Waw! Di Daerah ini Banyak Wanita Punya Dua Suami

Waw! Di Daerah ini Banyak Wanita Punya Dua Suami
Pasangan suami istri di Cina antara tahun 1870-1871

HARIANRIAU.CO - Pria memiliki dua istri lebih dari satu orang sudah lumrah terjadi. Namun wanita punya 2 suami atau lebih, mungkin hanya terjadi di Cina, terutama di daerah Fujian dan Sichuan.

Kebanyakan wanita dari suku tradisional Cina melakukan poliandri atau memiliki suami lebih dari satu orang pada tahun 1700 sampai 1900-an. Jumlah wanita yang melakukan poliandri lebih banyak ketimbang pria poligami.

Poliandri terjadi bukan tanpa sebab. Selain alasan ekonomi, populasi pria di Cina lebih banyak ketimbang wanita.

Kondisi itu diperparah dengan banyaknya petinggi kerajaan pada masa Dinasti Qing ‘mengoleksi’ wanita-wanita cantik. Akibatnya, banyak pria jomblo, tak kebagian wanita.

Cina dikenal sebagai negara bujangan. Laki-laki lebih banyak sekitar 33 juta ketimbang perempuan. Populasi pria dan wanita diperkirakan baru bisa seimbang antara tahun 2030 dan 2050 mendatang.

Pada tahun 1700 hingga 1900-an, wanita memiliki lebih dari satu orang suami dianggap lumrah. Namun belakangan tindakan ini dianggap tidak bermoral, sehingga banyak yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Sejarawan dari Universitas Stanford, Christopher Sommer mengungkap jejak sejarah poliandri dari struktur keluarga petani di Tiongkok pada masa Dinasti Qing.

Seorang petani bernama Zheng Guoshun hidup bersama istrinya, Jiang Shi, di Provinsi Fujian pada pertengahan 1700-an. Ketika Zheng tiba-tiba menjadi buta, sang istri meminta seorang pria muda bernama Jiang Yilang untuk hidup bersama pasangan tersebut dengan imbalan seks.

Selama hampir tiga dekade, hubungan di antara ketiganya berjalan baik-baik saja. Setelah Zheng meninggal dunia, Jiang Shi dan Jiang Yilang melanjutkan pernikahan mereka.

Meski banyak poliandri yang bertahan selama bertahun-tahun, tak sedikit pula yang berakhir tragis. Beberapa pasangan saling bunuh karena dibakar api cemburu.

Menurut Sommer, kebanyakan wanita melakukan poliandri pada masa itu karena alasan ekonomi dan melindungi keluarga.

Antara 1700 dan 1850, populasi Dinas Qing meningkat tiga kali lipat. Namun, lahan pertanian yang dibudidayakan hanya dua kali lipat. Akibatnya terjadi kelaparan massal dimana-mana.

Selain itu, pembunuhan terhadap bayi perempuan pada masa itu masih sering dilakukan. Hal ini menyebabkan jumlah pria lebih banyak dari kaum wanita.

Agar satu keluarga bisa bertahan hidup, mereka pun mencari suami kedua untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Dengan cara ini, kedua belah pihak mendapatkan untung.

Suami utama mendapatkan tambahan pendapatan, sementara suami kedua bisa mendapat keturunan yang akan merawatnya di hari tua.

Banyak dari hubungan ini diformalkan sesuai dengan kebiasaan pernikahan setempat. Kedua suami juga biasanya melakukan sumpah persaudaraan dalam melindungi keluarga mereka.

Kesimpulan ini dibuat Sommer setelah menganalisis lebih dari 1.200 kasus hukum dari arsip pengadilan lokal dan pusat di China.

“Poliandri sangat tersebar luas dan hampir pasti lebih umum daripada poligami atau pergundikan yang disahkan dan dipraktekkan oleh elit Qing,” kata Sommer, seperti dikutif dari HuffPost.

Kebiasaan elit Dinasti Qing untuk pergundikan bukanlah rahasia, tetapi cerita tentang poliandri tetap sulit diketahui karena sebagian besar petani buta huruf. Selain itu, poliandri juga tidak sesuai dengan aturan yang diterapkan Dinasti Qing yang mengutamakan kesucian perempuan.

“Seorang wanita diharapkan hanya memiliki satu suami seumur hidup, tetapi hanya sedikit orang biasa yang mampu menyesuaikan diri dengan visi kesucian absolutis ini,” kata Sommer.

“Faktanya adalah poliandri begitu luas, tidak mungkin untuk menegakkan hukum melawan mereka dengan cara sistematis,” kata Sommer.

Menurut Sommer, beberapa wanita sangat puas dengan kehidupan dua suami. Terlebih, wanita yang menentukan siapa yang berhak menjadi suaminya.

“Itu adalah cara bagi seorang wanita untuk merasionalisasi hubungannya dengan pria lain yang dia sukai,” katanya lagi.

Seorang profesor Universitas Kansas, Keith McMahon mengatakan, selama bertahun-tahun, para sarjana menganggap kasus-kasus ini sebagai analisis yang menyimpang dan tidak layak, sehingga penelitian Sommer tentang masalah ini menjadi terobosan baru.

sumber: pojoksatu

Halaman :

Berita Lainnya

Index