Ustaz Abdul Somad Minta Bayaran Rp 60 Juta Ternyata Hoaks, Berapa Tarif Sebenarnya?

Ustaz Abdul Somad Minta Bayaran Rp 60 Juta Ternyata Hoaks, Berapa Tarif Sebenarnya?

HARIANRIAU.CO - Pihak Ustaz Abdul Somad membantah tiga kabar bohong yang tersebar selama sepekan terakhir. Kabar pertama Ustaz Abdul Somad dikabarkan akan menghadiri tabligh akbar di Labuhan Batu Utara pada 19 April 2018.

Pada keterangan foto yang dibagikan dijelaskan Ustaz Abdul Somad sama sekali tidak memiliki jadwal di Labuhan Batu Utara pada 19 April 2018.

"Mohon maaf, tidak ada jadwal di Labuhan Batu Utara pada 19 April 2018. @laburaku".

Kabar bohong kedua juga kehadiran Ustaz Abdul Somad di Tabligh Akbar pada 14 April 2018 di Pantai Cemara Kembar, Perbaungan Serdangbedagai.

"Waspada apabila menerima tawaran penjadwalan. Konfirmasi jadwal hanya kepada Tim Tafaqquh, atas nama Muhammad Hidayat (Abu Umar).

Kami tidak pernah meminta uang, apalagi meminta transfer diawal.

Hati-hati jika dihubungi seseorang yang mengatasnamakan Manajemen Ustadz Abdul Somad", caption yang dituliskan pada foto kedua.

Postingan ketiga lebih parah lagi, akun Facebook Gunawan Abu Syafiq II menuliskan tentang rencana

tabligh akbar Polda Gorontalo yang akan mendatangkan Ustaz Abdul Somad.

Keterangan itu menyebutkan panitia acara membatalkan mengundang UAS yang disinyalir sebagai Ustaz Abdul Somad, karena biayanya mencapai Rp 60 juta.

Akhirnya mengganti Ustaz Abdul Somad dengan SAJ yang disinyalir Syekh Ali Jaber.

"Setelah apel pagi tadi dapat arahan khusus dari Dir sebagai ketua panitia rencana tabligh akbar Polda Gorontalo yang akan mendatangkan Syekh AJ. Kata beliau, sebelumnya ada rencana untuk mengundang U*S tpi karna bujetnya terlalu besar yakni sekitar 60an juta akhirnya beralih ke SAJ yg bujetnya hanya sekitar 30an juta.

Mau menyarankan agar yg diundang dai Ahlussunah biar hemar biaya dan dapat ilmu yg insya Allah bermanfaat tetapi ternyata sudah deal dengan SAJ.

Sekian sekilas info," tulis akun akun Facebook Gunawan Abu Syafiq II.

Dalam caption ditegaskan manajemen Ustaz Abdul Somad tidak pernah meminta uang atau mentransfer di awal.

"Waspada apabila menerima tawaran penjadwalan. Konfirmasi jadwal hanya kepada Tim Tafaqquh.

Kami tidak pernah meminta uang, apalagi meminta transfer diawal.

Hati-hati jika dihubungi seseorang yang mengatasnamakan Manajemen Ustadz Abdul Somad".

Lalu sebenarnya berapa tarif Ustaz Abdul Somad?

Sudah menjadi rahasia umum jika sebagai penceramah kondang memasang tarif mahal dan berbagai syarat lain ketika hendak diundang.

Akibatnya, tak jarang terdengar rumor jika ada undangan ditolak atau batal dihari sang penceramah gara-gara tak deal soal berapa harus dibayar.

Namun, bagaimana dengan Ustadz Somad?

"Apakah pihak Ustadz Somad menentukan nominal tarif untuk undangan ceramah?" 

Demikian pertanyaan yang ditulis seseorang pada selembar kertas yang dibacakan Ustadz Somad di hadapan para jamaah saat menghadiri undangan organisasi kemasyarakatan Islam.

Lalu apa jawaban Ustadz Somad?

"Sampai sekarang, belum lagi. Sebelum saya tentukan (tarif) ini, undanglah. Tapi kalau saya sudah tentukan (tarif), payahlah yang ngundang," kata dia disambut tawa jamaah.

Hingga saat ini, dia mengaku tak pernah memasang tarif saat diundang.

Dirinya malah senang ketika banyak yang mengundang.

Selanjutnya, ada juga pertanyaan yang sepertinya bukaan dari jamaah di hadapannya, saat itu.

Pertanyaannya adalah soal fasilitas ketika diundang.

"Ustadz Somad, katanya kalau penceramah ini diundang minta tiket pesawatnya 3, harus kelas eksekutif, harus Garuda, Lion tak mau karena delay," demikian pertanyaan itu yang keluar langsung dari mulut ustadz alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir dan Institut Dar Al-Hadits Al-Hassania, Maroko tersebut.

Lalu dijawab dia, "Saya ndak. Mau aja orang mengundang kita menyampaikan ayat-ayat Allah ini, alhamdulillah. Mestinya kita yang datang. Lalu dia bawa kita. Mestinya saya datang ke rumah ini, tapi kemudian diundang keluarga besar Hidayatullah, alhamdulillah."

Aa Gym

Pada situs ensiklopedia, Wikipedia.org, termuat tarif dakwah dai kondang Abdullah Gymnastiar.

??????

Aa Gym (METRO TV)

Pada tahun 2002 atau 14 tahun lalu, tulis Wikipedia.org, “Tarif siarnya untuk berdakwah bisa mencapai USD 100.000 per jam pada bulan Ramadhan, dan penampilannya menjadi rebutan stasiun-stasiun TV.”

Pada tahun 2002, nilai tukar rupiah terhadap 1 dollar Amerika Serikat mencapai Rp 9.260.

Tarif itu kemudian dikritik aktivis Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla.

Menurut Ulil, AA Gym, sapaan Abdullah Gymnastiar, telah memosisikan dirinya bak penyanyi papan atas.

Namun, tokoh Nahdlatul Ulama, Solahuddin Wahid atau Gus Solah membela Aa Gym.

Gus Solah berpendapat bahwa kekuatan Aa Gym terletak pada ketulusannya.

Mamah Dedeh

Pada tahun 2013 lalu, seorang netizen di twitter @jajang_jahroni, mengungkapkan berapa bayaran Dedeh Rosidah Syarifudin alias Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh (INDOSIAR)

Jajang yang saat itu adalah mahasiswa program doktor pada Boston University itu menyebut biaya Mamah Dedeh setiap ceramah Rp 40 juta.

“Berapa tarif Mamah Dedeh untuk sekali ceramah? 40 jt. Ustadz Uje 25 jt, Ustadz Maulana 25 jt,” kicau Jajang melalui akunnya pada Twitter.

Mamah Dedeh pernah mengaku pekerjaannya sebagai penceramah pernah dijadikan ajang bisnis oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

"Yang tanda tangan Rp 80 juta, yang kita terima cuma Rp 30 juta. Saya juga pernah tanda tangan Rp 25 juta dikasih cuma Rp 1 juta. Padahal saya tahu pendapatan dari tiket saja sangat besar," ujarnya Agustus 2013 lalu.

Solmed

Soleh Mahmud alias Solmed pernah menghebohkan media sosial pada tahun 2013 gara-gara beredar video minta bayaran tinggi saat diundang ceramah di Hong Kong oleh Majelis Thoriqul Jannah.

Ustadz Soleh Mahmud alias Ustadz Solmed (TRIBUNNEWS.COM)

Menurut pemimpin Majelis Thoriqul Jannah, Lifah Kholifah Al Marbawy, awalnya Solmed meminta tarif seikhlasnya dan dua tiket pesawat untuk dirinya dan sang manajer.

Pihak majelis kemudian menetapkan akan memberi uang honor senilai 6000 dolar Hong Kong atau sekitar Rp 8 juta, saat itu.

Namun, tiba-tiba permintaan itu berubah jelang acara, Solmed meminta Rp 10 juta.

Sungguh fantastis kenaikannya.

Setelah itu beredar surat terbuka kepada Solmed yang mengatasnamakan dari Tenaga Kerja Indonesia atau TKI.

TKI menulis surat terbuka ini karena merasa tersinggung akibat Solmed menyebut TKI di Hong Kong sebagai komunis melalui kicauan pada Twitter.

Kepada Yth :

Ustaz Solmed

Ustaz Solmed yang terhormat, saya adalah salah satu TKI Hong Kong yang terluka dengan pernyataan ustaz di twitter yang mencurigai kami (TKI Hong Kong) sebagai jaringan dari
komunis. Saya (masih) memaklumi jika ustaz memasang tarif saat diundang untuk berceramah.

Itu hak ustaz. Pun, saya juga mengerti jika ustaz membela diri ketika ustaz dituding menaikkan tarif saat diminta ceramah di Hong Kong, terlepas dari benar atau tidaknya argumen yang ustad sampaikan. 

Namun, ketika ustad “berkicau” di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong Kong merupakan bagian dari jaringan komunis, maka saya sebagai bagian dari TKI Hong Kong merasa terluka, teriris hati saya mendengar hal ini.

Saya suka menulis, saya menyampaikan hal ini melalui tulisan dan mem-broadcastnya di sosmed bukan untuk mencari sensasi, apalagi popularitas.

Ini adalah suara hati saya. Sedih tak terkira saya melihat seorang ustad “memerangi” saudara seagamanya dengan bersenjatakan media. 

Miris, melihat dan mendengar pemberitaan beberapa media yang menurunkan berita timpang (tidak balance, hanya memaparkan berita dari pihak ustad Solmed, tidak berusaha
melakukan cross check dengan pihak EO di Hong Kong).

Secara pribadi, saya tidak ada dendam dengan ustad. Saya pertama kali melihat ustazmelalui tayangan sinetron di televisi (saya lupa judulnya).

Tayangan itu saya saksikan melalui internet.

Saya bukan pecinta sinetron, hanya saja saya tertarik menyaksikan sinetron tersebut karena ada Maher Zain yang ikut syuting di dalamnya (sewaktu dia berkunjung ke Indonesia). 

Sebagai TKI Hong Kong, saya memang mengikuti perkembangan konflik ustad dengan salah satu event organizer (EO) di Hong Kong yang mengundang ustad untuk berceramah. Namun, saya tak ikut ambil pusing. 

 


Saya bukan bagian dari EO tersebut, dan (tadinya) saya pikir, perselisihan ustad dengan EO tersebut dapat menemui titik temu (damai). Tetapi, semakin lama, ustad semakin membuat pernyataan yang tidak-tidak, bahkan cenderung memfitnah. 

Di infotainment, ustad menyebut angka 150 juta rupiah yang bakalan dikeruk oleh EO di Hong Kong dari penjualan tiket masuk yang dijual kepada para jamaah. 

Ijinkan saya bertanya, dari mana ustaz dapatkan angka fantastis tersebut?

Hampir tujuh tahun saya di Hong Kong dan selama 4 tahun terakhir ini saya berkecimpung dalam organisasi yang kadang menjadi EO suatau acara dengan mengundang bintang tamu artis dari Indonesia. 

Sedikit banyak, saya tahu seluk-beluk penyelenggaraan acara di Hong Kong.

Untuk gedung di Sheung Wan yang rencananya akan dipakai untuk acara yang sedianya akan ustad hadiri tersebut, setidaknya sudah 3 kali saya memasukinya. 

Gedung tersebut merupakan ruangan berbentuk L yang kapasitasnya (menurut pengamatan orang awam seperti saya), hanya muat untuk 500 orang (itu juga kalau dijejal-jejal). 

Jika tiket masuk dijual seharga 50 (Hong Kong dollar), dan pengajian diadakan dua sesi, maka hasil dari penjualan tiket adalah : 50 x 1000 orang = 50.000 (Hong Kong dollar). 

Kurs saat ini : HK$ 1 = Rp. 1300 (kurang lebih, karena kurs naik turun).

Jadi, jika ustazmenyebut angka 150 juta rupiah, maka saya katakan hal tersebut adalah AJAIB (kalau tak mau dikatakan OMONG KOSONG). 



Lagipula, angka HK$50. 000 itu dengan asumsi bahwa tiket terjual habis (sold out)*. Pada kenyataanya, tidak semua tiket bisa terjual habis.

Dan uang sejumlah itu bisa dikatakan sangat pas-pasan untuk membiayai sebuah acara di Hong Kong.

Ini berdasarkan pengalaman saya selama bergelut dalam organisasi Forum Lingkar Pena Hong Kong.

Perlu ustaz ketahui, pengajian di Hong Kong dengan menjual tiket (entah itu HK$20, 50, atau 100) itu sudah lazim di kalangan tenaga kerja Indonesia di Hong Kong ini. 

Di Hong Kong ini, memakai mesjid atau gedung TIDAK BISA GRATIS. Minimal perlu HK$ 4.000 untuk sewa satu gedung (ini harga sewa gedung di pelosok, kalau di pusat kota minimal bisa dua kali lipatnya). 

Belum lagi sewa sound systemnya (tidak mungkin ‘kan ustad teriak-teriak atau lari sana-sini agar suara ustad dapat didengar oleh jamaah yang hadir). 

Harga sewa sound system bisa berkisar HK$ 5.000 ke atas. Belum lagi ditambah biaya pembelian tiket pesawat untuk ustad dan manajer ustad, biaya hotel, konsumsi,transportasi, dll.

Jika pun acara di laksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan Victoria Park, itu juga harus ada ijin dari pengelolanya.

Setidaknya, penyelenggara acara harus membayar uang asuransi pada pengelola taman jika ingin menggunakan area tersebut. Hal ini saya ketahui saat mencari info tentang penggunaan lapangan rumput dan tenda putih atas Victoria Park. 

Dan lebih fantastis lagi, sound system kalau untuk outdoor seperti di lapangan Victoria Park, harga sewanya bisa mencapai belasan juta rupiah.

Jadi, jika ustad mengatakan bahwa dakwah ustad dijadikan lahan bisnis oleh EO di Hong Kong, saya sangat meragukan hal ini. 

Karena, yang saya tahu, jika pun acara pengajian itu memperoleh keuntungan dari penjulan tiket serta dana dari kotak amal (yang diedarkan saat pengajian berlangsung), maka dana tersebut tidak akan masuk ke kantong panitia penyelenggara, melainkan disumbangkan ke Indonesia, entah itu untuk pembangunan mesjid, pesantren, dll. 

Mengenai hal ini, mungkin ustaz bisa bertanya pada EO yang mengundang ustaz, berapa pondok pesantren yang sudah mereka biayai dari uang sisa yang didapat dari acara pengajian yang mereka adakan. 

Ustad akan lebih tercengang lagi, jika melihat fakta bahwa begitu banyak mujahidah di Hong Kong ini yang rela berpanas-hujan menjual majalah, meminjamkan buku melalui perpustakaan lesehan, menjual buku, dll demi mendapat keuntungan 1 atau 2 dolar yang mereka kumpulkan untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia. 

Bayangkan, mereka rela berlelah-lelah di hari yang seharusnya menjadi hari libur mereka.

Saya sendiri pun pernah mengalaminya, menggeret-geret koper besar berisi buku-buku untuk dipinjamkan. 

Uang penyewaan buku hanya numpang lewat di tangan saya,untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia. 

Jika ustad mengatakan bahwa seluruh biaya yang saya sebutkan itu (tiket pesawat, hotel, dll) sudah ditanggung oleh sponsor, maka silakan disebutkan siapa saja sponsor acara tersebut, berapa banyak uang yang mereka berikan sehingga bisa mengcover seluruh biaya tersebut? 



Setahu saya, untuk satu event semisal pengajian, 3 atau 4 sponsor saja itu belum tentu ada, karena kini semakin banyak organisasi TKI di Hong Kong, banyak acara yang bisa mereka pilih untuk didukung.

Satu sponsor saja, biasanya member support materi yang tidak begitu banyak, sekitar HK$500 – HK$ 2.000, sangat jauh untuk bisa menutup biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

Saya berbicara berdasarkan fakta. Menurut pengalaman saya dalam mencari dana dari sponsor, kadang dana dari sponsor tidak diberikan dalam bentuk tunai, tapi berupa barang yang harus dijual, jadi tidak berbentuk cash money.

Well, dua pertanyaan itu (dari mana angka 150 juta itu ustad dapat dan sponsor mana yang mau mendanai penuh acara yang akan ustad hadiri), akan membuktikan kebenaran dari ucapan ustad. 

Mari bicara fakta, atau diam jika hanya menimbulkan fitnah, menyakiti kami (TKI Hong Kong) yang ustad sebut sebagai “saudara”. Sekali lagi, saya sangat maklum jika benar ustad memasang tariff dan meminta fasilitas ini-itu pada panitia.

Saya juga tidak menyalahkan jika ustad (mungkin) berbohong di media untuk menjaga reputasi ustad.

Itu manusiawi. 

Silakan saja, dosa ditanggung ustad sendiri.

Namun, jika konfliknya melebar sampai ustad koar-koar di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong Kong adalah jaringan dari komunis, itu sudah keterlaluan. 

Curiga boleh saja, tapi tak harus berkicau di sosmed tanpa fakta, tanpa tabayyun, karena itu semua akan menjadi fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan.



Untuk media-media di Indonesia Di Indonesia, mungkin nama ustad Solmed sangat layak jual. 

Sehingga otomatis, berita yang menyangkut dirinya akan&nbsnbsp;menarik bagi masyarakat. 

Namun, setahu saya setiap berita yang diturunkan haruslah berimbang, tidak boleh hanya
dari satu sisi saja. Meskipun narasumber berita jauh, wartawan harus tetap mengusahakan untuk mewawancarainya meski hanya melalui saluran telepon. 

Jika si narasumber tidak dapat dihubungi, maka hal tersebut juga harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa si wartawan sudah berusaha menghubungi, namun hingga saat berita diturunkan, narasumber belum memberikan jawaban.

Silakan menghubungi dan mewawancarai langsung EO yang mengundang ustad Solmed ke Hong Kong, agar berita yang disampaikan pada masyarakat tidak berat sebelah, dan tidak lebay (saya pernah melihat tayangan infotainment yang menampilan media yang memuat berita dengan judul “Astaga, tarif ustad Solmed 150 juta”. 

Menurut saya judul tersebut sangatlah lebay karena angka 150 juta tersebut bukan tariff yang dipatok sang ustad, melainkan angka perkiraan sang ustad dari penghitungan penjulan tiket yang dijual oleh panitia).

Memang, judul bombastis bisa menaikkan berita, tapi akan merugikan media sendiri jika judul tak sesuai dengan isi. 

Akibatnya, bukan tidak mungkin media yang seperti itu akan kehilangan kepercayaan dari masayarakat yang berimbas pada kematian media itu sendiri.

TKI di Hong Kong mudah dijumpai di jejaring social Facebook. 

Itulah mengapa, ketika ustad Solmed koar-koar di Twitter, yang ikut me-retweet dari kalangan TKI Hong Kong hanya mempunyai beberapa follower, karena memang TKI Hong Kong hanya sedikit saja yang ber-twitter ria.

Kami lebih nyaman di Facebook karena bisa membaca info-info menarik dari catatan fans fage, sharing foto, dll, sedangkan twitter tidak memungkinkan hal itu, karena membatasi penulisan hanya 140 karakter saja.



Untuk teman-teman TKI/BMI Hong Kong, kita adalah satu tubuh, ketika ada pihak yang menyakiti bagian dari diri kita, tentu kita akan ikut terluka.

Demikian pula halnya dengan diri saya. Awalnya saya tak ingin angkat bicara, malas koar-koar di sosmed. 

Tetapi, saya melihat beberapa aktivis BMI HK yang biasanya vocal membela BMI, diam melihat hal ini, sama sekali tak berkomentar.

Dan yang bukan aktivis, ada saja yang nyinyir dengan mengatakan bahwa pengajian harus gratis lah, salah panitia ngundangnya artis lah, dll.

Untuk yang belum pernah berkecimpung di organisasi BMI, tentu pernyataan “gratis” tadi wajar saja, karena ketidaktahuan mereka bahwa tidak ada yang gratis di Hong Kong ini. 

Lagipula, tiket dijual kepada mereka yang bersedia membayar, tak ada paksaan.

Pun dengan kotak amal, tidak ada paksaan untuk mengisinya.

Saya ungkapkan di sini, event pengajian yang diadakan berbagai organisasi BMI di Hong Kong, tidaklah bertujuan untuk mengeruk untung ataupun dijadikan lahan bisnis seperti yang dikatakan ustaz Solmed.

Saudara-saudara kita berjuang menegakkan agama islam di negeri non muslim ini. 

Jika pun ada yang membisniskan pengajian, itu adalah oknum, jangan pernah melakukan generalisir dengan menyebutkan BMI/TKI Hong Kong, karena akan sangat fatal akibatnya, menjadi fitnah yang menyakiti semua.

Kita bisa saja memaafkan ustad Solmed atas pernyataannya di twitter yang mencurigai TKI Hong Kong sebagai komunis, kita juga bisa memboikot ustad Solmed dengan menganjurkan
keluarga kita agar meninggalkan segala tontonan yang menampilkan ustad Solmed.

Kita adalah kekuatan yang besar jika bersatu. Kita dikatakan komunis, komunis itu tak bertuhan, rela kita dikatakan demikian?

Untuk teman-teman yang berkecimpung di organisasi, terutama dalam bidang keagamaan, mari jadikan kasus ini sebagai pelajaran.

Selama ini, mungkin teman-teman tidak pernah membuat perjanjian (kontrak) tertulis dengan tamu (ustaz/artis) yang akan diundang. 

Belajar dari hal ini, tawarkanlan surat perjanjian pada tamu yang akan diundang. 

Jika hal itu dianggap merepotkan, maka gunakan fasilitas rekam suara di HP. Kita bisa merekam pembicaraan di HP dengan sang tamu yang akan diundang. 

Atau, simpanlah bukti sms/whatsapp untuk setiap deal yang teman-teman lakukan dengan calon tamu.

Jadi, jika di kemudian hari terjadi konflik seperti ustad Solmed di atas, teman-teman punya bukti kuat.

Demikian yang ingin saya ungkapkan. Mohon maaf jika ada pembaca yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini. 

Silakan diluruskan jika da kekeliruan dalam tulisan saya ini.

Saya Rihanu Alifa, saya TKI Hong Kong, tidak kenal ustad Solmed, juga tidak kenal dengan organisasi TKI Hong Kong yang berseteru dengannya.

Saya tidak memihak siapapun.

Saya menuliskan hal ini karena bagaimanapun juga, saya adalah bagian dari TKI Hong Kong yang akan terluka jika nama TKI Hong Kong dinodai.

Yang benar hanya dari Allah. Semoga tulisan saya ini bermanfaat dan ada hikmah yang dapat dipetik di dalamnya, tidak menjadi ghibah, apalagi fitnah.

Shatin, 17 Agustus 2013

Salam santun,
Rihanu Alifa

Nur Maulana

Ustadz Muhammad Nur Maulana menolak memasang tarif saat memberikan ceramah kepada jamaah muslim yang mengundangnya.

Menurutnya, para gurunya  di pesantren telah mengharamkan bagi seorang dai yang memasang tarif.

Fenomena yang terjadi saat ini, ada sejumlah dai kondang yang tiba-tiba terkenal.

Namun dalam perjalanannya mereka memasang standar tarif yang cukup tinggi.

Ustadz Nur Maulana (DOK PRIBADI)

Hal ini juga dipermasalahkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Saya adalah dai pesantren. Saat berdakwah saya diharamkan untuk memasang tarif. Alhamdulillah sampai sekarang masih bisa berdakwah," kata Ustaz Maulana kepada Tribunnews.com di sela peluncuran "Layanan Telkomsel Haji 2013", Rabu (21/8/2013).

Namun demikian, Nur Maulana menyatakan tidak akan berkomentar mengenai dai yang memasang tarif tersebut.

Menurutnya, hal itu terserah pada dai yang bersangkutan. Dia menceritakan, di semua pesantren yang ada, seorang dai dilarang memasang tarif saat akan berceramah.

Demikian pula di pesantren tempat dia belajar dahulu yaitu Pesantren Annahdah, Makassar, Sulawesi Selatan.

"Itu (dakwah) adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan, jadi tanpa dibayar pun kita harus lakukan," ujarnya.

Meski tidak pernah memasang tarif, Maulana mengaku bersyukur karena dakwah yang dilakukan hingga sekarang lancar terus.

Sumber: tribunmedan

Halaman :

Berita Lainnya

Index