Sejarah Indonesia

Kemal Idris, "Jenderal Sampah" Penentang Presiden

Kemal Idris,
Mayjen TNI Kemal Idris (kanan) dan Jenderal TNI Maraden Panggabean. FOTO/Istimewa

Rasa sakit hati Kemal Idris terhadap Presiden Sukarno berawal pada 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa menegangkan di Jakarta itu, ia diperintahkan oleh A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) untuk mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara. Sebagai anak buah, tentu saja Kemal Idris dilarang menolak.

Yang terjadi kemudian adalah Nasution justru mundur dan membiarkan Kemal Idris menanggung sendiri akibatnya. Dan benar. Dalam pertemuan resmi selanjutnya, ia sama sekali tidak disapa oleh Presiden Sukarno. Bahkan, Kemal Idris sempat terkucil dari kancah politik selama beberapa waktu (Henk Schulte Nordholt, eds., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008:148).

Panglima Pembenci Sukarno

“Sejak itu, saya berpandangan bahwa walaupun Sukarno mempunyai kharisma yang kuat, tapi ada kelemahan-kelemahannya. Pada peristiwa itu, beliau saya anggap bukan orang besar,” kenang Kemal Idris mengingat kejadian di depan Istana Negara yang berdampak pada hilangnya rasa hormat kepada Bung Karno itu.

“Kalau karena arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil!” imbuhnya (A. Kemal Idris & Rosihan Anwar, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, 1996:41).

Kejadian 17 Oktober 1952 yang memantik kebencian Kemal Idris terhadap Presiden Sukarno itu adalah peristiwa yang oleh Nasution disebut sebagai “percobaan setengah coup”, seperti yang diungkapkannya sendiri kepada presiden.

Nasution selaku KASAD bersama 7 panglima TNI, termasuk Kemal Idris, menuntut agar Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Sedangkan alasan moncong meriam dihadapkan ke arah Istana Negara adalah untuk melindungi Presiden Sukarno dari demonstrasi mahasiswa. Begitu dalih Nasution. Padahal, itu sebenarnya dilakukan untuk mendesak presiden agar segera membubarkan DPRS.

Meskipun Kemal Idris secara terang-terangan mengajukan protes kepada Nasution karena perintah tersebut, namun sejatinya ia memang tidak suka kepada Bung Karno. Itu terbukti dengan sikapnya mendukung demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran Orde Lama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Salim Said (2016) dalam bukuMenyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto menyebut bahwa Kemal Idris adalah sosok militer yang anti-Sukarno sekaligus anti-komunis (PKI). Maka dari itu, tidak salah jika Soeharto mengandalkannya dalam operasi pembasmian PKI sekaligus upaya untuk menyingkirkan Sukarno dari tampuk kekuasaan.

Atas sikap politiknya itu, Kemal Idris memperoleh “hadiah” dari Soeharto yang nantinya mengambil-alih kursi kepresidenan dari Sukarno, untuk mengemban jabatan istimewa sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) sejak 1967.

Berjasa Lalu Disingkirkan

Ketika Soeharto benar-benar sudah menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia sejak ditetapkan sebagai presiden pada 27 Maret 1968, ia mulai khawatir orang-orang yang telah membantunya memperoleh kekuasaan tertinggi nantinya justru berbalik melawan, termasuk Kemal Idris.

Soeharto paham betul siapa Kemal Idris, bagaimana riwayat hidup serta karakternya sebagai seorang pejuang berwatak pemberang, berpendirian tegas, dan tidak kenal kompromi. Keberadaan jenderal seperti Kemal Idris di Jakarta akan membahayakan kekuasaan Soeharto. Maka, dimulailah rangkaian tindakan untuk “membereskan” Kemal Idris.

Pertama-tama, Soeharto melepas jabatan Kemal Idris dari Pangkostrad untuk menjauhkannya dari ibukota. Kemal Idris dikirim ke Makassar untuk menduduki posisi sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), lembaga yang baru saja diciptakan tanpa wewenang yang jelas (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013).

Itu rupanya belum cukup. Beberapa tahun berselang, ia memanggil pulang Kemal Idris ke Jakarta untuk diberikan tugas baru. Kali ini lokasinya sangat jauh. Kemal Idris ditugaskan sebagai Duta Besar RI untuk Yugoslavia dan Yunani. Kemal Idris yang tidak pernah membayangkan situasinya akan terjadi seperti ini pun mengajukan protes langsung kepada Soeharto.

Mendengar keluhan Kemal Idris, Soeharto berkata, “Kamu masih militer nggak? Kalau kamu masih militer, ini perintah!” 

Kemal Idris tidak punya pilihan lain selain menerima perintah presiden. Di samping itu, ia juga dituding berencana menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan (Tjipta Lesmana, Soekarno sampai SBY, 2009:115). Mau tidak mau, Kemal Idris terpaksa melaksanakan tugas sebagai duta besar meskipun ia tidak menyukainya.

Akhir Kisah “Jenderal Sampah”

Sepulangnya ke tanah air usai menunaikan tugasnya di Eropa, Kemal Idris beraksi. Ia turut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980 bersama puluhan tokoh nasional lainnya, termasuk A.H. Nasution, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, Syafruddin Prawiranegara, Hoegeng Imam Santoso, Ali Sadikin, hingga A.M. Fatwa.

Soeharto dinilai telah menyalahgunakan Pancasila untuk kepentingan sendiri. Presiden menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, bahwa setiap kritik terhadapnya adalah kritik terhadap Pancasila (M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, 1991:306). Dengan kata lain, Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.” 

Bahkan, di depan anggota DPR/MPR, Kemal Idris dengan tegas menyatakan, “Atas nama purnawirawan ABRI dari Angkatan '45 kami minta kepada Presiden Soeharto untuk segera melaksanakan pernyataan beliau untuk mundur.” (Forum Komunikasi Anak Bangsa, Lahirnya Gerakan Reformasi di Indonesia, 1998:267).

Tentu saja seruan Kemal Idris itu tidak mempan karena parlemen pun sudah dikuasai pengaruh Soeharto. Dan, tentang orang-orang yang tergabung dalam kelompok Petisi 50, termasuk Kemal Idris, Soeharto berkata:

“Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot.” (Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi, 1991:298).

Gagal menghentikan langkah Soeharto, Kemal Idris memilih mundur teratur dan akhirnya benar-benar keluar dari kancah politik. Risikonya terlalu besar jika ia tetap melakukan penentangan terhadap presiden. Masih bisa bebas bernafas setelah Petisi 50 itu sudah merupakan keajaiban baginya.

Kemal Idris kemudian beralih profesi menjadi seorang pengusaha. Sempat mengurusi bisnis pariwisata, ia pada akhirnya justru dikenal dengan julukan “Jenderal Sampah” setelah mendirikan PT Sarana Organtama Resik (SOR) yang mengurusi persoalan sampah di DKI Jakarta.

Julukan tersebut ternyata tidak membuat Kemal Idris risih. Ia justru merasa bangga. “Orang sampai heran, kok ada jenderal mau mengurusi sampah. Sekarang saya membersihkan 7 kelurahan di Jakarta dengan 700 pegawai,” ucapnya (Eko Endarmoko, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, 1993: 28).

Tanggal 28 Juli 2010, atau 12 tahun setelah Soeharto akhirnya berhenti menjadi presiden, Kemal Idris wafat. Usia yang sudah semakin renta ditambah komplikasi penyakit dan infeksi paru-paru menuntaskan pengabdian sang jenderal sampah yang berani menentang penguasa ini. 

Halaman :

Berita Lainnya

Index