Kenken, Burung Seharga Lebih Mahal dari Mobil

Kenken, Burung Seharga Lebih Mahal dari Mobil
Ketua Komunitas Jogja Parrotdiningrat, Ricky Wibowo, bersama dua burung macaw piaraannya, di Alun-alun Utara Yogyakarta, Senin, 21 Oktober 2019. Harga

HARIANRIAU.CO - Belasan ekor burung beraneka warna, di antaranya bernama Kenken seharga lebih mahal dari mobil Avanza, terbang menuju langit biru di atas Alun-alun Utara Yogyakarta. Sebagian berputar-putar di atas area tertentu. Sebagian lainnya terbang menuju selatan dan kembali ke titik awal.

Burung-burung itu merupakan burung berparuh bengkok atau parrot, mulai dari kakatua jambul kuning hingga burung nuri dan macaw impor. Kenken jenis camelot macaw.

Sore itu, Senin, 21 Oktober, burung-burung tersebut dibiarkan terbang bebas oleh para pemiliknya.

Kenken (tengah) burung jenis camelot macaw seharga Rp 250 juta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Saat mereka terbang, masing-masing pemilik burung-burung itu, yang tergabung dalam Jogja Parrotdiningrat, berteriak memberi kode dan aba-aba, agar burung itu berputar atau kembali pada pemiliknya.

Para pemilik burung itu mengenakan pakaian berwarna cerah, ada yang biru muda, merah, dan kuning. Mereka sesekali meniup peluit, atau memanggil nama burung masing-masing.

Di kejauhan, di sebelah selatan, gerbang Keraton Yogyakarta seolah menjadi pembatas untuk burung-burung itu. Mereka tidak pernah terbang melewati batas gerbang.

Matahari yang seharian menyinari tempat itu, mulai bergerak ke barat, menuju peraduannya. Meski cahayanya masih enggan digantikan gelapnya malam.

Yang di tengah itu harganya Rp 250 juta.

Angin yang kadang bertiup cukup kencang, sesekali membuat burung-burung yang sedang melayang, terbawa ke barat, dan kembali ke jalurnya setelah mengepakkan sayap.

Tak jarang angin juga menggoda debu yang ada di tengah alun-alun. Membuat debu-debu itu seperti genit mengikuti arah sang angin berembus.

Puluhan sepeda motor terparkir di pinggur jalan, di sekeliling alun-alun. Sebagian pemiliknya memilih untuk tetap duduk di sadel, sambil memperhatikan para pemilik burung melatih hewan peliharaannya.

Tiba-tiba seekor burung macaw menukik, saat namanya dipanggil seorang pemuda berjaket biru. Kepakan sayapnya cukup mampu menimbulkan angin, dan mengibaskan rambut seorang perempuan di dekatnya.

Tapi perempuan itu tetap dengan aktivitasnya. Dia memberi minum pada burung miliknya yang berwarna biru tua.

Pemuda berjaket biru itu Ricky Wibowo, Ketua Jogja Parrotdiningrat. Ia memberi makan pada kedua burungnya, yang beberapa saat sebelumnya terbang berputar-putar.

Kayak anjing sih, dia mengerti namanya.

Ricky Wibowo mengatakan sebagian besar burung-burung itu dilatih sejak mereka masih bayi, hingga mereka bisa terbang. Cara melatihnya bertahap. Mulai dari latihan berjalan menuju pemiliknya, hingga terbang bebas atau free fly di ruang terbuka dan kembali pada pemiliknya.

"Untuk melatih supaya burung bisa free fly, itu mulai dari baby, dimulai dari WTM atau walk to me (berjalan padaku), itu jalan dulu. Nanti kalau sudah ngepakin sayap, dia akan belajar FTM atau fly to me (terbanglah padaku). Setelah itu, baru bisa dilempar (diterbangkan di ruang terbuka)," tutur Ricky sembari memberi makan pada dua ekor burung.

Proses melatih burung itu hingga mampu dilepas, kata Ricky, membutuhkan waktu beragam. Waktu tercepat yang dibutuhkan untuk melatih adalah satu bulan. Sedangkan waktu terlama tergantung pada si burung.

"Paling cepat sebulan, paling lama tergantung karakter burungnya, karena kita main makhluk hidup ya. Kita aja biasa adik-kakak, sifat dan kemampuannya beda," katanya.

Menurut Ricky, melatih burung berparuh bengkok tidak terlalu rumit. Yang terpenting kata dia adalah ketekunan dalam melatih.

Mengenai usia burung yang paling gampang dilatih, Ricky menyebut, jika dilatih sejak masih bayi, akan lebih gampang. Tapi jika burung yang akan dilatih sudah berusia 1,5 tahun ke atas, membutuhkan ketelatenan lebih tinggi, dan waktu lebih lama.

"Kalau sudah umur 1,5 tahun ke atas, sudah mulai agak sedikit bandel, tapi prinsipnya bisa. Cuma prosesnya jadi agak lama, karena kita harus menjinakkan dulu," tuturnya.

Ricky bercerita, pemberian nama pada burung dan seringnya memanggil nama mereka, akan berpengaruh pada saat burung-burung itu dibiarkan terbang. Karena mereka tidak seperti burung merpati yang bisa pulang ke rumahnya, atau burung predator seperti elang.

Burung-burung berparuh bengkok, kata Ricky, mengetahui namanya masing-masing. Mereka seperti anjing yang akan datang jika sang pemilik memanggil nama mereka.

"Dia kalau dipanggil namanya dia tahu, misalnya GTG, Kenken, kayak anjing sih dia, mengerti namanya," tutur Ricky.

Itulah sebabnya, para pemilik burung kerap kali terdengar memanggil nama burung mereka, agar mereka kembali.

Selain mengenali namanya masing-masing, burung-burung tersebut juga mengenali pemiliknya dari warna pakaian yang dikenakan. Itu berbeda dengan burung elang yang bisa melihat targetnya dari kejauhan.

"Dia ngelihat warna dulu. Setelah warna, nanti jarak sekian meter baru dia ngelihat muka. Muka owner-nya masing-masing," ujar Ricky.

Saat burung-burung berparuh bengkok itu terbang terlalu jauh, biasanya sang pemilik akan meniup peluit agar mereka kembali. Sebab saat mereka terbang terlalu jauh, burung-burung itu tidak akan mendengar teriakan tuannya.

Saat ditanya kemungkinan burungnya terbang jauh dan tidak kembali, Ricky yakin burung-burungnya akan kembali saat dipanggil, meski tetap ada kekhawatiran mereka tidak kembali.

"Khawatir sih, Mas, karena burungnya kan enggak pakai remote, khawatir itu pasti. Antisipasinya cuma percaya sama Tuhan, Mas. Yakin sih, karena dia makhluk hidup, dia punya perasaan, kita makhluk hidup dan punya perasaan juga. Insya Allah kalau dirawat dengan baik, Insya Allah dia akan balik. Prinsipnya gitu sih," tutur Ricky.

Ricky belajar melatih burung melalui YouTube dan beberapa media lain. Ia juga belajar pada orang Indonesia yang pertama kali melatih burung-burung berparuh bengkok. Orang Indonesia yang ia maksud itu berasal dari Bandung. Sayang ia lupa namanya.

Komunitas Jogja Parrotdiningrat beranggotakan 80 orang, terbentuk sejak 2017. Selama dua tahun, setiap hari anggota komunitas melatih burung-burung mereka. Lokasinya berpindah-pindah, mulai dari alun-alun hingga ke Imogiri, Bantul. Tapi dari 80-an anggota komunitas, tidak semuanya melatih setiap hari.

Selain melatih burung-burung tersebut, komunitas ini juga sering memberi edukasi pada siswa TK atau SD, tentang burung berparuh bengkok.

Materi edukasi biasanya tentang perbedaan burung berparuh bengkok dan berparuh lurus, kemudian tentang jenis-jenis burung berparuh bengkok, serta jenis-jenis burung yang dilindungi.

"Kami juga sampaikan kalau ada jenis burung yang tidak umum ditemukan di ruang publik, pohon, dan lain-lain, jangan ditembak atau disakiti. Karena itu pasti burung jinak. Ada pasalnya itu," ujar Ricky.

Biasanya, kata Ricky, pihak sekolah menghubungi komunitas Jogja Parrotdiningrat melalui akun media sosial mereka, yakni Facebook dan Instagram.

Secara khusus Ricky menceritakan tentang burung macaw yang kecerdasannya setara anak usia lima tahun. Itulah sebabnya burung macaw lebih mudah dilatih dibanding jenis burung lain.

Tapi bukan berarti burung lain tidak bisa dilatih. Kata dia, pada dasarnya semua burung bisa dilatih.

Selain kecerdasannya yang setara anak usia lima tahun, burung macaw juga memiliki bulu dengan warna yang cantik. Harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Termasuk salah satu burung milik Ricky yang harganya Rp 250 juta. Dengan uang ini ke dealer mobil, bisa dapat Avanza keluaran terbaru, masih ada kembaliannya pula.

"Yang di tengah itu harganya Rp 250 juta," Ricky menunjuk burung jenis camelot macaw yang ia beri nama Kenken.

Kenken berusia 3 tahun, burung yang harganya lebih mahal dari satu unit mobil Avanza ini berwarna oranye pada bagian depan tubuhnya, sementara sayapnya berwarna biru dengan paduan hijau. Saat terbang, ekornya menjuntai seperti rambut ikal seorang gadis yang tertiup angin.

Sumber: Tagar.id//gil

Halaman :

Berita Lainnya

Index