Pengungsi Palu Diteror Hantu Pokpok di Malam Hari

Pengungsi Palu Diteror Hantu Pokpok di Malam Hari

HARIANRIAU.CO - Pengungsi di Mamboro, Palu Utara, Sulteng, korban gempa magnitudo 7,4 dan tsunami yang masih tinggal di tenda pengungsian dikejutkan suara aneh dari dalam hutan.

Mereka mengaku mendengar suara-suara aneh dari arah hutan saat malam. Mereka menduga suara ini adalah hantu pokpok yang mereka percaya masih ada di pinggiran perkampungan.

"Suara ribut bersahutan terdengar hingga di tenda tempat saya mengungsi," kata Aan Irawan, warga Mamboro.

Dia yang meminta tolong kepada sia[pa saja untuk mengusir hantu pokpok, Rabu (24/10/2018).

Aan Irawan menyampaikan pengalaman yang dialaminya ini di media sosial Facebook dan langsung mendapat komentar dari banyak netizen.

"Anak-anak kecil tidak tenang dan terganggu tidurnya, mereka nakalimaya (menangis terus)," kata Aan Irawan seperti dikutip dalam group Facebook Info Kota Palu.

Irawan mengaku sudah berusaha untuk menangkal suara hantu pokpok ini dengan menggosokkan bawang merah di telapak kaki anak-anak, namun usahanya ini tidak berhasil.

Tenda-tenda pengungsi yang digunakan korban gempa tsunami dan likuifaksi Palu

Netizen pun menanggapi dengan beragam komentar, mulai dari yang menyarankan untuk membaca ayat suci, menaburkan garam, hingga mengusir dengan bambu kuning.

Sebagai informasi, pokpok merupakan hantu yang ditakuti warga Palu. Hantu ini dianggap bisa terbang dan suka memangsa bayi yang baru lahir atau orang yang sedang sakit.

Suara yang membuat ketakutan pengungsi di Mamboro ini hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi.

Bisa jadi suara tersebut merupakan suara hewan liar yang aktif pada malam hari (nokturnal).

Awas Hoaks

Saat cerita viral ini dikonfirmasi oleh Kompas.com ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, Kepala Seksi Pencegahan, Gayus Pakan mengatakan pihaknya belum pernah mendapat keluhan pengungsi terkait gangguan suara hantu.

Dia juga belum dapat memastikan apakah gangguan suara-suara tersebut berkaitan dengan upaya human trafficking atau bukan, atau sekadar gangguan keamanan.

Gayus juga menambahkan, pihaknya masih memperbolehkan warga tinggal di tenda pengungsian serta belum ada perintah bagi mereka untuk kembali tinggal di rumah.

Pasalnya, Kota Palu dan sekitarnya masih kerap diguncang gempa susulan, sehingga warga juga masih trauma dengan gempa susulan tersebut dan memilih tinggal di tenda pengungsian.

Ketika ditanya bagaimana keamanan para pengungsi di tenda-tenda, terutama menghadapi bahaya human trafficking, Gayus mengatakan pihaknya saat ini selalu waspada.

Dia juga meminta warga pengungsi untuk selalu waspada, tidak mudah terpengaruh bujuk rayu orang yang belum dikenal.

"Banyak hoaks di media sosial, ini juga harus diwaspadai," ujar Gayus.

Sebelumnya, pascagempa dan tsunami, warga Kota Palu, Sulawesi Tengah, dikejutkan dengan fenomena langka ketika kawanan rusa berkeliaran di Jalan Raya Kota.

Rusa tersebut berusaha kabur dan mondar-mandir di jalan raya lantaran takut dengan kendaraan yang melintas.

Sejumlah pengguna jalan memilih berhenti guna menyaksikan fenomena tersebut. Kawanan rusa berjumlah sebelas ekor tersebut mulai terlihat pada pukul 06.15 Wita, Selasa (9/10/2018) di Jalan Prosfesor Muhammad Yamin, Palu, Sulawesi Tengah.

Belum diketahui asal muasal kawanan rusa tersebut. Warga mengaku fenomena ini adalah hal yang baru terjadi.

"Baru pertama kali terjadi mana ada rusa masuk kota kayak begini," kata Rahma, pengguna jalan.

Akibat dari peristiwa ini, sejumlah pengguna lalu lintas memilih memarkir kendaraannya dan mengabadikan fenomena ini melalui kamera telepon seluler.

Kawanan rusa berkeliaran di Jalan Raya Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selasa, (9/10/2018).(KOMPAS.com / ABDUL HAQ)

Untuk mendapatkan penjelasan dari kejadian ini, Kompas.com menghubungi peneliti mamalia dan pengelolaan satwa liar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gono Semiadi, lewat sambungan telepon pada Selasa (9/10/2018).

Gono meyakini bahwa perilaku rusa-rusa turun dari hutan hingga masuk ke kota ini ada hubungannya dengan gempa Palu.

Dia menjelaskan bahwa sebagai satwa liar, rusa memiliki insting dan sensitivitas lebih terhadap gejala alam.

Bahkan, rusa-rusa ini mungkin sudah bisa mendeteksi getaran gempa pada skala richter yang tidak dirasakan oleh manusia.

Masuknya jumlah rusa ke kota ini juga dipengaruhi oleh jumlah anggota dalam kawanan rusa (apakah besar atau kecil), serta arah gempa dan posisi satwa.

"Ada penelitian, walaupun sangat-sangat sedikit, (yang menyebutkan bahwa) kalau gempanya tektonik atau bukan dari gunung meletus, itu ada kecenderungan rusa akan turun dari ketinggian. Kenapa? Karena kalau terlalu tinggi, bisa terjadi longsor," ujar Gono.

Dia melanjutkan, kemarin itu kan gempanya disusul terus dan berlanjut selama beberapa hari, mungkin bagi satwa, tempat tinggalnya yang tinggi itu secara insting sudah tidak aman sehingga dia turun.

Mengenai masuknya rusa hingga ke kota, Gono berkata bahwa itu mungkin karena rusa kebablasan.

Pada awalnya, rusa mungkin hanya turun sampai ke pedesaan. Namun, karena penduduk sudah melarikan diri, rusa pun terus turun ke tempat yang lebih aman sehingga sampai ke perkotaan dan dilihat banyak orang.

Gono pun meminta masyarakat agar membiarkan rusa-rusa itu berkeliaran di kota. Selain karena spesies ini merupakan satwa dilindungi, rusa juga akan secara alami akan menjauh dari manusia ketika getaran tidak lagi dirasakannya.

Namun, kapan rusa akan kembali ke hutan masih belum bisa diprediksi. Gono mengatakan, persoalannya, pada getaran berapakan satwa liar itu merasa masih harus menghindari tempat tinggalnya? Kita belum tahu itu.

"Tapi kita positif saja lah, bahwa rusa turun (hutan) itu juga untuk sama-sama cari selamat. Jadi, jangan terlalu dipakai sebagai indikator bahwa 'Selama rusa ada di dalam kota, berarti kemungkinan gempa besar juga masih ada'. Itu jangan demikian, karena para ahli gempa bumi pun bilang bahwa kita masih belum bisa memprediksi kapan gempa bumi itu terjadi," imbuhnya

Halaman :

Berita Lainnya

Index