Tiga Mantan Kepala Dispenda Bakal Bersaksi untuk Deyu Senin Depan

Tiga Mantan Kepala Dispenda Bakal Bersaksi untuk Deyu Senin Depan
ilustrasi

HARIANRIAU.CO - Tiga mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Riau bakal kembali hadir di persidangan perkara dugaan korupsi anggaran perjalanan dinas. Kali ini, mereka akan bersaksi untuk terdakwa Deyu, Kepala Sub Bagian Keuangan di instansi yang saat ini berganti nama jadi Badan Pendapatan Daerah (Bependa) Riau itu.

Ketiga mantan kepala dinas itu adalah, Joni Irwan, Masperi dan SF Hariyanto. Dijadwalkan mereka akan dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Amin dan kawan-kawan pada Senin (12/2/2018) nanti.

Seyogyanya, ketiganya memberikan keterangan, Jumat (9/2/2018). Namun kondisi kesehatan Dayu yang kurang baik membuat hakim, jaksa dan penasehat hukum sepakat menunda sidang. "Kita tunda pada Senin nanti," kata majelis hakim yang diketuai Sulhanuddin, didampingi hakim anggota Dahlia dan Hendrik.

Penasehat hukum Deyu, Deni Azani B Latif, mengatakan, kondisi kliennya memang sedang lemah. "Benar, untuk selanjutnya sidang diagendakan Senin. Mudah-mudahan kondisinya sudah fit dan bisa mengikuti persidangan nanti," kata Deni, Sabtu (10/2/2018).

Sebelumnya, Joni Irwan, Masperi dan SF Haryanto telah memberikan kesaksian untuk terdakwa Deliana, mantan Sekretaris Dispenda Riau. Mereka mengaku tidak tahu tentang adanya pemotongan anggaran perjalanan dinas di instansinya pada tahun 2015-2016.

"Tidak tahu ada pemotongan. Tahu ada pemotongan dari berita di media massa," ujar Joni.

Jawaban sama juga disampaikan Masperi dan SF Hariyanto. "Di zaman saya tidak ada pemotongan UP (Uang Persediaan) dan GU (Ganti Uang)," kata Masperi.

Jawaban tiga mantan kadis itu membuat hakim heran. Pasalnya, berdasarkan keterangan sejumlah saksi pemotongan sudah terjadi sejak tahun 2012 hingga perkara ini diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi Riau.

Apalagi para saksi selaku Pengguna Anggaran mengaku tidak pernah ada laporan dari bawahannya tentang adanya pemotongan, baik secara lisan maupun tulisan, termasuk dari Deliana. "Tidak lakukan cek. Berarti salah SOP (Standar Operasional Kegiatan) dong," kata hakim Dahlia.

Hakim juga mempertanyakan anggaran untuk BBM, makan dan kegiatan operasional lainnya. Tiga mantan kepala dinas ini menyatakan, anggaran itu sudah ada di dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sehingga tidak perlu dilakukan pemotogan anggaran GU dan UP. "Anggaran bensin (kepala dinas), ATK dan lainnya sudah ada di RKA," kata SF Hariyanto dikutip dari cakaplah.com.

Para saksi juga ditanya terkait adanya pemotongan 10 persen yang dimasukkan ke brankas. "Siapa yang bertanggungjawab atas brankas itu?" tanya hakim. "Kunci dipegang bendahara pengeluaran," ucap Masperi.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Februari 2015, terdakwa Deliana memanggil terdakwa Deyu untuk datang ke ruangannya. Di ruang itu juga hadir Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pembantu di masing-masing bidang.

Di antaranya, Deci selaku Bendahara Pengeluaran Bidang Pajak, Deli selaku Bendahara Pembantu Bidang Pengelolaan Data, Anggraini selaku Bendahara Pembantu Bidang Retribusi, dan Tumino selaku Bendahara Kesekretariatan.

Terdakwa Deliana memberitahukan kalau dana UPT segera cair. Namun dari dana itu akan ada pemotongan sebesar 10 persen dari UP dan GU di masing-masing bidang.

Pencairan dilakukan pada Maret hingga Desember 2015 melalui juru bayar, Akmal. Untuk melaksanakan instruksi Deliana, terdakwa Deyu meminta Akmal memotong 10 persen kepada bendahara.

Setelah terkumpul, dana itu disimpan ke dalam brankas yang diketahui oleh terdakwa Deliana dengan tulisan uang pemotongan UP dan GU. Uang itu dikeluarkan atas persetujuan terdakwa untuk membayar operasional seperti bahan bakar minyak, tivi kabel, honor, tiket pesawat, makan bersama dan lain-lain.

Pemotongan serupa juga dilakukan pada tahun 2016. Pemotongan ini berdampak pada masing-masing bagian di Dispenda (saat ini bernama Badan Pendapatan Daerah) Riau. Perjalanan dinas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Akibat perbuatan itu negara dirugikan Rp1,23 miliar. Uang itu tidak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa dan membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak sesuai prosedur.

Halaman :

Berita Lainnya

Index