Foto dan Video Hoax Korban Rohingya Beredar di Medsos

Foto dan Video Hoax Korban Rohingya Beredar di Medsos
Foto: Kumpuran

Rohingya tidak henti-hentinya hidup dalam pusaran konflik kekerasan. Penyerangan 30 pos polisi dan militer oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), justru merembet memberi dampak terhadap etnis Rohingya yang tak berdosa.

Laporan Reuters terakhir menyebutkan, konflik kali ini telah menewaskan 400 orang yang di dalamnya termasuk warga sipil dan anak-anak.

Informasi langsung menyesaki linimasa. Foto, video, beserta kisah-kisah menjadi bahan pembicaraan di dunia maya. Pertempuran juga terjadi di media sosial.

Sebagai konflik komunal yang begitu tragis sekaligus dramatis, setiap orang berlomba-lomba untuk mengambil posisi keberpihakan.

Dengan kondisi Myanmar yang begitu tertutup terhadap kunjungan jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat, proses konfirmasi informasi terus dilakukan.

Beberapa data dan fakta seperti arus pengungsi, video kuburan masal, dan pemusnahan permukiman berusaha dikonfirmasi seakurat mungkin. Semuanya dilakukan dengan disiplin tinggi, agar informasi yang beredar ikut membangun keterbukaan publik agar bisa ikut memperbaiki keadaan. 

Kuburan massal Rohingya. (Foto:Dok. Burma Human Rights Network)

Namun sayang, usaha mengakurasi data ini tercoreng oleh banyaknya informasi pelintiran. Saat ini di media sosial, banyak orang menunjukkan sikapnya terhadap isu Rohingya dengan menyertakan foto dan video, namun infonya belum tentu benar.

Pemerintah Myanmar terus melayangkan narasi terhadap orang-orang Rohingya. Setelah berkukuh tidak mengakui mereka sebagai warga negara dengan menyematkan label orang Rohingya sebagai orang dari Bengal, mereka saat ini sedang membangun narasi orang Rohingya sebagai perusuh.

Dilansir Reuters, pemerintah Myanmar mengonfirmasi bahwa terdapat 2600 rumah yang dibakar. Pembakaran tidak dilakukan oleh aparat pemerintah, melainkan para militan ARSA. Aksi konvoi militer yang berlangsung akhir-akhir ini juga memiliki dalih untuk memberantas para militan.

Narasi serupa tak hanya dibangun pemerintah, tapi juga para pendukungnya di dunia maya. Sebuah foto dan cuitan milik seorang pemuda Myanmar menyebutkan bahwa yang ada di Arakan adalah gerombolan perusuh, bukan orang-orang tertindas seperti diketahui orang selama ini.

Apa yang dilakukan oleh pemuda tersebut salah besar. Kesalahan pertama, asal-usul foto tersebut keliru. Foto tersebut bukanlah orang-orang Rohingya, melainkan relawan pejuang kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971. Kesalahan kedua, ia memperkeruh keadaan dengan menjadi provokator.

Penggunaan informasi hoax juga terjadi di sisi seberang. Banyak orang berusaha berhati mulia mengambil sisi kemanusiaan untuk memperjuangkan hak asasi Rohingya tapi justru melakukan kesalahan karena memberikan data yang kurang akurat.

Pada 29 Agustus 2017, Deputi Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek mengunggah tweet dengan nada marah. “There is a massacre against Rohingya. Stop turning a blind eye to ethnic cleansing in Arakan Myanmar. International Community Must Act Now,” kata Simsek yang ingin menunjukkan kepada followers-nya bahwa saat ini tengah berlangsung pembantaian terhadap orang-orang Rohingya.

Cuitan Mehmet Simsek tentang Rohingya (Foto:Dok. Istimewa)

Untuk meyakinkan pesannya, Simsek melampirkan empat foto yang mencitrakan tragedi. Foto seorang pria terikat di pohon, kumpulan manusia yang terkatung-katung di atas air, anak yang menangis, dan foto utamanya adalah mayat-mayat yang terapung di air.

Dari penelusuran BBC, keempat foto tersebut nyatanya terjadi dalam empat peristiwa di lokasi yang berbeda-beda. Foto mayat mengapung di atas air adalah foto Badai Nargis di Nigeria pada Mei 2008. Foto lainnya adalah perempuan Aceh yang menangisi kondisi suaminya yang ditemukan tewas di pohon pada tahun 2003.

Penolakan bantuan terhadap Rohingya di Myanmar (Foto:Soe Zeya Tun/REUTERS)

Kedua belah pihak berusaha membentuk narasi untuk mendukung argumennya. Informasi hoax yang beredar menjadi bumbu-bumbu pelengkap yang membuat konflik komunal ini semakin keruh.

Mencari informasi terkait konflik yang begitu sensitif memang butuh dedikasi yang besar. Informasi yang salah akan membutakan, dan memperburuk kondisi di tempat yang tengah berkobar.

Halaman :

Berita Lainnya

Index