4 Dokter Indonesia Ini yang Rela Hidup Miskin Demi Menggratiskan Pasiennya

4 Dokter Indonesia Ini  yang Rela Hidup Miskin Demi Menggratiskan Pasiennya

Waktu kecil dulu kita selalu diiming-imingi impian untuk menjadi seorang dokter jika kelak dewasa. Dengan embel-embel cepat kayalah, jabatan tinggilah, membuat profesi itu jadi idaman para orang tua. Namun sayang banyak orang yang lupa kalau menjadi seorang dokter intinya adalah mengabdikan diri pada masyarakat.

Berapa dokter di Indonesia ternyata benar-benar menunjukan pengabdiannya. Sampai-sampai mereka rela untuk jadi miskin dan menyisihkan uangnya demi melihat kesembuhan pasiennya. Jadi siapa sajakah dokter berhati mulia itu? Simak ulasan berikut.

Dokter yang rela dibayar semampunya, meskipun hanya senyum

Satu hal yang dibanggakan menjadi seorang dokter adalah bagaimana mereka membantu orang lain. Tidak peduli kaya ataupun miskin, siapapun yang membutuhkan akan ditolong. Nampaknya hal itu sudah jarang lagi ditemui di negeri ini. Atas dalih semua butuh uang, banyak dokter ini yang bisa dibilang mata duitan. Mereka sudah mulai lupa akan sumpah profesi yang pernah terucap.

Namun Aznan Lelo masih mengingat dengan jelas sumpah profesinya. Alih-alih memasang tarif, pria paruh baya ini malah mengikhlaskan bayarannya pada pasiennya. Dengan berapapun uang yang dibawa oleh pasien, Aznan Leo selalu menyambutnya dengan gembira. Bahkan jikalau hanya senyuman yang dibawa, itupun tak mengapa. Dokter yang seperti ini hanya ada satu diantara puluhan bahkan ratusan dokter lainnya.

Dokter yang selalu rugi uang, namun untung kebaikan

Dokter Lo Siaw Ging adalah keturunan Tionghoa yang lebih memilih menjadi dokter ketimbang pedagang. Padahal jika ditengok masa lalunya, dr Lo dilahirkan di keluarga yang mayoritas pedagang. Lo muda lebih memilih menempuh pendidikan dokter ketimbang harus berpikir masalah untung dan rugi. Dan sepertinya dr Lo dewasa telah benar-benar membuktikan kalau dirinya adalah seorang dokter sejati.

Di kala orang lain yang menggeluti profesi yang sama dengannya saling berebut untuk mendapatkan uang dari pasiennya, Lo malah rela menanggung banyak hutang. Tidak satupun dari pasien miskin yang datang padanya akan ditarik biaya, bahkan tagihan obatpun akan dia bayar. Akhirnya setiap bulan dr Lo harus menerima tagihan hutang sebanyak 10 juta. Bagi dr Lo menjadi dokter bukan hanya untuk mencari kaya, kalau mau banyak harta pergi saja berdagang, seperti itu yang ayahnya ajarkan.

Rela jika hanya sayuran sebagai upahnya

Serupa dengan kisah yang lain, dokter di daerah kabupaten Malang ini juga tak kalah menyentuh hati. Menjadi seorang dokter tak berarti hanya melulu memikirkan masalah bayaran, justru malah membuat dokter Dian ini jadi makin peduli dengan sesama. Baginya pengabdian tanpa batas adalah bayaran tertinggi yang dia inginkan. Ya, dokter perempuan yang satu ini tidak peduli dengan bayaran apa pasien yang akan pasien berikan.

Bahkan meski mereka hanya membawa sayur dan tempe pun, dokter Dian akan menerimanya. Jelas, dia bisa saja menjadi kaya kalau mau, namun semua tidak ia lakukan. Melihat wajah para pasien yang tidak mampu, itu sudah menjadi sebuah siksaan baginya. Perempuan ini tidak lupa dengan sumpahnya untuk mendahulukan pertolongan dari pada bayaran.

Dibayar sampah pun tak lagi jadi masalah

Sama dengan cerita yang lain, dokter yang satu ini pun lebih menomorsatukan jiwa sosialnya ketimbang yang lainnya. Lantaran sebuah kisah pilu seorang pemulung yang meregang nyawa lantaran ketidakmampuan biaya, mengetuk pintu hati dokter Gamal. Hal itu seolah menjadi sebuah tamparan keras pada dirinya yang berprofesi sebagai seorang dokter.

Mulai saat itu dia berubah, bukan lagi hanya sekedar uang yang dicari namun kepuasan diri dalam menjadi dokter sejati. Seorang yang juga berprofesi sebagai dosen ini akhirnya mencarikan jalan keluar bagi mereka yang kurang mampu. Akhirnya dia membuat sebuah asuransi sampah bagi mereka yang ingin berobat. Tinggal kumpulkan sampah, mereka sudah bisa menerima jasa pengobatan tanpa biaya.

Empat sosok di atas telah menunjukkan bagaimana “sejatinya” seorang dokter. Kini banyak orang yang menekuni profesi tersebut lupa akan janji profesinya. Seolah uang adalah segalanya, dan kesehatan pasien adalah yang nomor dua. Kita bangga, mereka ada di Indonesia, dan semoga kelak akan ada penerusnya.

Halaman :

Berita Lainnya

Index