Bocah Disabilitas Diculik LGBT, Disodomi di Kebun Dekat Sekolah

Bocah Disabilitas Diculik LGBT, Disodomi di Kebun Dekat Sekolah
Ilustrasi

HARIANRIAU.CO - Bocah disabilitas (berkebutuhan khusus) diculik kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Bogor Jawa Barat. Korban dibawa ke perkebunan dekat sekolah untuk disodomi. Saat ditemui kemarin (21/1), bocah 14 tahun berinisial M itu masih trauma berat. Ia takut menemui orang asing.

Warga Desa Dago, Kecamatan Parungpanjang, Kabupaten Bogor itu tak mau lagi sekolah semenjak menjadi korban pelecehan seksual oleh kelompok LGBT di lingkungannya.

Menyandang keterbelakangan mental, membuat M jadi mangsa empuk bagi para predator seks menyimpang. M menjadi bahan ekpsloitasi kelompok LGBT di kasawan tambang tersebut.

“Dia jadi takut ke sekolah semenjak kejadian itu. Sering terlihat murung juga,” tutur ST, ibunda M, kepada Radar Bogor, di Mapolsek Parungpanjang.

Derita yang menimpa M terbongkar setelah ST menaruh curiga pada perubahan sikap M yang enggan bersekolah.

Belakangan, M mengeluhkan rasa sakit pada (maaf) bagian anusnya. Ketika ditanya, M pun terbuka pada sang ibu. Ia lantas menceritakan seluruh peristiwa mengerikan itu.

“Dia diseret, dimasukkan benda-benda tumpul. Langsung saya ke kantor polisi buat laporan,” ungkap ST.

Menurut sang ibu, M diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh pelaku LGBT yang masih sebaya dan teman satu sekolahnya. ST juga membawa M ke RSUD Cibinong untuk menjalani visum, dan hasilnya sungguh mengerikan.

“Anak saya mengalami luka di bagian (maaf) anus. Ada tiga luka. Saat ini menjalani pemeriksaan RSUD Cibinong,” ungkapnya.

Mendapati anak didiknya menjadi korban LGBT, kepala sekolah tempat M menimba ilmu, Abdul Azis, mengaku terkejut. Azis mengaku peristiwa ini baru pertama kali terjadi di sekolahnya. “Iya benar. Saya kaget dengan adanya ini,” kata Azis kepada Radar Bogor.

Terkait dugaan adanya kelompok LGBT di sekolahnya, Azis berjanji akan memperketat pengawasan dan menelusuri kejadian yang menimpa muridnya tersebut. “Di sini tidak ada LGBT. Tapi di luar sekolah, tidak tahu,” akunya.

Kasus Sodomi Bocah Disabilitas Dilimpahkan ke Polres Bogor

Kanit Reskrim Polsek Parungpanjang Iptu Irwan Aleksander mengatakan bahwa kasus ini sudah dilimpahkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor. Itu lantaran korban dan terduga pelaku masih di bawah umur.

“Kita arahkan visum lalu laporan ke Unit PPA Polres Bogor,” tukasnya.

Peristiwa ini memicu kemarahan berbagai kalangan. Guru besar ketahanan keluarga, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Euis Sunarti menyatakan tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak mengatur KUHP dan Undang-Undang antiLGBT.

Menurut Euis, aturan yang ada saat ini sangat memberi celah perilaku LGBT hidup dan berkembang. Mengingat perilaku LGBT belum dikatakan ilegal.

“Padahal ini tidak sesuai dengan dogma agama. Kalau hanya bisa dipidana jika (perilaku) di muka umum mengganggu. Lalu yang diam-diam bagaimana? Harus perilakunya itu yang dikatakan ilegal,” cetusnya penuh emosi.

Sama halnya seperti kasus perzinahan. Menurut Euis, ada delik aduan atau tidak, bukan masalah selama aspek hukum jelas mengatur.

Euis berpendapat, perilaku zina yang harus dikatakan ilegal. Nah, jika LGBT sudah dinyatakan ilegal, maka tidak ada alasan bagi Kemenkumham atau lembaga negara untuk membubarkan organisasi bertajuk LGBT.

Lima Fraksi di DPR Setuju LGBT, Prof Euis Berang

Prof Euis juga mengecam lima fraksi partai politik di DPR yang dikabarkan mengizinkan LGBT dan pernikahan sejenis.

Dia khawatir sikap itu dilatarbelakangi kepentingan politik untuk menggandeng kaum LGBT di pesta-pesta demokrasi yang sedang dan akan dijalani bangsa ini.

“Ini harus dilarang, demi menyelamatkan generasi bangsa,” cetusnya.

Kegeraman serupa juga dilontarkan Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bogor Yane Ardian. Yane singkat menyebut, LGBT haram, dan pernyataan itu harga mati.

“Kita sebagai warga negara jangan diam saja. Bergerak secara pribadi maupun atas nama lembaga,” cetusnya.

Yane mengatakan, di satu sisi jumlah anak berkebutuhan khusus semakin bertambah. Ia khawatir kondisi itu dimanfaatkan para predator dan menjadikan mereka sebagai mangsa. Seperti yang terjadi pada kasus bocah M di Parungpanjang.

“Cara menghindari, penjagaan atau pengawasan yang baik. Kenapa bisa terjadi kasus M, pasti karena ada kesempatan yang membuat predator itu beraksi,” imbuhnya.

“Saya ingin kita semua (pemerintah, masyarakat, dan komunitas) bersama-sama melakukan penguatan keluarga. Setiap anak punya hak untuk mendapat perlindungan,” tegasnya.

Caranya, imbuh Yane, dengan membentuk kelompok ibu berasal dari 10 KK (kepala keluarga) rumah yang bertetangga atau dasa wisma.

“Aktivasi dasa wisma dengan cara memberi program ketahanan keluarga. Dengan begitu setiap ada di setiap wilayah bisa dikontrol pengawasannya,” tambahnya.

MUI Tuding MK Lakukan Pembiaran LGBT

Di bagian lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah dan DPR segera menanggapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi perluasan makna pada pasal perzinahan (284), pemerkosaan (285), dan pencabulan (292) pada KUHP.

Waketum MUI Zainut Tauhid Saadi mengatakan bahwa pihaknya akan terus mencermati dan mengawal proses pembahasan RUU KUHP di DPR.

MUI, lanjut dia, turut menyesalkan putusan MK karena tidak berani mengambil terobosan hukum di tengah mendesaknya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap perlindungan terhadap kejahatan kesusilaan.

MUI menilai bahwa berkembangnya perilaku seks bebas tanpa ikatan perkawinan yang sah disebabkan tidak adanya payung hukum yang cukup memadai dan tidak memenuhi unsur dalam pasal perzinaan sebagainana yang diatur dalam KUHP pasal 284.

“Ini sama halnya membiarkan dan mendorong berkembangnya perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT),” ujar Zainut kemarin (21/1).

Menurut dia, MUI sangat prihatin dengan semakin berkembangnya pemikiran dan budaya hidup sebagian manusia Indonesia yang sekuler, liberal, dan jauh dari nilai-nilai agama dan kesusilaan.

Hal ini tentu tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Atas dasar itu, MUI mendorong DPR dan Presiden menindaklanjuti putusan MK tersebut.

“Harus segera dibahas dan ditetapkan menjadi UU, secara serius dan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Dikatakan Zainut, yang tidak boleh dilupakan bahwa seluruh proses pembahasan harus memperhatikan, menyerap, dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Selain itu, MUI meminta agar unsur pelaku kejahatan tidak dibatasi kepada kategori orang-orang tertentu saja dalam merumuskan pasal-pasal kesusilaan (LGBT).

Menurut Zainut, MUI juga menengarai bahwa dalam pembahasan pasal-pasal RUU KUHP, DPR mengalami kebuntuan karena tidak adanya kesepahaman fraksi-fraksi dalam memahami pasal-pasal tersebut.

“Ada fraksi yang semangatnya menolak atau tidak setuju dan ada fraksi yang menerima atau setuju dengan perluasan makna pasal-pasal tersebut,” pungkasnya.

Penularan HIV/AIDS Terbesar Ternyata dari Kaum LGBT

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susianah Affandy mengungkapkan, dahulu ada kekhawatiran seseorang punya anak perempuan karena berpotensi menjadi korban kekerasan anak.

Sekarang, orang tua yang punya anak lelaki pun juga was-was karena pelaku kekerasan seksual juga menyasar anak laki-laki.

”Karena orang tidak akan curiga laki-laki sesama laki-laki. Apalagi bila ada faktor kedekatan juga dengan pelaku. Selain itu tidak ada risiko hamil,” ujar Susianah, kemarin (21/1).

Data di pengaduan KPAI pada 2017 tercatat 168 kasus kekerasan seksual pada anak. Tercatat ada 48 anak yang menjadi korban kasus tersebut.

Kedekatan pelaku dan korban itu juga menjadi hal yang harus diwaspadai anak dan orang tua. Susianah menuturkan sudah banyak contoh pelaku adalah orang di lingkaran anak.

Bukan hanya punya hubungan keluarga tapi juga bisa guru. Seperti kasus yang terjadi di Tangerang yang menimpa 41 anak yang dilakukan oleh seorang guru SD.

”Biasanya karena anak menggantungkan hidupnya pada pelaku,” imbuh perempuan yang juga Ketua Bidang Sosial Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga (Soskeskel) Kowani itu.

Hubungan murid dan guru termasuk salah satu bentuk ketergantungan. Tapi dalam kasus lain ada anak jadi korban kekerasan seksual oleh seorang kakek karena dititipkan padanya.

Susianah mengungkapkan salah satu cara terbaik melindungi anak dari kekerasan seksual adalah memberikan pengertian yang jelas pada anak bahwa alat kelamin itu sangat privat. Tidak boleh sembarangan disentuh oleh orang lain.

“Yang boleh menyentuh adalah dia dan ibunya sendiri. Kalau ada orang lain yang menyentuh harus lapor segera,” ujar dia.

Tapi, tidak cukup mudah untuk mengungkapkan kasus tersebut. Sebab bukan hanya sekadar ancaman dari pelaku. Tapi, mereka juga menggunakan bahasa-bahasa simbol atau kiasan yang tidak mudah dimengerti orang pada umumnya.

”Anak tak pahami bahasa verbal. Misalnya, (pelaku menyuruh) kalau ditanya orang tua bilang aja main kuda-kudaan,” tambah dia.

Psikolog Beberkan Dampak Mengerikan Kekerasan Seksual Anak

Psikolog Adityana Kasandra Putranto menuturkan perilaku menyimpang berupa kekerasan seksual terhadap anak terbentuk karena beberapa faktor. Terutama terkait dengan fungsi neuropsikologi. Umumnya terkait dengan trauma masa kecil pernah mengalami hal yang sama.

”Menimbulkan gangguan fungsi neurologis dan simpanan rekaman memori trauma sebagai pengalaman yang dirasakan menyenangkan,” tambah dia.

Adityana menuturkan secara umum predator seksual anak akan mengejar tipikal korban tertentu. Yaitu anak-anak yang introvert, tidak terbuka, dan tidak dekat dengan orang tua. Selain itu, anak juga tidak memiliki sistem perlindungan dan keamanan

Dia mengibaratkan seperti gula ada semut berlaku dalam kasus kejahatan seksual anak. Anak-anak adalah gula. Sementara predator seksual anak adalah semutnya.

”Gula saja kita amankan di dalam tabung tertutup, sementara anak seringkali tidak berada dalam wilayah aman dan tidak ramah anak,” ungkap dia.

DATA DAN FAKTA

Kasus Kekerasan pada Anak

-2.737 kasus kekerasan terhadap anak di 2017
-52 persen (1.424 kasus) merupakan kekerasan seksual
-2.848 anak menjadi korban
-17 persen kekerasan psikis

1.424 Kasus Kekerasan Seksual

-54 persen atau 771 kasus sodomi
-36 persen pencabulan sebanyak 511 kasus
-9 persen perkosaan sebanyak 122 kasus

2.848 Kasus Kekerasan Anak
-59 persen anak laki-laki 1.698 korban
-40 pesen anak perempuan 1.131 korban

Kasus di Kabupaten Bogor 2017
-110 kasus kekerasan pada anak
-90 kasus pelecehan seksual

Kasus di Kota Bogor
-57 kasus kekerasan terhadap anak di 2017
-52 kasus kekerasan terhadap anak di 2016

Kasus-Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Bogor

14 Agustus 2017
SI (47) wanita asal Cianjur, Jawa Barat, diamankan Polres Bogor atas tuduhan perdagangan orang atau human trafficking terhadap AS (16), TP (14) dan SF (16).

20 Agustus 2017
Polisi membongkar penjualan sembilan bocah lak-laki untuk dijual pada kaum gay

16 September 2017
Polda Metro Jaya membongkar 750 ribu gambar dan video gay anak yang diperjualbelikan oleh I (21), seorang pedofil asal Bogor.

31 Oktober 2017
Duda berinisial RI (52) mencabuli 4 bocah laki-laki di Kabupaten Bogor. RI melakukan perbuatan cabul itu karena kesepian ditinggal cerai sang istri.

30 Oktober 2017
WS, warga Kabupaten Bogor dilaporkan mencabuli anak di bawah umur.

18 Januari 2018
Remaja berusia 14 tahun yang memiliki keterbelakang mental, menjadi korban sodomi rekan sekolahnya.

Halaman :

Berita Lainnya

Index