Leendert Miero Si Juragan Yahudi di Betawi

Leendert Miero Si Juragan Yahudi di Betawi
Kuburan Yahudi di kembang Kuning, Surabaya, Jawa Timur

Setelah berkarir lama di kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mulai dari perwira Angkatan Laut hingga Residen Lampung, Reiner de Klerk pun jadi orang kaya raya di Hindia Belanda. Dia punya tanah di daerah yang kini dikenal sebagai kawasan Gajah Mada. Pada 1700an, kawasan yang kini ramai perniagaannya itu terhitung luar kota Betawi (sebutan kota Batavia oleh pribumi). 

“Dua ratus lima puluh tahun lalu kawasan ini banyaklah rumah peristirahatan tenang bagi golongan elite yang kaya dan selalu sibuk,” tulis Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016). 

Ciri laki-laki sukses di zamannya adalah punya istri orang Belanda. Sebelum kawin dengan Sophia Westplam yang dari keluarga berada, de Klerk biasa menuntaskan birahinya dengan budak perempuan sampai mempunyai anak. Kaya raya di zaman itu juga harus disimbolkan dengan kepemilikan rumah gedong. 

Di bilangan kawasan yang kini dikenal sebagai Gajah Mada itu, pada 1760 mulai dibangunlah sebuah rumah besar dengan gaya tertutup (Closed Dutch Styl). Langit-langitnya tinggi, jendelanya banyak, lantainya marmer dan ubin, tidak banyak hiasan juga tak punya beranda. Statusnya boleh saja sebagai rumah peristirahatan, “namun [rumah] bertingkat dua ini tampak sebagai rumah orang kaya.” 

Sebagai rumah Gubernur Jenderal, rumah ini pasti dijaga serdadu-serdadu VOC rendahan. Satu dari serdadu rendahan yang menjaga di rumah itu adalah seorang Yahudi bernama Jehoede Leip Jegiel Igel. Dia belum lama datang di Betawi. Menurut Victor Ido van de Wall dalam Oude Hollandsche Buitenplaatsen van Batavia (1944), dia tiba dengan “kapal Huys Kruyswijk (yang berlayar) dari Rotterdam pada 1775, terdaftar sebagai serdadu” untuk dinas militer VOC. 

Catatan lain tentangnya ada pada Tropisch Nederland Volume 5 (1932): dia lahir pada 22 April 1755 dan menjadi serdadu sejak bulan April 1775 saat usianya 20. Dia adalah Yahudi Polandia asal Lamberg. 

Suatu hari, serdadu Yahudi ini bikin masalah yang membikin kesal pejabat tinggi VOC. Dia ketahuan tertidur ketika sedang piket menjaga pintu gerbang di pekarangan rumah yang dibangun Reiner de Klerk ini. Hukuman pukulan rotan 50 kali pun dijatuhkan padanya. Serdadu pantang tidur ketika berjaga. Posisi serdadu bawahan harus dijalani pemuda Yahudi ini, karena dia juga seorang buta-huruf. Menurut Adolf Heuken, SJ, peristiwa itu terjadi sekitar 1788. 

“Pada hari naas itu korban hukuman kejam itu bersumpah pada nenek moyangnya Abraham, Ishak dan Yakub, bahwa pada suatu hari ia akan membeli seluruh pekarangan ini,” catat Adolf Heuken. Melihat ia buta huruf, tentu saja omongan itu hampir mustahil di mata teman-temannya. “Tentu saja ia ditertawakan oleh rekan-rekannya.” 

Sebagai seorang buta-huruf karirnya di VOC hanya mandeg sebagai serdadu. Jika jadi perwira pun tak akan tinggi pangkatnya. Menjadi perwira rendahan dengan pangkat letnan di VOC belum tentu bisa membuatnya bisa membeli rumah de Klerk tempat dia dihukum. Akhirnya, dia pun keluar dari dinas militer VOC. 

Dia lalu memulai hidup barunya sebagai seorang pandai emas, juga dengan nama baru: Leendert Miero. Seperti banyak orang Yahudi sohor lain di dunia, Miero nampaknya punya jiwa dagang yang kuat. Ia juga menjadi lintah darat. Buta-huruf tak menghalanginya untuk jadi kaya-raya. Hasil kerjanya tak sia-sia. Akhirnya dia punya toko di Betawi. 

Setidaknya, sekitar tahun 1800, dia bisa membeli sebuah rumah besar alias gedong yang dibangun oleh Pendeta Johannes Hooyman (1775). Tak hanya rumahnya, tapi juga plus tanah di sekelilingnya. 

Ketika dibangun oleh sang pendeta, Miero baru saja tiba di Hindia Belanda. Gedong ini dulunya disebut sebagai Pondok Gede, dan menjadi muasal nama daerah bernama Pondok Gede di sekitar perbatasan Jakarta Timur dengan Bekasi. Jadi, Miero bukan sembarang juragan emas. Dalam waktu belasan tahun saja dia sudah kaya. Belasan tahun setelah Pondok Gede dia beli, rumah bekas Gubernur Jenderal pun jadi miliknya juga. Rumah itu, pada 1818, dibelinya dari janda dari pejabat Gubernur Jenderal Johannes Siberg.

Sumpah yang diucapkannya dengan nama Abraham, Ishak, dan Jakub pun terlaksana. Sekitar lima belas tahun setelah dibeli, dia mengundang banyak orang ke rumahnya. Dia kerap bercerita soal peristiwa naas yang dulu menimpanya. 

Dia seolah membacakan kembali sajak G.H. Nagel berjudul "De Oudgast." Inilah yang dikutip Heuken: “....di muka rumah ini, yang sudah lama saya miliki, saya pernah menjaga kediaman Gubernur Jenderal. Bayangkan kawan-kawanku yang baik dan seiman, di tempat ini—dan saya masih merasakannya, saya mendapatkan lima puluh pukulan di punggungku, karena ketiduran waktu dinas.” 

Semasa hidupnya, menurut Victor Ido de Wall, Leendert pernah dua kali menikah. Jika kita bicara pernikahan orang Eropa di masa itu, biasanya mengacu dengan perempuan Eropa (Belanda) lagi. Sebab perempuan pribumi biasanya tak dinikahi, mentok dijadikan nyai. Namun, dari dua perempuan Belanda itu, Miero tak beroleh anak. Dia hanya punya empat anak dari empat budaknya—yang akhirnya diakui secara hukum sebagai anaknya. 

Setelah dia meninggal pada 10 Mei 1834, harta-hartanya pun jatuh ke tangan anak-anaknya. Meski tak sekaya sang ayah, mereka hidup berkecukupan. Namun, tanah dan rumah—termasuk yang kini Gedung Arsip dan Pondok Gede—tak lagi jadi milik mereka. Gedung Arsip hingga kini masih ada wujudnya, sedangkan rumah besar yang jadi muasal nama Pondok Gede, sudah tak ada bekasnya lagi. 


Sumber: tirto.id

Halaman :

Berita Lainnya

Index