Situs Kota China di Medan dan Rahasia Sejarahnya

Situs Kota China di Medan dan Rahasia Sejarahnya
Museum Situs Kota China yang berada di Medan Marelan. Museum ini terbuka untuk umum. Foto/IST

HARIANRIAU.CO - Kota Medan tak cuma dikenal dengan Istana Maimun yang berdiri megah di jantung kota. Banyak ahli sejarah mengaitkan Kota Medan dengan keberadaan situs Kota China.

Keberadaan situs Kota China di daerah Medan Marelan baru diketahui sejak tahun 1970-an. Namun, jejak sejarahnya mulai terkuak sejak ditemukannya arca kuno saat penggalian tanah untuk pembangunan jalan Tol Belmera pada tahun 1986 silam.

Para ahli sejarah menyebut, sejak abad ke-12 sampai 14, Kota China adalah pelabuhan niaga internasional di mana berlabuh kapal yang berasal dari Persia, Hindia dan Tiongkok. Di Kota China ditemukan keramik dari Persia dan Tiongkok, uang keping dari Sri Lanka dan Tiongkok, dan patung Buddha dari Hindia.

Semua benda-benda bersejarah atau temuan artefak itu disimpan di sebuah museum yang diberi nama Museum Kota China. Museum ini berada di Jalan Kota China No 65, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan dan terbuka untuk publik.

Situs Kota China dan rahasia sejarahnya hingga kini terus ditelusuri oleh para ahli. Penemuan benda-benda bersejarah telah mendorong banyak pihak untuk menguak dan mempelajari sejarah Kota China di Medan.
Menurut para ahli sejarah, jejak Kota China hingga kini belum habis tergali. Dulunya merupakan kerajaan makmur dan memiliki pelabuhan laut (bandar) internasional yang dihuni para imigran asal Tiongkok.

Di bandar tertua, diperkirakan pada masa Dinasti Song, Kota China yang berada di sebelah utara Kota Medan ini, mengalami kejayaan. Kawasan daratan dan pantai dihuni imigran dari negeri Tiongkok, dengan pelabuhan rakyat serta jalur perdagangan tersibuk. Transaksi perdagangan seperti tembikar, guci, keramik, rempah-rempah dan termasuk arcaberlanggam Chola atau India Selatan diperjual belikan.

Pak Ade, pekerja di Museum Situs Kota China Medan Marelan mengungkapkan, tidak hanya niaga, tapi di bandar tertua di Kota Medan ini juga berlangsung beragam aktivitas budaya. Bukti dari sejarah pelabuhan ini diketahui, setelah adanya penemuan kayu rangka dari bangkai kapal. Untuk penemuan kayu sisa dari rangka kapal ditemukan di sebelah utara, di tempat itu diyakini sebagai lokasi pelabuhan laut pada masa itu.

Setelah bandar Kota China terjadi pendangkalan, pelabuhan baru berdiri di kawasan Bandar Labuhan Deli. Tepatnya berada di wilayah Kelurahan Pekan labuhan, berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi situs Kota China.
Sejarah bandar Labuhan Deli dibangun pada tahun 1814, setelah raja deli ketiga, Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli dari Deli Tua ke daerah Labuhan Deli.

Menurut Erond L Damanik, dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed) menyebutkan, aspek historis situs Kota China adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi pada permulaan abad ke-12 hingga awal abad ke-14. Pada masa itu, berdasarkan bukti-bukti arkeologisnya (archeological evidence) diketahui cenderung merujuk pada era kedinastian Sung, Yuan dan Ming di China.

Demikian pula temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa komunitas pedagang yang berasal dari mancanegara seperti China, Johor, Jawa, Burma, Thailand pernah singgah di Bandar pelabuhan yang terletak di pesisir Timur pantai Sumatera Utara.

Erond L Damanik mengungkapkan, keberadaan Situs Kota China diketahui pada akhir abad 19 pada waktu kunjungan Anderson dan kemudian  pada tahun 1875 Halewijn (1876) mencatatnya dengan nama Kota China, pada saat itu terdapat puluhan rumah tangga yang dikontrol oleh Sultan Deli di Labuhan. Kampung Terjun dan Hamparan Perak terletak hanya beberapa kilometer disebelah Barat dan disebelahnya terdapat Suku Duabelas Kota yang dikontrol oleh Kejuruan Hamparan Perak yakni seorang Melayu Karo (Veth, 1877).

Catatan awal keberadaan kawasan ini ditemukan dari riwayat perjalanan John Anderson, seorang Scotisch yang diutus dari Penang pada tahun 1823 dalam bukunya: ”Mission to the East Coast of Sumatra and Malay Penisula” yang menyebutkan bahwa di daerah tersebut terdapat batu bertulis yang masyarakat tidak dapat membaca. Anderson juga mengingatkan akan pentingnya Sei Deli sebagai jalur pelayaran sungai (riverine) dan pintu masuk (entrance) menghubungkan dataran tinggi (hinterland) dan lembah Deli.

Catatan Anderson tersebut dipublikasikan pada Tijdschrift van het Bataviasche Genootshap yang pada tahun 1882, yakni 20 tahun setelah pengusaha Belanda menginjakkan kakinya di Deli, controleur Labuhan Deli berkeinginan menyelidiki inskripsi sebagaimana yang dimaksud Anderson tersebut tetapi tidak menemukan batu bertulis itu.

Namun demikian, sehubungan dengan ekspansi perkebunan Deli di kawasan ini, maka sejalan dengan banyaknya artifak seperti mata uang, archa tembikar, dan keramik dari China itu, maka pada tahun 1886 oleh Halewijn dicatat sebagai Kota China kemudian pada tahun 1914 dicatat lagi dengan resmi pada Oudheidkundig Verslaag (laporan Dinas Kepurbakalaan Belanda).

Situs Kota China diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Medan sekarang yang berasal dari permulaan abad ke-12. Hal mana ditunjukkan oleh banyaknya peninggalan atau bukti arkeologis (archeological evidence) yang tertuju pada satu era yakni sejak abad ke-12 hingga awal abad ke-14, seperti eartenware fragmen (tembikar), porcelain fragmen (keramik), coin (mata uang), glass fragmen (gelas), brickstone fragmen (Batubata berfragmen candi), archa (statue), tulang belulang, atau bahkan sisa-sisa perahu tua (ships ruins). Tentang kondisi dan keadaan kawasan Medan sebelum awal abad-12 ini belum banyak diketahui.

Dalam catatan McKinnon (1984) diketahui bahwa, Kota China pada awalnya adalah daerah yang sangat dekat dengan laut, merupakan kawasan yang terpengaruh pasang surut, dan berrawa (lahan basah). Namun karena proses sedimentasi yang bergerak cepat  setinggi 2 cm per tahun menjadikan kawasan ini menjadi daratan yang ’sepertinya’ jauh dari laut.

Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok misalnya, diketahui bahwa beberapa penguasa di kawasan pesisir timur Sumatera (Sumatra east coast) ini telah melakukan kontak niaga dengan China ataupun dengan cara membayar upeti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Wolters, (1970), mengemukakan bahwa nama Kota China tidak banyak diketahui dari catatan historis.

Namun demikian, nama Kota China sangat akrab dalam ingatan kolektif masyarakatnya (folks memory) yang menunjuk pada ’pendudukan orang China’ (a fortified settlement occupied by Chinese).

Kota China merupakan satu-satu situs perkotaan (urban site) pra kebudayaan Islam yang ditemukan hingga kini di Pulau Sumatera yang secara administratif pemerintahan terletak di kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Situs ini berada pada posisi 30 43’ N dan 980 38’ E dan sekitar 1.5 meter dari permukaan laut (dpl). Luas situs ini berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Medan adalah sekitar 25 hektare, yang tidak mengikutsertakan Danau Siombak hingga sepanjang sungai Terjun. Bila seluruh kawasan ini digabungkan sebagai satu kesatuan situs Kota China, maka luasnya mencapai 100 hektare.

Kota China diyakini merupakan pemukiman awal hingga terbentuknya Kota Medan Sekarang. Merupakan bandar niaga kuno yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing pada kurun waktu abad ke-12 hingga abad ke 14. Hal ini banyak ditentukan oleh peninggalan arkeologis (archeologichal evidence) yang ditemukan pada saat penelitian dan ekskavasi di situs Kota China.

Demikian pula bahwa apresiasi yang dilakukan oleh Sejarahwan dan Arkeolog adalah sebatas penelitian dan penggalian (ekskavasi) yang dari hasil penelitian tersebut merekomendasikan pentingnya upaya-upaya penyelamatan dan pengembangan serta pemamfaatan situs Kota China. Hal ini dikarenakan bahwa dari segi archeological evidencenya, diketahui bahwa situs Kota China mengandung temuan-temuan yang sangat penting sebagai bandar perniagaan kuno.

Di masa kini, kondisi dan keadaan situs Kota China sangat bertolak belakang dengan kejayaannya dimasa silam, terlantar, tidak terawat dan mungkin juga akan segera menghilang. Di samping karena dijadikan sebagai lahan pertanian masyarakat, juga disebabkan oleh pemukiman penduduk yang sudah mulai padat.

sumber: sindonews

Halaman :

Berita Lainnya

Index