Perebutan Ikan Disebut Bisa Memicu Perang di Masa Depan

Perebutan Ikan Disebut Bisa Memicu Perang di Masa Depan
Peledakan kapal pelaku illegal fishing. (Foto: Rudi Hartono/AFP)

HARIANRIAU.CO - Badan Pangan Dunia FAO menyebutkan satu dari lima ekor ikan yang dikonsumsi saat ini berasal dari kegiatan illegal fishing. Sementara negara-negara penghasil ikan mulai menggunakan kekuatan militernya untuk melindungi aset nasional tersebut.

Sama seperti cadangan minyak, stok ikan juga terkonsentrasi di wilayah tertentu saja. "Minyak merupakan sektor yang sangat dilanda konflik," ujar Johan Bergenas, analis kebijakan publik Washington DC.

Setidaknya 25 hingga 50 persen dari seluruh konflik di dunia, katanya, terkait dengan akses cadangan minyak tersebut. Bergenas mengidentifikasi kesamaan antara sumber daya minyak dan stok ikan.

"Pasokannya terkonsentrasi. Timur-Tengah memiliki hampir separuh pasokan minyak mentah dunia," kata Bergenas kepada ABC.

Sementara untuk stok ikan dunia, katanya, kawasan Pasifik tengah menguasai 60 persen cadangan tuna, komoditas yang kini sangat diincar. "Satu miliar manusia hari ini mengandalkan makanan laut sebagai sumber protein utama," ujarnya.

Dia menguraikan bahwa di masa lalu satu sumber konflik paling umum lebih pada akses ke sumber daya alam. "Kita telah berperang memperebutkan lahan pertanian, rempah-rempah, gula dan berbagai sumber daya alam lainnya. Jadi ikan, mengapa tidak?" kata Bergenas.

Menurut dia, penegakan hukum atas batas-batas wilayah perairan bukanlah perkara mudah bagi negara kecil. Namun bagi negara besar, hal itu tak begitu sulit dilakukan.

(Foto: Eric Kulin/Getty Images)

Bergenas menyebut China "menyempurnakan strategi" mereka dengan mengirim kapal penangkap ikan ke perairan yang dipersengketakan.

"Ketika negara lain menyerang kapal-kapal penangkap ikan ini, China lalu mengirim Pasukan Penjaga Pantai dan Angkatan Lautnya.

Negara besar seperti China, katanya, akan terus menggunakan kekuatan militer, diplomatik dan ekonominya untuk mendapatkan akses ke perairan yang penuh stok ikan.

Penegakan Hukum

Bergenas menjelaskan, saat ini ada 70 lebih perjanjian, hukum dan peraturan yang tentang lautan di  dunia. Jadi secara teori, tampaknya mudah mengatur negara-negara besar agar patuh pada hukum yang ada.

"Masalahnya bukan karena kurangnya aturan, melainkan bagaimana penegakan hukumnya," katanya.

Setiap negara, katanya, memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE) atau hak atas sumber daya alamnya di perairan laut mereka. Tetapi negara-negara kecil mengalami kesulitan logistik, misalnya peralatan untuk memantau wilayah ZEE tersebut.

"Sebuah radar dapat menjangkau sekitar 12 mil laut dari darat, kalau negara itu mampu mengelola radarnya," katanya.

Sementara kapal penangkap ikan mungkin berkecepatan 12-15 knot sehingga perlu beberapa hari untuk bisa menjelajahi ZEE mereka yang sudah didahului kapal-kapal illegal fishing.

(Foto: Getty Images)

Australian National Centre for Ocean Resources and Security menyebutkan, konsumsi ikan di negara-negara berkembang diperkirakan akan meningkat 21 persen pada 2022.

Secara global, sengketa sudah terjadi karena sumber daya ikan laut.

"Ada sengketa di Selat Inggris pada musim panas antara nelayan Prancis dan Inggris. Mereka saling menjegal untuk menangkap kerang di Selat Inggris," ujar Bergenas.

Sengketa ini dsebut sebagai "perang kerang", dan baru pada September lalu dicapai kesepakatan antara kedua pihak.

"Di Laut China Selatan, Indonesia telah meledakkan 300 kapal penangkap ikan dalam beberapa tahun terakhir," katanya.

Contoh lain pelibatan pihak militer, katanya, juga terjadi di perairan Afrika dan Amerika Selatan.

Halaman :

Berita Lainnya

Index