Kasus Pertama Melibatkan Pemuka Agama

Anggota Majelis Ulama di Aceh Dihukum Cambuk Karena 'Berduaan Dengan Istri Orang Lain'

Anggota Majelis Ulama di Aceh Dihukum Cambuk Karena 'Berduaan Dengan Istri Orang Lain'
Seorang anggota Majelis Permusyawaratan Ulama di Aceh Besar dihukum cambuk atas dakwaan berduaan dengan perempuan, meski telah beristeri. HIDAYATULLAH

HARIANRIAU.CO - Untuk pertama kalinya sejak pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh pada tahun 2005, seorang pemuka agama menjadi terpidana.

Mukhlis bin Muhammad, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Besar, dicambuk 28 kali di Taman Bustanussalatin, Banda Aceh, Kamis (31/10).

Mukhlis dinyatakan melanggar ketentuan ikhtilat alias berduaan dengan seseorang yang bukan muhrim.

Mukhlis menolak memberikan pernyataan apapun kepada pers, terkait tudingan maupun kasus yang menjeratnya.

Aparat setempat menyebut memergokinya tengah bersama seorang perempuan, walau ia telah beristeri.

Selain berstatus anggota MPU, pria berusia 46 tahun itu juga berstatus imam di sebuah masjid di dalam kawasan Aceh Besar.

Saat ditangkap personel Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (pengawas pelaksanaan syariat Islam Aceh), 9 September lalu, Mukhlis disebut bersama seorang perempuan berinisial N (33).

Dalam pelaksanaan hukuman di Banda Aceh, pada Kamis (31/10), N dicambuk sebanyak 23 kali.

"M dan N diamankan di dalam mobil yang saat itu terparkir disekitar pantai wisata Ulee Lheu. Saat ditangkap mereka berdua berada di kursi mobil bagian tengah.

"Kami juga menyita barang bukti berupa selendang," kata Kasatpol PP dan WH Banda Aceh, Muhammad Hidayat.

Wakil Bupati Aceh Besar, Husaini, mengkonfirmasi status Mukhlis sebagai anggota MPU sekaligus imam masjid.

Husaini mengatakan pemerintah setempat akan mengeluarkan Mukhlis dari kepengurusan MPU. Alasannya, kata dia, Mukhlis merusak citra ulama.

"Ini hukum Allah, siapapun wajib dicambuk jika terbukti melakukan kesalahan sekalipun dia sebagai anggota MPU," kata Husaini kepada wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Hidayatullah.

Qanun belum jerat pejabat

Eksekusi hukuman cambuk terus dilakukan di Aceh. Namun sebagian warga mendesak qanun tak cuma mengurus perkara yang bersifat personal, tapi juga kasus yang merugikan publik, salah satunya korupsi.

Namun hingga saat ini, pemerintah Aceh menyebut qanun belum mengatur soal korupsi.

Syariat Islam di Aceh berlaku setelah perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah di Helsinki, Finlandia, tahun 2005.

Wakil Bupati Aceh Besar, Husaini, mengakui bahwa qanun belum menjangkau seluruh kasus hukum.

"Syariat Islam di daerah kami belum berjalan secara menyeluruh. Contohnya, belum ada hukuman potong tangan untuk koruptor atau pencuri, belum ada hukuman pancung, dan masih banyak lainnya yang belum ada," ujarnya.

Pengamat hukum Islam dari UIN Ar Raniry, Irwan Abady, menilai hukuman cambuk untuk anggota Majelis Permusyawaratan Ulama bukan cerminan penegakan hukum 'tajam ke atas'.

Dasar argumentasi Irwan, anggota majelis ulama bukan pengambil kebijakan.

"Kalau yang dicambuk politikus dan dia ulama besar seperti wakil bupati, itu baru menggambarkan pemerataan hukum syariat," ujarnya Irwan.

"Hukuman cambuk anggota MPU ini hanya berpengaruh pada nama baik institusi tersebut," kata dia.

Eksekusi cambuk di Banda Aceh, Kamis (31/10) ini, adalah yang kedua yang tidak dilaksanakan di pekarangan masjid.

Selain Mukhlis, dan N, dan seorang perempuan berusia 18 tahun berinisial R juga dicambuk tujuh kali.

R dihukum karena dipergoki berduaan dengan laki-laki yang tidak berstatus suaminya. Adapun laki-laki itu tak dieksekusi karena tergolong anak di bawah umur.


sumber: bbc.com | ragil

Halaman :

Berita Lainnya

Index