ditangkap, juga ada Riau TV yang streaming, dan ada 8 siaran Malaysia.

“Di Bengkalis, kami temui nama LP seperti di Dumai. Di Bengkalis ada 64 siaran. Jadi Indonesia ada 3, 61 adalah siaran dari luar,” ujar Cecep.

Dikatakan Cecep, hambatan yang ditemukan secara regulasi dan struktur antara lain mengenai proses perizinan yang terlalu lama dan tidak jelas batas waktunya. Seperti persyaratan dan proses perizinan radio komunitas, di beberapa daerah perbatasan sulit untuk dijangkau. “Lalu kurang berminatnya pemodal untuk mendirikan lembaga penyiaran di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Dari persoalan di atas, pihaknya saat itu merekomendasikan beberapa poin. Di antaranya SOP perizinan harus jelas. Persyaratan radio komunitas terutama di daerah perbatasan harus diberlakukan peraturan khusus. Memberikan perlakuan khusus kepada pemodal yang ingin mendirikan lembaga penyiaran di daerah perbatasan.

“Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mendirikan dan mengoperasionalkan LPP/LPPL. Program kementerian Kominfo tentang radio komunitas harus menyertakan biaya operasional,” jelasnya.

Sementara Koordinator Kelembagaan KPID Riau Widde Munadir Rosa mengatakan, pemerintah telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk membanguan pemancar di daerah perbatasan di 12 provinsi. Salah satunya di Riau. Tepatnya di Sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis . Ini diresmikan serentak pada HUT ke-72 RI. Di mana kawasan perbatasan ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional di bidang pertahanan dan keamanan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan perekonomian di perbatasan merupakan pendekatan strategis dalam rangka menjaga kedaulatan negara.

“Salah satu tugas dan fungsi KPID Riau adalah memberikan peluang bagi lembaga-lembaga penyiaran publik, penyiaran swasta, penyiaran komunitas, penyiaran berbayar. Baik televisi dan radio untuk dapat mengambil andil dalam menciptakan penyiaran di perbatasan,” katanya.

Belum Signifikan

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) mengakui pembangunan daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, termasuk di pesisir Riau, belum signifikan. Namun, pemerintah terus berupaya memberikan perhatian utamanya memenuhi keperluan dasarnya.

Hal ini disampaikan Sekretaris BNPP Hadi Prabowo ketika dikonfirmasi tentang kondisi masyarakat di Desa Bokor, Meranti yang merasa lebih ­dekat dengan Malaysia dibanding negara sendiri. Baik dari segi informasi maupun perekonomian. “Yang jelas terus diupayakan, kaitan siaran, BTS (Base Transceiver Station, red). Memang kita tidak bisa lepas. Artinya secara geografis mereka berdekatan. Namun yang lebih penting kita penuhi keperluan dasar dan mereka tetap terpupuk jiwa nasionalismenya,” kata Hadi menjawab Riau Pos di Jakarta, Rabu (16/8).

Pemerataan Pembangunan

Gubernur Riau (Gubri) H Arsyadjuliandi Rachman menyadari pembangunan di wilayah Riau daratan dan pesisir belum merata. Sebagai wujud perhatian, Pemprov Riau menyediakan Bantuan Keuangan (Bankeu) sejak dua tahun terakhir. Uang dalam pagu APBD Riau pun dibagi merata dalam upaya pemerataan pembangunan.

72 tahun Indonesia merdeka, disadari Andi Rachman (sapaan akrab Gubri) perlu sebuah upaya dan langkah bersama dalam mempersempit kesenjangan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, dalam pembangunan dia ingin seluruh anggaran disediakan untuk pembangunan di desa-desa, dan tidak terpusat lagi di perkotaan.

Mengenai penganggaran, memang uang APBD Riau disiapkan berupa Bankeu untuk seluruh daerah. Sekitar Rp200-an miliar, dengan angka bervariatif setiap tahun dikucurkan. “Kalau pembangunan merata, saya yakin masyarakat kita di garis terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, menyadari arti hadirnya pemerintah di wilayahnya,” ujar Gubri.

Halaman :

Berita Lainnya

Index