Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat Belum 10 Persen Dari Target 183.000 Hektare

Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat Belum 10 Persen Dari Target 183.000 Hektare

HHARIANRIAU.CO - Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan realisasi program Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat masih di bawah 10 persen dari target 183.000 hektare pada 2018, meski pemerintah sudah merevisi peraturan untuk mempermudah pelaksanannya.

"Rakyat  membutuhkan dukungan. Pemerintah sudah merevisi peraturan untuk mendorong raelisasi peremajaam sawit rakyat karena 185 ribu hektare target peremajaan sawit rakyat pada tahun ini, sekarang baru 13 ribu yang terealisasi," kata Deputi Menteri Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud, pada diskusi percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat, di Pekanbaru, Selasa.

Ia menjelaskan sudah ada Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan, yang seharusnya bisa mempercepat proses peremajaan sawit rakyat.

Lewat aturan itu, pemerintah berusaha realistis untuk melepaskan kawasan hutan yang kini ternyata sudah berbentuk kebun kelapa sawit untuk program tersebut.

"Kami akan cek itu untuk hutan atau perlu dievaluasi, dan apa bisa dipindahkan ke lahan pengganti. Kami 'kan harus realistis kalau memang tutupannya sudah bukan hutan lagi," ujarnya.

Menurut dia, keberhasilan program tersebut juga bermanfaat bagi Indonesia yang terus mendapat kampanye hitam (black campaign) dari negara asing bahwa kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan.

"Dengan mempercepat peremajaan, kita bisa mengidentifikasi status lahan dengan baik. Kita yakinkan bahwa itu adalah petani kecil dan tidak boleh kita biarkan saja karena akan kontradiksi dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan," katanya.

Sawit merupakan sumber pendapatan negara terbesar saat ini yang mencapai Rp307 triliun. "Namun, persoalan legalitas lahan selalu dipakai untuk black campaign menyerang sawit kita," lanjut Musdhalifah.

Menurutnya, pengurusan legalitas kebun sawit rakyat atau swadaya sering berhadapan dengan tumpang tindih lahan, karena mayoritas statusnya masuk kawasan lindung dan sebagian lagi merupakan kawasan hutan bekas HPH dan APL yang tidak bermasalah untuk ditanami sawit.

"Sekarang daftarkan saja dulu, status lahan nanti kita selesaikan bersama. Rakyat tidak akan bisa selesaikan ini sendiri, sedangkan ini adalah program untuk rakyat," katanya.

Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Teguh Wahyudi mengatakan kendala utama dalam program peremajaan sawit rakyat karena minimnya data akurat terkait jumlah lahan kebun rakyat swadaya.

"Padahal, data 185 ribu hektare itu berasal dari usulan-usulan dari pemerintah daerah juga. Tapi ketika pelaksanannya sampai sekarang data yang ada tidak begitu valid," katanya.

Dia mengungkapkan, sebagai ilmuwan dan peneliti tidak akan pernah bohong meskipun bisa saja salah. Tim peneliti pendamping akan bekerja menyelesaikan masalah legalitas dan administrasi lahan petani calon peserta peremajaan.

"Selain itu, pola-pola kemitraan antara petani kebun rakyat dengan perusahaan potensial harus lebih ditingkatkan guna perbaikan kualitas kebun petani itu sendiri," jelasnya.

Sementara itu, Imrialis, petani kebun rakyat dari Kabupaten Kuantan Singingi yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan, masalah legalitas membuat para petani harus berurusan dengan penegak hukum.

Banyak petani sawit rakyat yang ditangkap karena dituduh telah merambah dan merusak kawasan hutan.

"Banyak dari kami petani yang ditangkap saat mengurus legalitas lahan. Kami dituduh menggarap lahan hutan. Seperti di Riau ini, semua lahan kosong dikatakan hutan termasuk sekarang perhutanan sosial," ungkapnya dilansir antara.

Ia juga mengungkapkan banyak kendala dalam pengurusan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari 9.000 persil yang diserahkan ke BPN yang baru selesai hanya sebanyak 45 persil. Alasan dari BPN, hanya mempunyai 10 pegawai yang harus mengurus sebanyak 19 ribu persil sertifikat lahan yang diusul para petani.

"Pemerintah meminta kami supaya cepat mengurus legalitas tetapi faktanya jumlah pegawai BPN tidak sebanding dengan jumlah sertifikat yang diurus. Jadi ini janganlah dipaksakan kalau tidak realistis," ujarnya.

Halaman :

Berita Lainnya

Index