Mengintip Prostitusi Siswi SMA di Jepang

Mengintip Prostitusi Siswi SMA di Jepang

HARIANRIAU.CO - Sosok gadis muda itu menarik dengan seragam sekolah khas Jepang. Rok pendek dan kaos kaki putih selutut. Sepintas tak ada beda dengan anak sekolah lainnya. Tapi beberapa di antaranya tampak digandeng om-om berusia 40-50 tahun. Inilah potret prostitusi Joshi Kousei, yang berarti siswi SMA.

Membayangkan siswi berseragam sekolah menjadi fantasi liar pria-pria Jepang. Para pengusaha mencium peluang ini. Di beberapa kafe dan bar mereka menyediakan pelayan wanita belia berseragam sekolah. Sebagian benar-benar anak sekolah, tapi ada juga anak sekolah KW, wanita yang hanya mengenakan seragam. Tapi yang jelas kafe dan bar Joshi Kousei atau JK ini laris manis.

Tarif untuk kencan dengan anak-anak SMA di kafe-kafe JK Tokyo rata-rata 3.000 Yen untuk 30 menit dan 5.000 Yen untuk 60 menit. Atau sekitar Rp 400.000 hingga Rp 600.000 untuk 60 menit. Mereka akan menemani tamu minum, mengobrol, dan juga meramal lewat horoskop atau kartu tarot. Kadang para wanita ini mau diajak jalan-jalan beberapa blok.

"Saya bosan pergi ke bar yang itu-itu lagi. Melihat pelayannya seorang wanita tua," kata seorang pelanggan berusia 40 tahun.

Rekannya menambahkan. "Para wanita ini makin kelihatan imut dan menarik jika mereka mengenakan seragam sekolah," katanya seperti ditulis National Post.

Namun para siswi ini tak sepolos kelihatannya. Seringkali kencan mereka berujung pada hubungan intim. Mereka mendapat uang dari layanan mereka.

Channels News Asia yang mengadakan investigasi soal ini mendapati ada gadis-gadis usia sekolah yang menawarkan jasa lebih di bilik-bilik pijat refleksiologi.

Ada juga tempat yang melarang untuk berkencan, tapi bisa mengirim wanita ke tempat yang diminta pelanggan.

Tahun 2015 lalu, setelah Lembaga PBB menginvestigasi penjualan anak-anak di bawah umur dalam bisnis ini, Jepang mulai mengeluarkan beberapa aturan. Aichi adalah prefektur yang pertama kali melarang bisnis JK. Mereka juga melarang anak sekolah bekerja part time di lokasi pijat, pelayan berbusana seronok dan berkencan dengan pria. Tahun 2017 lalu, Polisi Jepang juga mulai memeriksa para pelaku usaha JK di Tokyo.

Pakar Sosiologi dan Studi Gender dari Universitas Osaka Kazue Muta menyoroti fenomena ini. Mengapa gadis berseragam menjadi fenomena dan fantasi pria?

"Masyarakat Jepang hidup dalam budaya patriaki yang tinggi. Mereka menilai gadis muda yang terlihat polos itu menarik dan lebih memikat," kata Profesor Muta.

Namun selama permintaan dari konsumen masih tinggi, bisnis ini akan terus berlanjut. Seorang pengusaha JK berkata, "Jika ada dua gadis muda yang satu berseragam, yang satu berpakaian lain, maka yang dipilih pasti yang mengenakan seragam sekolah."

Pengusaha itu mengelak jika dia dituduh melakukan eksploitasi. Menurutnya para gadis datang dan bekerja atas keinginan mereka sendiri. Saat dia membuka lowongan untuk pekerjaan di bawah 18 tahun, pelamarnya membludak.

"Para gadis itu sendiri yang memilih berada di bisnis ini," katanya.

Mio (17) adalah salah satu contoh pelaku Joshi Kousei. Dia kini duduk di kelas dua SMA. Sudah setahun dia terjun ke bisnis ini. Pertama kali dia berhubungan intim di ruang karaoke dengan seorang pria dewasa dan dibayar sekitar 3.000 Yen.

Sejak itu Mio, menebar layanan kencan lewat pesan di jejaring sosial jika tak main band di akhir pekan. Pelanggannya mulai dari anak kuliahan, hingga pria berusia 50 tahun yang seumur dengan ayahnya sendiri.

Dia tak merasa menyesal melakukan ini. Terjun ke dunia prostitusi adalah bentuk pemberontakan Mio yang tak bahagia di rumah.

"Ayah dan ibuku selalu bertengkar. Aku sangat membenci mereka," kata dia.

Upaya untuk menarik para gadis dari bisnis eksploitasi tersebut bukannya tak ada. Jun Tachibana adalah penggerak LSM Bond Project. Dia mencoba berbicara dengan para gadis yang kelihatan punya masalah di jalan. Menurutnya, bukan perkara mudah untuk menarik mereka dari bisnis ini.

Para gadis ini rata-rata kesepian di rumah. Ada juga yang mengalami kekerasan seksual di rumah. Bahkan ada yang depresi hingga ingin bunuh diri.

"Mereka juga terdesak kebutuhan ekonomi karena berasal dari keluarga miskin, kata Jun Tachibana.

Dan di tengah lampu-lampu neon berkilauan, gadis-gadis berdiri sambil memegang papan iklan. Sesekali menggoda pria yang lewat. Mereka masih sangat muda. Tempat mereka seharusnya di rumah, bukan di sana.

Halaman :

Berita Lainnya

Index