Sejarah Iran vs Israel, Dulu Pernah Mesra bersekutu, Kini Sengit Berseteru

Sejarah Iran vs Israel, Dulu Pernah Mesra bersekutu, Kini Sengit Berseteru
Ayatullah khomeini kembali dari pengasingan pada 1 februari 1979. ©AFP

HARIANRIAU.CO - Dalam dua dekade terakhir perseteruan Iran dan Israel kian menjadi sorotan internasional. Padahal kedua negara pernah menjalani masa-masa berhubungan baik. Bahkan setelah Revolusi Islam Iran 1979, ketika Iran kemudian memutus hubungan diplomatik dengan Israel, kerja sama militer kedua negara masih berlangsung selama beberapa tahun sampai Iran meminta bantuan Negeri Bintang Daud dalam perang melawan Irak.

Hari ini ketika ketegangan kedua negara kian memuncak dan perang terbuka tampaknya tinggal di depan mata, sebagian orang juga bisa melihat, kedua negara ini tidak seharusnya bermusuhan. Iran dan Israel tidak bersinggungan di batas negara dan tidak punya sengketa wilayah keduanya. Terlebih lagi warga Yahudi sudah lama tinggal di Persia (sekarang Iran) selama lebih dari 2.700 tahun dan tradisi Yahudi juga menganggap wilayah itu sebagai tempat mengungsi, terutama di masa kepemimpinan Raja Agung Sirus di abad keenam sebelum Masehi.

Mengutip laman Haaretz, Selasa (1/5), selepas Israel berdiri pada 1948, ketika Irak memburu warga Yahudi dan mereka melarikan diri untuk tinggal di Israel, Iran menjadi tempat mereka transit. Orang-orang Iran melayani mereka dengan ramah.

Secara resmi Iran menentang rencana PBB membagi wilayah Palestina pada 1947 dan pendirian negara Israel. Setiap negara punya alasan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Bagi Iran, Israel dipandang sebagai kendaraan (lewat komunitas Yahudi-Amerika) untuk mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Negeri Paman Sam itu juga sedang mencari sekutu dalam persaingannya berebut pengaruh dengan Uni Sovyet di kawasan Timur Tengah dan dunia keseluruhan.

Kini persaingan antara Iran dengan dunia Arab dipandang sebagai konflik bertema agama yakni soal minoritas Syiah (dipimpin Iran) versus mayoritas Sunni (didominasi Arab Saudi). Namun di era 1950-an dan 1960-an, Iran merasa terancam dengan gerakan Pan-Arabisme dukungan Soviet yang mengambil sosok Gamal Abdul Nasser, pemimpin revolusi Mesir pada 1952 sebagai simbol.

benjamin netanyahu getty

Di masa Perang Dingin, Negeri Mullah sebagai negara kaya minyak dan menguasai akses ke Teluk Persia, menjadi sekutu penting AS di Timur Tengah.

Namun di Iran sendiri kelompok muslim dan sekular saling bersitegang. Terlebih lagi pemimpin spiritual seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini meminta Iran bergabung dengan negara Arab dalam berperang melawan Israel.

Dari sudut pandang Israel, Iran termasuk dalam 'Doktrin Batas Luar' dari perdana menteri pertama Israel Ben Gurion. Doktrin itu menyebut Israel harus menjalin hubungan kerja sama dengan musuh dari negara Arab (yakni Iran, Turki, dan Ethiopia, termasuk Kristen Maronit di Libanon dan Kurdi di Irak).

Iran pernah menjual minyak ke Israel di saat negara-negara kaya minyak lain tidak mau melakukannya. Negeri Mullah juga menjadi importir penting barang-barang Israel, termasuk di sektor pertanian, perumahan, kedokteran, proyek infrastruktur, dan bahkan kerja sama pelatihan intelijen bagi polisi rahasia di bawah komando Shah, Savak.

Pada 1960-an dan 1970-an, Israel bekerja sam dengan banyak kontraktor dan penasihat militer dari Teheran. Sebuah sekolah berbahasa Ibrani juga dibuka di Teheran untuk anak-anak Israel. Dan maskapai El Al beroperasi melakukan penerbangan rutin antara Tel Aviv dan Teheran.

Namun kemesraan di masa itu perlahan pudar seiring perubahan geopolitik di kawasan. Kematian Nasser pada 1970 dan naiknya Anwar Sadat membuat hubungan Mesir dengan Iran kian erat. Lebih jauh lagi, kesepakatan antara Iran dan Irak pada 1975 yang mengharuskan Iran menghentikan pasokan senjata untuk pasukan separatis Kurdi membuat kedua negara itu buat sementara waktu jadi lebih bersahabat. Sebagai dampaknya hubungan Israel dan Iran jadi menjauh.

Di dalam negeri para mullah di Iran terus mengindoktrinasi rakyat tentang segala keburukan Israel. Ketika Shah digulingkan pada Revolusi Islam 1979, dan kepemimpinan sekuler diganti oleh pemerintahan Islam yang tidak kalah mengekang, hubungan dengan Israel menjadi salah satu yang pertama kali dikorbankan. Sekembalinya Khomeini dari pengasingan di Prancis pada 1 Februari 1979, tiga pekan kemudian, pada 18 Februari, dia memutus hubungan dengan Israel.

Halaman :

Berita Lainnya

Index