Merubah Metode di Pendidikan Tinggi

Merubah Metode di Pendidikan Tinggi

Pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara Indonesia. Pendidikan menjadi pondasi utama dalam membentuk sebuah karakter manusia. Tanpa pendidikan manusia tidak akan tahu tentang arti kenapa dia masih hidup sampai sekarang. Pendidikan membentuk mental kritis, dan semangat. Pola pikir yang berkembang guna hanya untuk menyusun rencana pembangunan diri dan juga daerah bahkan suatu bangsa.

Sangat disayangkan memang, keadaan proses pendidikan dinegara ini masih belum bisa menciptaan kesadaran berpikir bagi sebagian besar peserta pendidik, terkhususnya untuk manusia yang mengemban pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Dari proses pendidikan yang diterapkan diperguruan tinggi kebanyakan hanya menyiapkan dan menciptakan calon – calon pekerja atau “buruh”, dan alat bagi para golongan tertentu. Mahasiswa diberi metode monoton oleh para pengajarnya. Metode ini menerapkan dosen sebagai subjek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada mahasiswanya, sedangkan mahasiswa sebagai tempat deposit belaka. Metode pendidikan seperti ini dinamakan “sistem bank” menurut Paulo Freire. Seorang aktifis pendidikan dari Amerika Latin yang pemikirannya banyak mempengaruhi sistem pendidikan di Amerika Latin, terkhususnya di Brazil, Chile dan Meksiko.

Dalam sistem bank didalam proses pembelajaran, mahasiswa semata – mata hanya sebagai objek. Sangat jelas dalam sistem tersebut tidak terjadi komunikasi yang sebenar – benarnya antara dosen dan mahasiswa. Penerapan pendidikan seperti mencerminkan sistem pendindasan sekaligus memperkuat struktur – struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yag dimanfaatkan untuk penjinakan.

Untuk mengatasi masalah itu Freire menawarkan konsep “Pendidikan hadap masalah” yang memungkan konsientiasi atau membangkitkan kesadaran kritis. Dalam proses ini dosen dan mahasiswa bersama – sama menjadi subjek yang disatukan oleh objek yang sama. Dalam hal ini tidak ada lagi yang berperan sebagai superior yang tahu akan segalanya, tapi disini dosen dan mahasiswa berfikir secara bersama.

Didalam sistem yang ditawarkan Freire itu dosen belajar dari mahasiswa dan mahasiswa belajar dari dosen. Hal ini akan menciptakan keselarasan berfikir, tidak hanya berpatok pada satu yang dianggap sebagai sumber “kebenaran”. Jika ditarik lebih luas metode ini juga penerapan HAM, dimana mahasiswa dan dosen memiliki hak yang sama atas nalar berfikir dan berargumentasi.

Dosen menjadi rekan mahasiswa yang melibatkan diri sebagai perangsang daya pemikiran kritis pada mahasiswa. Dengan demikian kedua belah pihak bersama – sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukanlah hal yang statis, melainkan sutau proses yang belum selesai. Kesadaran akan realitas ini nantinya akan menuntut mereka berfikir kritis untuk menjawab tantangan yang ada. Jawaban terhadap tantangan akan membawa manusia kepada dedikasi yang utuh. Bahwa pengetahuan adalah keterlibatan.

Kita menyadari bahwa saat ini pendidikan menjadi salah satu faktor utama untuk menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik. Apa lagi diera global seperti sekarang ini, persaingan antara manusia didunia sudah semakin ketat. Sudah memakai sistem rimba siapa yang mampu mendominasi yang lain maka ia akan menjadi “penguasa” terhadap yang lainnya.

Esensi menempuh pendidikan diperguruan tinggi tidak hanya sebagai pekerja. Mahasiswa bukanlah merupakan sebuah alat yang terus diisi dengan materi – materi pendidikan yang nantinya disiapkan sebagai “buruh” dalam menjalani kehidupan pasca mereka berkuliah.

Metode pendidikan diperguruan tinggi harus berbeda dari pendidikan – pendidikan sekolah menengah dan dasar. Masih banyak metode pendidikan perguruan tinggi seperti pendidikan disekolah – sekolah menengah. Menjadikan dosen atau guru sebagai satu – satunya sumber “kebenaran” dikelas yang harus di aminkan oleh peserta didik.

Para guru diperguruan tinggi harus mampu bisa menjadi pemantik bagi para mahasiswanya untuk dapat menciptakan pemikiran kritis terhadap realita. Jangan sampai dosen menjadi sosok yang diktator akan ilmu didalam bangku perkuliahan.

Kembali saya mengulangi, dosen dan mahasiswa harus menjadi satu kesatuan dalam menentukan kebenaran (mencari ilmu). Tidak ada yang merasa lebih tahu diantara keduanya. Keduanya harus sama – sama membuka diri dan saling melibatkan. Dosen dan mahasiswa merupakan sebuah subjek yang diikat dalam objek yang sama dalam mencari kebenaran.

Halaman :

Berita Lainnya

Index