Rumah Pohon dan Rumah Hobbit di Hutan Mangrove Siak

Rumah Pohon dan Rumah Hobbit di Hutan Mangrove Siak
Wisatawan menyelusuri Taman nasional hutan Mangrove, Karimun Jawa, di Jawa Tengah, 17 November 2014. Taman nasional hutan Mangrovetersebut memiliki ja

HARIANRIAU.CO - Ekowisata mangrove Rumah Alam Bakau yang terletak di Desa Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit, saat ini ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar Kabupaten Siak, Riau. Hamparan hutan bakau yang hijau dan luas memberikan suasana segar dan bisa menjadi tempat liburan akhir pekan.

Bagi pengunjung yang memiliki hobi memancing, Rumah Alam Bakau juga punya area memancing di tepian sungai rawa. Angin sepoi-sepoi ditambah suara kicauan burung dan monyet-monyet yang sesekali mendekat tanpa mengganggu pengunjung dapat menambah seru suasana mancing.

Bagi pengunjung yang sudah penat berkeliling memutari keindahan hutan bakau, bisa beristirahat di rumah pohon dan rumah hobbit sembari mengabadikannya dalam jepretan kamera. Wisatawan yang takut ketinggian untuk sampai di rumah pohon, ada tiga rumah Hobbit yang bisa jadi pilihan.

Penampakan rumah Hobbit ini masih sederhana dengan bentuk setengah bundar beratap ilalang dan belum sekeren yang ada di Desa Hobbit, Selandia Baru, lokasi syuting film Lord of The Rings. Namun kehadiran rumah ini dipastikan mampu menghibur dengan spot foto yang lucu. Pengunjung bisa duduk di rumah Hobbit yang tingginya hanya 50-75 sentimeter.

Hutan bakau yang kini menjadi ekowisata, pada 5-10 tahun lalu terlihat gersang dan rusak akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. Bertahun-tahun bakau terus ditebangi masyarakat untuk diambil kemudian dijual pada perusahaan, hingga marak penebangan ilegal.

Namun Sutiono dan empat rekannya; Sutrisno, Sugiono, Parno, dan Ajlin menjadi motor penggerak penghijauan kembali hutan mangrove itu. Misi konservasi untuk menyelamatkan mangrove dia cetuskan pada akhir 2013.

"Melihat kondisi hutan bakau yang sudah kritis, tergeraklah hati saya dan kawan-kawan untuk melakukan konservasi, dengan harapan mangrove bisa diselamatkan," kata lelaki 37 tahun itu.

Bermodalkan pengalaman dan pengetahuan di Bina Cinta Alam Kabupaten Siak, Sutiono dan rekan-rekannya pecinta alam menghimbau masyarakat untuk tidak lagi menebang hutan bakau guna menyelamatkan tepian sungai dari abrasi dan kerusakan ekosistem.

Pembabatan hutan bakau selain menyebabkan abrasi juga berakibat pada kerusakan ekosistem. Padahal ekosistem yang hidup di hutan bakau berfungsi sebagai paru-paru dunia dan penyangga habitat di hutan tersebut.

Sutiono bercerita, penyelamatan hutan bakau diawali pembibitan 1.500 batang yang ditanam di daerah paling rawan. Bibit itu ternyata tidak cukup di hutan mangrove yang mencapai puluhan hektare itu. Dinas lingkungan hidup setempat pun memberi bantuan bibit mangrove sebanyak 20 ribu batang untuk mendukung rehabilitasi dan konservasi hutan yang sudah rusak.

"Dari tahun 2014 hingga 2017 sudah tertanam sebanyak 22 ribu lebih pohon mangrove," kata Sutiono. Selang setahun, disaat pohon yang ditanam mulai menghiasi hutan bakau, dia tidak menyangka ada segerombolan anak muda datang berkunjung untuk berfoto-foto. Hasil foto mereka dimasukkan ke media sosial Facebook.

Unggahan pengunjung itu menarik minat wisatawan lain. Lantaran jumlah pengunjung terus bertambah, dibangun jembatan secara swadaya dan gotong royong untuk masuk hutan bakau.

Saat ini hutan bakau yang dirawat Sutiono dan rekan-rekan pecinta alam lainnya sudah menjadi ekowisata mangrove yang dikunjungi seribuan orang setiap bulannya. Untuk dapat menikmati lebatnya hutan bakau di track ekowisata mangrove, pengunjung dapat menelusuri jalan yang terbuat dari papan untuk menembus hutan bakau.

Wisatawan dapat melihat bakau yang masih kecil, baru ditanam hingga yang sudah besar dan tinggi-tinggi dengan akar-akar yang muncul dari air payau yang bentuknya sangat unik dan menarik dipandang.

Biaya masuk hutan mangrove ini tidaklah mahal, pengunjung cukup mengeluarkan uang sebesar Rp4.000 ditambah retribusi parkir Rp2.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp5.000 untuk roda empat. Akses untuk menuju objek ini sudah bisa ditempuh dengan jalur darat, yang memakan waktu sekitar tiga jam dari Kota Pekanbaru, dan dua jam dari ibu kota Kabupaten Siak.
 

sumber: tempo

Halaman :

Berita Lainnya

Index