Gaya Kepemimpinan Annas Maamun Otoriter

Gaya Kepemimpinan Annas Maamun Otoriter
Annas Maamun

HARIANRIAU.CO, PEKANBARU - Mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, Gumpita dihadirkan menjadi saksi kasus dugaan suap terkait pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (RAPBD-P) Riau 2014 dan RAPBD Riau 2015, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Rabu (7/12/2016).

Dalam persidangan dengan terdakwa Bupati Rokan Hulu nonaktif yang juga bekas anggota DPRD Riau, Suparman dan eks Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus, Gumpita menyampaikan alasan mengapa ada permintaan mencabut baterai saat rapat Banggar di Ruang Komisi B DPRD Riau, kala itu.

"Itu hanya rapat internal Golkar saja, tidak ada yang rahasia. Pak Annas (eks Gubernur Riau Annas Maamun) kan Golkar tetapi tipikalnya berbeda," ujar Gumpita di hadapan majelis hakim.

Gumpita menyebutkan, sebagai anggota Golkar tidak akan bisa bicara sembarangan. Kalau hal itu disampaikan orang lain kepada Annas yang saat itu juga sebagai Ketua Golkar Riau, bisa jadi penafsirannya akan berbeda.

"Akan menjadi persoalan jika gubernur menerima informasi yang tidak utuh mengenai sikap legislator DPRD Riau dari Fraksi Golkar. Gaya kepemimpinan Annas kala itu terkesan otoriter," ungkap Gumpita yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tri Mulyono dan kawan-kawan.

Menurut Gumpita, rekannya di DPRD yang bukan dari Fraksi Golkar bisa saja bicara blak-blakan. "Seperti Zukri (Misran) karena dari PDIP bisa bebas ngomong, tapi kalau kita di Golkar berbeda, nanti dibilang kita bertanya (sampai ke gubernur) penafsirannya berbeda," katanya.

Gaya kepempimpinan Annas yang otoriter itu dikhawatirkan kader Golkar di DPRD Riau. Pasalnya, Annas bisa memberi sanksi kepada kader yang dianggap tak sepikiran dengannya.

Gumpita mencontohkan apa yang dilakukan Annas di Pemerintah Provinsi Riau. Ia sanggup memeriksa satu persatu proposal bantuan hibah rumah ibadah, yang sebenarnya merupakan domain Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra).

"Program keseluruhan dicek satu persatu, kalau belum ada acc (persetujuan) beliau (Annas) ya tidak jalan itu. Misalnya bantuan masjid itu seharusnya di Kesra, tapi beliau harus cek satu-satu," terang Gumpita.

Selain Gumpita, JPU juga menghadirkan mantan anggota DPRD Riau periode 2009-2014 lainnya seperti Zukri Misran, Hazmi Setiadi dan Noviwaldi Jusman. Mereka juga menjelaskan terkait proses pembahasan APBD.

Dalam beberapa kali pertemuan, dijelaskan pembahasan mengenai rendahnya realisasi serapan anggaran APBD Riau 2014. Saat itu, ada usulan yang bahkan menolak pembahasan APBD-P 2014, dan fokus pada penuntasan program APBD murni 2014.

Zukri ketika ditanya hakim Rinaldi Triandiko terkait keseriusan Pemprov Riau dalam pembahasan, menjelaskan, semua tercermin pada naskah Kebijakan Umum Anggaran Plafon Penggunaan Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Buku itu berulang kali dikirim eksekutif ke dewan.

Awalnya, kata Zukri, Pemprov menyampaikan KUA-PPAS ke dewan tetapi beberapa hari kemudian berubah lagi. "Kami sendiri bingung mana yang mau dibahas. Yang dikirim resmi dengan yang kita bahas terjadi berulang kali," katanya.

Ia juga mengungkapkan kebiasaan Annas Maamun yang mengotak-atik mata anggaran sesukanya. Hasil revisi Annas tersebut juga tak jarang yang kembali direvisi ulang. "Gubernur suka mengotak-atik, mengubah-ubah," katanya.

Meski begitu, Annas menyetujui keinginan anggota DPRD terkait perpanjangan pinjam pakai mobil dinas. "Hal itu memang diinginkan sebagian besar anggota dewan," katanya.

Terkait adanya uang sagu hati dari Annas untuk pembahasan APBD, Zukri mengaku tidak tahu. "Saya tidak tahu ada itu (uang sagu hati)," tegasnya.

Zukri juga mengungkapkan pernah mendengar selentingan kata 50 dan 60 hektar yang akan diupayakan untuk anggota dewan. Namun, ia tidak tahu pasti maksud istilah "hektar" itu. 

"Intinya itu akan diupayakan untuk kawan-kawan, itu yang saya pahami," ucap Zukri yang merupakan anggota tim komunikasi antara dewan dengan Annas Maamun. 

Dijelaskannya, tim tidak pernah bekerja sama sekali, tidak pernah menggelar rapat, dan tidak pernah menghadap Annas. "Masuk tim komunikasi, tidak jalan, tidak pernah rapat.  Tidak pernah menghadap Annas. Bubar begitu saja, artinya tim ada tapi yang dilakukan tidak ada," paparnya.

Hal senada disampaikan Hasmi Setiadi yang jadi Ketua Tim Komunikasi. Menurutnya, tim itu langsung ditunjuk Johar Firdaus.

Sedangkan Noviwaldy Jusman mengungkapkan adanya persoalan saat pengesahaan APBD 2015. Saat itu ia mengaku sedang berada di luar negeri dan sebagai pimpinan seharusnya ikut membahas tetapi tidak dilakukannya.

"Ketika itu beredar kabar ribut-ribut karena saya tidak hadir, bahkan ketua fraksi melaporkan saya ke Badan Kehormatan. Saya putuskan pulang. Saya langsung ke kantor mendengar sudah akan ditandatangani KUA-PPAS, langsung saya tanda tangan, pada naskah saja," tutur Noviwaldy yang kembali terpilih sebagai anggota DPRD Riau periode 2014-2019.

Noviwaldi menjelaskan, pada 2 September 2014, dirinya selaku Wakil Ketua DPRD Riau diminta menandatangani KUA-PPAS. Namun permintaan itu ditolaknya karena belum dibahas dan menjadi APBD.

"Malam harinya setelah KUA-PPAS dicetak baru saya tanda tangan. Penandatangan dilakukan Pak Ketua (Johar) dan saya," katanya.

Ia juga menerangkan kalau Johar sempat marah ketika dirinya enggan menandatangani KUA-PPAS. Namun keterangan itu dibantah Johar. "Saya keberatan kalau dibilang marah," katanya. 

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah bekas Gubri periode 2014-2019 Annas Maamun, anggota DPRD Riau periode 2009-2014 Ahmad Kirjauhari, Suparman dan Johar Firdaus.

Annas Maamun yang dalam kasus ini sebagai tersangka pemberi suap masih menjalani proses penyidikan di KPK. Sementara Kirjauhari telah divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti menerima suap. (Halloriau)

Halaman :

Berita Lainnya

Index