HARIANRIAU.CO - Stunting, kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis, menjadi perhatian utama Dinas Kesehatan Indragiri Hilir. Menurut Kepala Dinas Kesehatan, Rahmi Indrasuri, SKM, MKL, upaya penanganan stunting memerlukan pendekatan multifaktorial yang melibatkan kebijakan, edukasi, dan dukungan dari masyarakat.
Data dari Puskesmas Pulau Burung menunjukkan penurunan signifikan dalam kasus stunting, dari 20 balita terindikasi stunting pada tahun 2023 menjadi hanya 10 balita pada tahun 2024. Dengan rincian 6 balita laki-laki dan 4 perempuan, rentang usia mereka adalah antara 1 hingga 4 tahun. Penurunan ini menjadi angin segar dalam upaya pencegahan stunting di daerah tersebut.
Meskipun penurunan kasus stunting menggembirakan, berbagai faktor masih menjadi tantangan. Salah satu faktor utama adalah usia kehamilan yang tidak optimal. Bayi yang lahir prematur, dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, lebih rentan terhadap masalah kesehatan, dan hal ini berpengaruh terhadap risiko stunting. Selain itu, kekurangan energi kronis (KEK) yang dialami ibu hamil juga menjadi perhatian. Dari data yang ada, dua ibu mengalami KEK, yang berpotensi menghambat pertumbuhan janin akibat kurangnya asupan gizi yang memadai.
Pemberian ASI eksklusif juga menjadi sorotan, di mana hanya satu dari sepuluh ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. ASI eksklusif sangat penting untuk mencegah infeksi dan mendukung perkembangan bayi. Dalam hal makanan pendamping ASI (MPASI), 7 dari 10 bayi tidak mendapatkan asupan yang cukup protein, sementara hanya 3 bayi yang mendapatkan asupan yang memadai. Pemberian MPASI yang tepat waktu dan sesuai kebutuhan gizi menjadi kunci untuk pertumbuhan anak.
Data menunjukkan bahwa hanya 3 dari 10 balita yang menerima imunisasi lengkap, padahal imunisasi sangat penting untuk melindungi anak dari berbagai penyakit. Rutin mengunjungi posyandu juga perlu dilakukan untuk memantau pertumbuhan anak. Dalam hal ini, 6 ibu membawa bayinya secara rutin ke posyandu, sementara 4 lainnya tidak melakukannya.
Tingkat pemahaman orang tua mengenai gizi seimbang dan stunting juga menjadi tantangan. Sebagian besar orang tua menunjukkan pemahaman yang kurang, dengan 4 orang tua memiliki pengetahuan yang sangat rendah. Selain itu, paparan asap rokok menjadi masalah signifikan, di mana semua ayah dari balita yang terindikasi stunting adalah perokok aktif. Paparan asap rokok diketahui dapat mengganggu penyerapan gizi anak.
Kepala Dinas Kesehatan, Rahmi Indrasuri, menekankan bahwa perokok aktif dan kurangnya pemberian ASI eksklusif adalah dua faktor utama yang mempengaruhi kejadian stunting di wilayah tersebut. Ia menyatakan, “Keduanya memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan ibu hamil dan bayi.”
Ke depannya, untuk menurunkan angka stunting, penting bagi semua pihak untuk berkomitmen dalam menyediakan gizi yang baik, memastikan akses terhadap layanan kesehatan, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan ibu dan anak. Data yang menunjukkan perbaikan ini memberikan harapan baru, meskipun tantangan masih ada. Dengan kerjasama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya, diharapkan angka stunting dapat terus diturunkan di masa depan. (Adv)