Kisah Wanita Pakistan Diperdagangkan ke Tiongkok Sebagai Pengantin

Kisah Wanita Pakistan Diperdagangkan ke Tiongkok Sebagai Pengantin
Wanita Kristen Pakistan, Samiya David, menunjukkan fotonya dengan suami Tionghoanya di Gujranwala, Pakistan. Dia meninggal lima minggu kemudian. Masih

HARIANRIAU.CO - Setelah dijual oleh keluarganya sebagai pengantin untuk pria Tiongkok, Samiya David hanya menghabiskan waktu dua bulan di Tiongkok. Ketika dia pulang ke Pakistan, wanita yang dulunya kuat hampir tak bisa dikenali lagi. Ia mengalami malnutrisi, terlalu lemah untuk berjalan, dia menjadi linglung dan tak nyambung saat diajak berbicara.

“Jangan bertanya padaku tentang apa yang terjadi padaku di sana” itu adalah satu-satunya jawaban untuk pertanyaan kepada keluarganya, sebagaimana diungkapkan sepupunya Pervaiz Masih kepada The Associated Press. Hanya dalam beberapa minggu kemudian, ajal menjemput Samiya David.

Berikut liputan Associated Press selengkapnya :

Kematian Samiya David yang misterius menambah daftar panjang semakin banyak bukti penganiayaan dan penindasan terhadap wanita dan gadis Pakistan, terutama minoritas Kristen, yang diperdagangkan ke Tiongkok sebagai pengantin wanita.

Investigasi Associated Press telah menemukan perdagangan manusia semakin menargetkan populasi Kristen Pakistan yang rentan karena kemiskinannya selama dua tahun terakhir.

Pedagang itu membayar kepada keluarga-keluarga yang tak memiliki harapan, agar memberikan anak perempuan atau saudara perempuan mereka, beberapa di antaranya masih remaja. Tak lain, demi perkawinan dengan pria-pria Tiongkok.

Begitu tiba di daratan Tiongkok, para wanita tersebut sering terisolasi, diabaikan, dilecehkan dan dijual ke prostitusi. Mereka sering menghubungi keluarganya di Pakistan untuk memohon agar dibawa pulang. Lebih miris lagi, beberapa wanita kepada The Associated Press dan aktivis mengatakan, bahwa suami mereka kadang-kadang menolak memberikan kepada mereka makanan.

Daftar panjang yang diperoleh oleh Associated Press, berhasil mendokumentasikan sebanyak 629 anak gadis dan perempuan Pakistan yang dijual ke Tiongkok sebagai pengantin pada tahun 2018 dan hingga awal tahun 2019.

Daftar ini disusun oleh para penyelidik Pakistan yang bekerja untuk membongkar jaringan perdagangan manusia. Akan tetapi para pejabat yang akrab dengan penyelidikan dan para aktivis yang bekerja untuk menyelamatkan para wanita itu berkata lain.
 
Mereka mengatakan, bahwa para pejabat pemerintah, takut akan merusak hubungan Pakistan dengan Beijing hingga menghentikan penyelidikan tersebut.

“Orang-orang miskin ini telah memberi anak perempuan untuk uang, dan mereka yang di Tiongkok melakukan apa pun yang mereka inginkan. Tidak ada yang bisa melihat apa yang terjadi kepada gadis-gadis itu,” kata sepupu Samiya, Pervaiz Masih.

“Ini adalah puncak kekejaman. Kami adalah orang miskin,” tambahnya.

Kematian David, pada usia 37 tahun, menunjukkan kejadian ekstrem dari kekejaman yang dihadapi para wanita yang diperdagangkan. Wanita lainnya menggambarkan bahwa mereka diputus tanpa sokongan, disiksa secara fisik dan mental.

Sebelumnya, Associated Press telah berbicara kepada tujuh gadis yang diperkosa berulang kali ketika dipaksa terlibat dalam praktek prostitusi. Aktivis itu mengatakan, mereka telah menerima laporan setidaknya seorang pengantin wanita yang diperdagangkan meninggal dunia di Tiongkok, tetapi tidak dapat mengkonfirmasi.

Samiya David kini terkubur tanpa nisan di pemakaman Kristen yang ditumbuhi rumput liar di dekat desa leluhurnya, Mazaikewale, di provinsi Punjab Timur, Pakistan.

Sebelum menikah, dia tinggal di sebuah rumah dengan dua kamar yang sempit bersama saudara laki-lakinya, Sabre, dan ibunya yang menjanda di Koloni Francisabad. Sebuah kawasan minoritas Kristen yang padat dengan rumah-rumah semen dan batu bata di tengah jalan-jalan sempit di kota Gujranwala, Punjab. Orang-orang Kristen termasuk di antara yang termiskin di Pakistan, sebuah negara mayoritas Muslim yang berpenduduk 220 juta jiwa.

Ketika itu, atas desakan seorang pendeta setempat, saudara lelakinya mengambil uang dari calo untuk memaksanya menikah dengan seorang pria Tionghoa.

Pendeta tersebut telah ditangkap, karena dicurigai bekerjasama dengan pelaku perdagangan manusia. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka pada akhir 2018, David dan suaminya pergi ke Tiongkok.

“Ketika dia pergi ke Tiongkok dia masih sehat. Dia terlihat baik-baik saja dan kuat,” kata Masih.

Suaminya berasal dari daerah pedesaan yang relatif miskin di Provinsi Shandong timur, yang telah lama berjuang melawan pelanggaran hukum. Budaya di daerah-daerah seperti itu sangat mendukung keturunan laki-laki, yang mana di bawah kebijakan pengendalian penduduk yang ketat bagi Komunis Tiongkok. Berarti, banyak perempuan tak pernah ingin dilahirkan, karenanya ada permintaan untuk istri warga asing untuk diperdagangkan.

Secara keseluruhan, Tiongkok memiliki sekitar 34 juta lebih banyak pria daripada wanita.

Setelah dua bulan berlalu, saudara laki-lakinya menerima telepon yang memberitahukan kepadanya untuk menjemput adiknya di bandara di Lahore. Dia menemukan David di kursi roda, terlalu lemah untuk berjalan.

Associated Press telah bertemu David pada akhir April lalu. Ia kembali ke rumahnya di Koloni Francisabad. Dia menunjukkan foto pernikahannya yang diambil enam bulan sebelumnya. Dalam sebuah foto, dia mengenakan gaun putih, tersenyum, tampak kuat, dengan rambut hitam terurai panjang.

Kini, David nyaris tidak menyerupai wanita seperti di dalam foto itu. Pipinya cekung, kulitnya pucat pasi, tubuh mungilnya kurus dan rapuh. Dia tampak linglung dan bicaranya tak jelas.

Ketika ditanya tentang pernikahan atau waktunya di Tiongkok, dia kehilangan fokus — kata-katanya liar — dan pada satu titik, tiba-tiba ia berdiri untuk membuat teh dan bergumam tentang gula.

Dia mondar-mandir, sambil mengulangi, “Aku baik-baik saja. Saya baik-baik saja. “

Ketika ditanya mengapa dia tampak berbeda di foto pernikahan, dia menatap kosong ke angkasa, akhirnya ia berkata,” Tidak ada yang salah dengan saya. ” “Dia memiliki tatapan jahat,” kata saudara lelakinya, yang hadir saat wawancara.

Dia meninggal dunia beberapa hari kemudian, pada tanggal 1 Mei.

Doktor Meet Khan Tareen yang pernah memeriksa Samiya pada satu kali kunjungannya ke kliniknya di Lahore mengungkapkan, yang terjadi dengan Samiya. “Dia sangat kekurangan gizi dan sangat lemah,” dengan anemia dan penyakit kuning, kata dokter itu dalam sebuah wawancara.

Tes medik awal melaporkan beberapa penyakit yang mungkin terjadi, termasuk kegagalan organ. Dokter itu mengatakan kepada saudaranya, bahwa Samiya perlu dirawat di rumah sakit.

“Dia sangat kekurangan gizi, beratnya sangat rendah,” kata dokter itu.

Sertifikat kematiannya mencantumkan penyebab kematian samiya sebagai “alami.”

Saudaranya menolak berbicara dengan polisi tentang saudara perempuannya. Ketika dihubungi oleh Associated Press pada bulan November lalu, dia mengatakan tidak ada otopsi dan dia telah kehilangan dokumen pernikahannya, salinan paspor suaminya dan foto-foto yang ditunjukkan oleh David kepada Associated Press.

Sepupu David berkata, bahwa keluarga itu menyembunyikan kebenarannya karena mereka telah menjualnya sebagai pengantin.

“Mereka telah mengambil uang. Itulah sebabnya mereka menyembunyikan segalanya,” kata Masih, yang juga sebagai anggota Dewan Persatuan kota, yang mencatat pernikahan dan kematian.

Memecah keheningan dari keluarga itu sangat sulit, seperti diungkapkan seorang pejabat senior pemerintahan yang akrab dengan investigasi perdagangan pengantin wanita.

“Mereka mungkin menjual anak perempuan mereka, bahkan jika mereka menemukan bahwa pernikahan itu buruk atau dia menderita, mereka lebih suka mengabaikannya daripada kehilangan muka di depan teman dan keluarga mereka,” kata pejabat itu dengan syarat anonim, karena ia tidak berwenang untuk berbicara kepada media.

Jaringan perdagangan manusia dioperasikan oleh pialang Pakistan dan Tiongkok yang menjelajahi daerah-daerah Kristen. Di kawasan itulah yang mana orang-orang bersedia menjual anak perempuan dan saudara perempuan. Mereka diketahui membayar para pendeta, khususnya di gereja-gereja kecil dan injili, untuk mendorong jamaahnya melakukannya.

Aktivis Kristen Salim Iqbal, yang berada di antara yang pertama menyampaikan peringatan pada November lalu, tentang perdagangan pengantin wanita, menghubungi sejumlah wanita Pakistan di Tiongkok melalui kelompok-kelompok di aplikasi pesan Wechat.

Dia mengatakan, seorang gadis baru-baru ini memberitahukan kepadanya bahwa suaminya tidak memberikan dirinya makanan atau obat-obatan.

Wanita lainnya, Samia Yousaf, yang berusia 24 ketika dia dipaksa menikah, mengatakannya kepada Associated Press tentang pelanggaran yang dideritanya di Tiongkok.

Dia dan suaminya pergi ke sana setelah dia hamil. Ketika dia tiba, tidak ada seperti yang diiming-imingkan suaminya. Dia tidak kaya. Mereka tinggal di satu ruangan di tepi ladang dan penuh dengan laba-laba.

 Dia melahirkan melalui operasi caesar. Kakak suaminya menolak untuk membiarkan dirinya menggendong putranya setelah kelahirannya. Ia mengontrol kapan dan berapa lama dia bisa melihat anak itu selama enam hari di rumah sakit.

“Saya mulai berteriak padanya ketika dia mengambil bayi saya,” kenang Yousaf. Suaminya menolak untuk membiarkannya dirinya menyusui putranya hingga dokter memintanya untuk mengizinkannya.

 Ia tak dapat berjalan tanpa bantuan, dokter kemudian meminta suaminya untuk membawanya jalan-jalan dan dia berulang kali membiarkannya jatuh serta menolak untuk membantunya kembali.

Setelah dia meninggalkan rumah sakit, pelanggaran terus berlanjut. Suaminya menolak memberikan kepada makanan. “Dia kejam. Saya pikir dia ingin membunuh saya,” kata Samia Yousaf.

Tiga minggu kemudian, pihak berwenang mengancamnya dengan penjara karena visanya telah habis.

Suaminya itu telah menyimpan paspornya. Karena ketakutan dan tidak sehat, dia memohon agar dia dan putranya pulang kembali ke Pakistan. Akan tetapi, suaminya itu menolak untuk membiarkannya membawa bayi itu.

Dia menemukan namanya tidak ada dalam pendaftaran kelahiran putranya, hanya dengan nama suaminya.

Terakhir kali, dia melihat putranya pada bulan September 2017, tepat sebelum dia kembali ke Pakistan. “Setiap hari aku selalu memikirkan bayiku, aku ingin mengetahui seperti apa wajahnya. Hatiku selalu sedih,” kata Yousaf yang kini bekerja sebagai pengasuh di Lahore.

Video Rekomendasi : 

Sumber: erabaru.net

Halaman :

Berita Lainnya

Index