Diskusi Foto Memotret Seputar Konflik Lahan di Pekanbaru

Diskusi Foto Memotret Seputar Konflik Lahan di Pekanbaru
mediacenter.riau.go.id

HARIANRIAU.CO - Perayaan ulang tahun ke-235 Kota Pekanbaru, yang jatuh pada hari Minggu (23/6), menjadi momen refleksi tentang sejarah dan masa depan lahan, tidak hanya di ibukota tetapi juga di Riau secara keseluruhan.

Selama beberapa tahun terakhir, Riau merupakan salah satu saksi konflik agraria terbanyak di Indonesia, diantaranya akibat berbagai tumpang tindih kepemilikan lahan. Masalah kepemilikan dan pemanfaatan lahan ini memiliki dampak besar terhadap beragam pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Berawal dari permasalahan tersebut, sembilan fotografer terbaik di Pekanbaru mencoba menangkap cerita masyarakat seputar lahan dan konflik yang terjadi, yang ditampilkan dalam diskusi foto yang mengangkat tema Tentang Tanah: Memotret Isu Lahan di Riau’ pada hari Minggu, (23/6) di Perpustakaan Soeman HS, Pekanbaru.

Seiring peringatan HUT Kota Pekanbaru, acara diskusi ini mempersembahkan esai-esai foto yang menyorot dampak pengelolaan lahan dalam kehidupan sehari-hari.

Foto-foto tersebut adalah hasil lokakarya fotografi yang merupakan bagian dari kampanye #IniTanahKita yang diselenggarakan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia, bekerja sama dengan kolektif pelatihan fotografi Arkademy, dan Green Radio, untuk meningkatkan kesadartahuan publik tentang lahan.

Cerita-cerita yang diangkat memotret kota Pekanbaru dan wilayah Riau lainnya, khususnya bagaimana isu lahan terus berdampak dalam keseharian masyarakat, mulai dari cerita tentang Kota Tua Pekanbaru, nasib bangunan-bangunan di atas lahan sengketa, hingga kisah-kisah pribadi, seperti potret seorang bapak yang kehidupan kesehariannya bergantung pada hutan sebagai kuli angkut kayu.

"Isu pengelolaan lahan sering dianggap sebagai isu teknis atau sebatas masalah kebijakan, padahal seperti kita lihat melalui foto-foto ini, ada dampak langsung pada komunitas-komunitas lokal. Melalui lokakarya ini, peserta dibekali dengan materi teori dan praktik tentang bagaimana menggunakan medium fotografi tersebut untuk mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan di sekitar mereka," ungkap Ben Laksana, salah satu mentor lokakarya Arkademy di Pekanbaru, Minggu (23/6/2019) malam.

Kisah seputar lahan pun sangat personal, seperti halnya Nur Rohim Laras Setia yang mengangkat cerita bapaknya.

"Bapak adalah tulang punggung keluarga. Menjadi anak seorang buruh angkutan kayu balok, masa kecil saya diwarnai dengan pengalaman melewati hutan-hutan yang dahulu masih sangat indah, melihat binatang-binatang liar melintas yang mungkin sekarang saya akan susah untuk melihatnya lagi," ujar mahasiswa usia 20 tahun ini.

"Cerita foto ini menjadi momen untuk saya mengingat kembali memori masa kecil saya dan juga hubungan saya dengan bapak. Bisa dibilang, saya hidup dan dibesarkan dari hutan-hutan di Riau. Bapak dan saya adalah salah satu dari banyak keluarga yang hidupnya bertumpu dari alam," ujarnya lagi.

Selain tentang hutan, pengelolaan lahan juga penting dalam konteks perkotaan, terutama mengingat sejarah 235 tahun kota Pekanbaru. Bayu Made Winata, 32, memotret kisah Kota Tua Pekanbaru.

"Saya menceritakan tentang kota yang akan hilang. Kota Tua Pekanbaru perlahan tergerus oleh waktu dan ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah. Saya mengangkat cerita ini karena saya merasa jejak sejarah adalah identitas kota, dan identitas ini, apabila tidak diakui dan dirawat kehadirannya, akan mati perlahan," kata Bayu.

Kemudian, esai foto karya Duri Calangi, 32, mengangkat salah satu konflik lahan di kota tersebut.

"Saya mengangkat cerita tentang gedung auditorium Grand Gasing Milenium dan Gedung Fakultas Hukum di sebuah universitas di Riau. Kedua gedung tersebut berada dalam lahan yang sedang disengketakan antara pihak universitas dan salah satu perseroan terbatas. Sekarang, gedung tersebut terlihat tidak terawat, ditinggalkan, dengan cat putih dan abu-abu yang sudah mulai pudar. Cerita ini penting untuk diangkat karena saya merasa sengketa ini merugikan mahasiswa yang sudah membayar uang pembangunan untuk gedung-gedung yang tidak dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa," jelas Duri.

Sesi diskusi foto tidak hanya mengangkat permasalahan, namun juga solusi menuju kebijakan lahan yang lebih adil dan lestari melalui partisipasi aktif dan inklusif dari masyarakat. Salah satu program pemerintah untuk mengatasi masalah lahan ini adalah melalui Kebijakan Satu Peta (Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Kebijakan Satu Peta).

"Kebijakan Satu Peta yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk menghasilkan Informasi Geospasial Tematik yang terintegrasi yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai acuan utama untuk menyusun perencanaan pemanfaatan ruang dan lahan secara berkelanjutan dan transparan bagi semua pemangku kepentingan," papar Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Dra. Lien Rosalina, M.M., salah satu pembicara dalam sesi diskusi.

Riau memang dikenal luas sebagai daerah yang memiliki banyak tantangan dalam tata guna lahan, mulai dari konflik pemanfaatan dan penguasaan lahan, hingga kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar dan kebakaran hutan.

"Saat ini, proses Satu Peta sudah mulai masuk ke tahap sinkronisasi, yang bertujuan untuk penyelesaian konflik-konflik tersebut. Dengan dukungan dan partisipasi aktif dan inklusif dari seluruh walidata di kementerian dan lembaga, Satu Peta dapat menjadi landasan solusi isu-isu lahan di Riau," ujar Dra. Lien.

Sementara itu, Manager Regional Riau WRI Indonesia Ratna Akiefnawati menambahkan, "WRI Indonesia percaya bahwa kebijakan pengelolaan lahan yang lebih adil dan lestari harus inklusif dalam melindungi hak-hak semua pemangku kepentingan. Untuk itu, dibutuhkan data yang akurat dan transparansi untuk menyelesaikan konflik lahan hingga ke akarnya dan untuk mengelola tata laksana penggunaan lahan di Riau dan di Indonesia secara keseluruhan," kata Ratna.

Melalui medium kreatif seperti fotografi, masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam mengangkat dan menyuarakan hak-hak lahan, termasuk anak-anak muda. "Di Indonesia ini, berkaitan dengan lingkungan ada banyak permasalahan yang harus dituntaskan, maka dibutuhkan peran pemuda, terkhusus di provinsi Riau," ujar Dedi Priyanto, mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau.

Hal yang sama juga disampaikan Fitra Agra Nugraha, Gubernur Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau.

"Manusia memiliki tanggung jawab menjaga kelestarian alam, karena kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Oleh karena itu, kepedulian terhadap lingkungan sangat penting. Tidak sebatas untuk kita sekarang, namun juga untuk generasi yang akan datang. Untuk itu, pemuda sebagai agent of change sudah sewajarnya memahami hal ini dan turut berkontribusi dalam pelestarian lingkungan," tutupnya. (Mcr)

Halaman :

Berita Lainnya

Index