John Lie, Pahlawan Nasional Penyelundup Senjata Yang Menjadi Hantu Selat Malaka

John Lie, Pahlawan Nasional Penyelundup Senjata Yang Menjadi Hantu Selat Malaka

Nama Jahja Daniel Dharma lebih dikenal sebagai John Lie (1911-1988) adalah sosok Pahlawan Nasional yang berperan penting dalam suplai senjata selama revolusi kemerdekaan.

John Lie sangat lihai dalam menerobos blokade Belanda agar untuk menyelundupkan senjata melalui laut, karenanya dia mendapat julukan “Hantu Selat Malaka”.

Ia satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.

Februari 1946, John Lie dan teman-teman pelaut asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.

Saat singgah di Singapura selama 10 hari, dia memanfaatkan waktu mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Ia juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik.

John Lie tidak sabar ingin bergabung bersama laskar perjuangan mengusir penjajah.

Dikutip dari militermeter 22 Februari 2017, John Lie tidak segera bergabung bersama laskar pejuang sesampainya di Jakarta. Sebulan ia habiskan mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta.

Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis.

Dari Maramis itulah John Lie diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.

Setibanya di hadapan M Pardi di Yogyakarta, John Lie dengan lancar menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bergabung bersama perjuangan Indonesia di bidang maritim.

Pardi tertarik dengan pengalaman dan kemampuan John Lie. Mereka membahas pengalaman dan kemampuan John Lie dengan menggunakan bahasa Belanda.

“John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,” ujar Pardi kala itu.

John Lie dengan tegas menjawab, “Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya.”
Pardi menandatangani izin bergabungnya John Lie di ALRI. John Lie diangkat sebagai Kelasi III. Meski berpangkat rendah, banyak perwira ALRI yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.

Pada 29 Agustus 1946, M Pardi menugaskan John Lie pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana. John Lie berangkat ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.

Menjadi penyelundup

September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.

John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama “The Outlaw”.

Tidak disadari, perannya sebagai penyelundup dimulai seketika. Operasi perdana, “The Outlaw” melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.

Pada Oktober 1947, John Lie mencatat “The Outlaw” memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.

Sesampainya di Labuan Bilik, pesawat Belanda tampak terbang rendah mengitari pelabuhan. Pesawat meminta “The Outlaw” meninggalkan pelabuhan.

Namun, John Lie nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.

John Lie bisa melihat jelas dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah “The Outlaw”, siap menarik pelatuknya.

Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan “The Outlaw”. Seketika John Lie masuk ke kabin kemudian berlutut.

John Lie berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, “The Outlaw” menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.

Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.

Keberhasilan “The Outlaw” menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.

Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama “The Black Speedboat”.

Kepala Subdinas Sejarah Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Kolonel Syarif Thoyib mengatakan, John Lie memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang di pelabuhan Singapura, Thailand, bahkan hingga Afrika.

Maka tidak heran operasi-operasinya berjalan sukses atas bantuan mereka.

“Apalagi di Singapura, beliau begitu dikenal di sana. Wajahnya yang khas keturunan Tionghoa juga yang mungkin membuat dia dibantu sana-sini. Padahal apa yang John Lie lakukan adalah membantu Indonesia merdeka,” ujar Syarif saat berbincang dengan Kompas.com, pertengahan Januari 2017.

Dibantu “keajaiban

Suatu ketika di awal Agustus 1949, “The Outlaw” harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang.

Selesai perbaikan, “The Outlaw” kembali ke Phuket menjemput awak kapal. Mereka berlayar kembali ke Aceh.

Pagi-pagi buta, saat kapal memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang. Dengan membabibuta, kapal penjajah menembakkan meriam ke badan “The Outlaw”.

Suasana sangat mencekam. Peluru mendesing-desing. Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung.
Dalam kondisi kritis, “The Outlaw” sama sekali tidak berdaya. Namun ajaib, kapal Belanda mengalami kandas di karang sehingga tidak bisa bergerak lagi. “The Outlaw” melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.

Lolos dari armada laut Belanda, kini armada udara yang menyergap. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi. Pesawat dengan juru tembaknya hanya berputar-putar di atas delta. Mereka seakan-akan tidak melihat “The Outlaw” yang porak poranda di bawahnya.

“Roh Kudus membungkus kami,” ujar John Lie dalam sebuah memoarnya.

Tidak berhenti sampai di situ. John Lie kemudian memutuskan kembali ke Penang. Apalagi, satu baling-baling mesinnya copot. Sulit pasti melarikan diri jika dikejar Belanda.

Pagi-pagi buta keesokan harinya, “The Outlaw” sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan malam, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas.

Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang “The Outlaw”.

Tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter memecah kesunyian laut. Sadar jarak ke Penang masih jauh, John Lie dan awak pasrah.

Seisi kapal berserah pada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar “The Outlaw” menyerah.

Namun, ajaib. Tiba-tiba cuaca buruk melanda perairan. Kabut menyelimuti permukaan laut. Hujan turun dengan sangat deras.

Gelombang laut tiba-tiba berkecamuk. Kapal Belanda tidak sanggup mengejar “The Outlaw” dengan cuaca yang demikian.

Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London. Penyiar menyebut, “The Outlaw” dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar.

Bahkan, saat John Lie untuk kesekian kalinya bertandang ke Phuket, wartawan Roy Rowan dari majalah Life mengulas secara khusus operasi-operasi “The Outlaw” dari halaman 49 sampai 52

Pada 30 September 1949, John Lie dipindahkan ke Bangkok. Di sana, ia bertugas di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya di darat sama saja, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di tanah air.

“The Outlaw” kemudian dipimpin Kapten Laut Kusno. Namun dalam pelayaran pertama, seisi kapal tertangkap oleh Belanda.

John Lie sendiri melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.

Pangkat tertinggi John Lie adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Saat wafat 27 Agustus 1988, anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.

Namun, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009 menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.

Nama John Lie, pada awal Januari 2017, diabadikan sebagai nama Kapal Perang Indonesia, KRI John Lie.
Dalam salah satu wawancara sebelum meninggal, John Lie sempat menggambarkan situasi pada saat itu di mana setiap pejuang harus memiliki inisiatif melakukan apa saja demi menguntungkan negara.

“Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa,” tutur John Lie.

“Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya.

Halaman :

Berita Lainnya

Index