Kemerdekaan RI

Hidup Dalam Diskriminasi, Yendra Budiman Pertanyaan Kemerdekaan

Hidup Dalam Diskriminasi,  Yendra Budiman Pertanyaan Kemerdekaan

HARIANRIAU.CO - Sudah 71 tahun sudah Indonesia merdeka. Gegap gempita perayaan ulang tahun negara tercinta terasa di seluruh pelosok Nusantara.

Bagi mereka yang mengatasnamakan masyarakat lintas iman, suasana kemerdekaan masih bisa dirasakan meski mereka hidup dalam diskriminasi.

Di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-71 yang jatuh pada hari ini, Rabu (17/8/2016), masyarakat lintas iman yang terdiri dari Jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Sunda Wiwitan, Bahai, Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, Penghayat Dayak Losarang, berbaur jadi satu mengikuti upacara kemerdekaan di Kampus Mubarak, Parung, Kabupaten Bogor. Seperti dilansir dari kompas.

Kampus ini pernah diserang oleh kelompok intoleran beberapa waktu lalu. Meski menjadi kelompok yang terpinggirkan, rasa optimistis tetap ada bahwa masyarakat di luar sana bisa menerima kehadiran mereka.

HUT RI ke-71 ini pun sekaligus menjadi momentum dalam menciptakan kedamaian. Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sekaligus mewakili masyarakat lintas iman, Yendra Budiman, mengatakan, ada pesan yang ingin disampaikan di Hari Kemerdekaan bangsa ini.

Mereka merindukan rasa keadilan, kenyamanan, dan tidak ada lagi diskriminasi. Ia meyakini, bahwa keberagamaan itu adalah sebuah keniscayaan yang diberikan Tuhan sebagai rahmat untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan.

"Merdeka itu harus nyata, terlihat, dan terasa. Karena kami yang ada di sini, pada umumnya belum menikmati kemeredekaan sepenuhnya. Masih ada kelompok tertentu yang masih dalam pengusiran, mengalami tekanan dalam pelaksaaan ibadah dan keyakinannya. Masyarakat-masyarakat adat juga masih ada yang mengalami hal serupa," ungkap Yendra.

Yendra pun menceritakan kesedihannya tentang kehidupan pemeluk Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan. Oleh pemerintah setempat, para anggota jamaah Ahmadiyah tidak diperkenankan memiliki kartu tanda penduduk (KTP).

Mereka pun dilarang memiliki buku nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. "Kami masih mengalami kondisi seperti itu. Bahkan, selama 10 tahun jamaah Ahmadiyah di Lombok masih hidup dalam pengungsian. Mereka terusir tidak bisa kembali ke rumahnya," kata Yendra.

Naskim Dayak, salah satu penghayat kepercayaan Dayak Losarang pun ikut menceritakan soal diskriminasi yang dialaminnya. Walau memiliki kepercayaan berbeda, Naskim pun berharap tidak ada lagi upaya diskriminasi yang terjadi.

"Meski saya berbeda, saya tetap Indonesia. Saya masih menginginkan tidak adanya diskriminasi bagi penganut agama kepercayaan ataupun di kelompok kaum adat," tutur Naskim.

Halaman :

Berita Lainnya

Index