Peduli Kaum Disabilitas

Starbucks Buka Kafe Pertama Berbahasa Isyarat

Starbucks Buka Kafe Pertama Berbahasa Isyarat

HARIANRIAU.CO - Rebecca Witzofsky, seorang mahasiswi tuna rungu di Universitas Gallaudet di Washington dan temannya, Nikolas Carapellati sedang ingin menyesap segelas kopi. Namun pada Selasa 23 Oktober, Witzofsky akhirnya tidak harus susah payah menyampaikan pesanannya.

Mahasiswi jurusan penerjemah bahasa isyarat, Nikolas Carapellatti (kiri) berbincang dengan mahasiswi tuna rungu Rebeca Witzofsky di luar kafe Starbucks yang pertama menyediakan layanan bahasa isyarat, di Washington DC, 23/10/2018. (AFP via VOA Indonesia)

Retail kopi terbesar Amerika Serikat, Starbucks, membuka kafe pertama di Amerika Serikat yang memiliki layanan pemesanan dengan menggunakan bahasa isyarat, seperti dilansir dari VOA Indonesia, Kamis (25/10/2018).

Kafe ini dibuka di timur laut Washington dekat dengan kampus Gallaudet, yang merupakan satu-satunya universitas di dunia yang semua kurikulumnya dikhususkan untuk penyandang tuna rungu dan orang-orang yang mengalami kesulitan pendengaran.

Pada toko tersebut, semua pegawainya, yang hampir seluruhnya tuna rungu atau kesulitan mendengar, berkomunikasi dengan pelanggannya menggunakan bahasa isyarat.

Kafe itu terinspirasi dari sebuah toko yang buka di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2016. Dari luar dan sepintas, kafe tampak seperti toko Starbucks di pinggir jalan di ibu kota Negeri Paman Sam pada umumnya.

Para pegawainya mengenakan baju hitam dan celemek hijau yang menunjukkan logo perusahaan berada di belakang meja kasir, untuk menyajikan minuman panas, minuman dingin dan kue kering yang diinginkan pelanggan.

Para pengunjung berbincang menggunakan bahasa isyarat di kafe Starbucks yang pertama mempekerjakan karyawan penyandang tuna rungu atau mengalami kesulitan pendengaran, di Washington DC, 23 Oktober 2018. (AFP via VOA Indonesia)

Meski padat pengunjung, terutama pada saat pembukaan, suasana di kafe baru Starbucks tersebut cukup tenang, mungkin karena sebagai percakapan dilakukan dalam keheningan. Bagi Witzofsky, kafe itu seperti pencerahan.

"Kafe tersebut memberi para penyandang tuna rungu, ruangan selain kampus. Tempat di mana kami dapat datang dan bersosialisasi, menyantap makanan dan bertemu dengan tuna rungu lainnya, dan juga pegawai yang penyandang tuna rungu," katanya.

"Saat saya mendatangi kafe Starbucks yang normal, Saya tidak bicara dan berharap mereka dapat mendengar saya dan mengerti, atau saya hanya menunjukkan pesanan saya lewat telepon genggam," jelasnya.

"Di sini, namamu terpampang pada layar, hal ini saya sangat suka karena saat mereka memanggil nama saya, saya tidak perlu berusaha mendengar mereka, nama saya terpampang jelas pada layar," ungkap Witzofsky girang.

Halaman :

Berita Lainnya

Index