Kisah Kapten Nolly Sang Gubernur DKI

Kisah Kapten Nolly Sang Gubernur DKI
Tjokropranolo dan Istri. FOTO/Istimewa

Kapten Nolly, begitu orang memanggil Tjokropranolo semasa era perang dulu. Namun, setelah pensiun dari militer dan terjun ke ranah birokrasi kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1977, tak ada embel-embel kapten lagi, berganti sapaan akrab khas Betawi, Bang Nolly, meskipun ia orang Jawa tulen.

Kehidupan di lingkungan pejabat bukan hal yang baru baginya. Tjokropranolo terlahir sebagai putra Bupati Temanggung. Dari latar belakang terpandang itulah Nolly bisa mengenyam pendidikan dasar yang setara dengan anak-anak Belanda kendati ia asli pribumi.

Anak Bupati Memilih Mandiri

Tjokropranolo bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar milik pemerintah kolonial yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak berdarah Eropa di Hindia (Indonesia), terutama Belanda, dan peranakan Tionghoa, juga segelintir bocah bumiputera yang berasal dari kalangan terkemuka.

Punya asupan darah biru dengan beraneka macam hak istimewa tak lantas membuat Tjokropranolo lupa daratan. Buktinya, ia justru memilih menjadi tentara, tidak seperti anak-anak ningrat lainnya yang lebih suka bekerja di pemerintahan kolonial.

Ketika Belanda terusir dari Indonesia dan digantikan oleh Jepang sejak 1942, Tjokropranolo bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Ini memang kesatuan militer bentukan Jepang. Tapi tidak ada pilihan lain yang lebih mudah bagi seorang pribumi seperti dirinya untuk memulai karier militer selain ikut PETA.

Nolly membuktikan bahwa pilihannya itu tidak salah. Ia turut menjadi tulang punggung perang gerilya yang dipimpin Jenderal Soedirman untuk mempertahankan kemerdekaan RI (Tjokropranolo & ‎Marzuki Arifin, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal, 1992).

Tjokropranolo bahkan merupakan salah satu dari sedikit orang yang paling dipercaya dan amat disayang oleh sang jenderal besar yang juga alumni PETA itu. Dan nantinya, Bang Nolly melanjutkan pengabdian untuk negara dengan memimpin ibukota.

Pasang Badan Demi Pak Dirman

Perang gerilya menjadi pilihan Jenderal Soedirman untuk melawan Belanda yang ingin berkuasa lagi setelah Indonesia merdeka. Ini bukan hal yang mudah. Pak Dirman saat itu sedang sakit, cukup parah, harus ditandu keluar-masuk hutan belantara, naik-turun gunung, serta tidak jarang harus menyelamatkan nyawa dari terjangan peluru Belanda.

Di masa-masa sulit inilah peran Tjokropranolo sangat terasa. Ia selalu siap pasang badan untuk jenderal besar yang tetap berjuang di masa sakitnya itu. Kapten Nolly adalah salah satu orang pertama yang selalu pasang badan untuk memikul tandu Pak Dirman. Ia juga pernah berperan sebagai “kuda” manakala pasukan gerilya beruntung memperoleh kereta untuk membawa Pak Dirman.

Jenderal Soedirman pun sangat menyayangi Tjokropranolo sehingga kerap dipercaya untuk menjalankan misi penting. Ia sering menyusup ke Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota RI untuk menyampaikan pesan dari Pak Dirman kepada tokoh-tokoh republik. 

Risikonya sangat tinggi. Kalau sampai ketahuan, bukan tidak mungkin ia di-dor di tempat. Selain itu, Tjokropranolo juga harus bergerak sangat hati-hati, harus tetap terjaga kerahasiaan dari pandangan musuh sehingga tentara Belanda tidak mengetahui letak markas gerilya (Sulistyo Atmojo, Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1985:111).

Tjokropranolo pernah pula dipercaya Jenderal Soedirman untuk membujuk tokoh-tokoh militer yang mulai terpengaruh gerakan pemberontakan agar tetap setia kepada pemerintah RI (Harry A. Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak, 2011:135). Misi ini tidak gampang karena sangat sensitif. Salah langkah, nyawa taruhannya.

Susahnya Jadi Gubernur

Tjokropranolo terlibat langsung dalam hampir setiap peristiwa penting ketika situasi keamanan NKRI belum stabil setelah penyerahan kedaulatan sejak akhir 1949. Tercatat, ia turut ambil bagian dalam menghadapi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), konfrontasi Indonesia-Malaysia, hingga insiden berdarah Gerakan 30 September 1965.

Ketika akhirnya Tjokropranolo pensiun dari militer, ia mulai tertarik beralih bidang ke sektor birokrasi. Ia sempat menjadi asisten Ali Sadikin yang menjabat sebagai Gubernur Jakarta sejak 28 April 1966. Setelah masa bakti Ali Sadikin berakhir pada Juli 1977, nama Tjokropranolo muncul sebagai kandidat terkuat sebagai gubernur ibukota yang baru.

Susahnya Jadi Gubernur

Tjokropranolo terlibat langsung dalam hampir setiap peristiwa penting ketika situasi keamanan NKRI belum stabil setelah penyerahan kedaulatan sejak akhir 1949. Tercatat, ia turut ambil bagian dalam menghadapi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), konfrontasi Indonesia-Malaysia, hingga insiden berdarah Gerakan 30 September 1965.

Ketika akhirnya Tjokropranolo pensiun dari militer, ia mulai tertarik beralih bidang ke sektor birokrasi. Ia sempat menjadi asisten Ali Sadikin yang menjabat sebagai Gubernur Jakarta sejak 28 April 1966. Setelah masa bakti Ali Sadikin berakhir pada Juli 1977, nama Tjokropranolo muncul sebagai kandidat terkuat sebagai gubernur ibukota yang baru.

Tahun 1982, Tjokropranolo menuntaskan masa pengabdiannya sebagai Gubernur Jakarta. Selanjutnya, Bang Nolly menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan lain, termasuk menulis buku biografi berdasarkan pengalaman pribadi tentang tokoh yang paling dihormatinya, Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Tjokropranolo meninggal dunia tak lama setelah tamatnya rezim Orde Baru, tanggal 22 Juli 1998. Bang Nolly, mantan pemimpin ibukota yang juga pengawal paling setia Jenderal Soedirman itu, wafat di Jakarta dalam usia 74 tahun.


Sumber: tirto.id

Halaman :

Berita Lainnya

Index