Setelah 1.000 Tahun Keju Jepang Kembali Lagi, Dipicu Covid-19

Setelah 1.000 Tahun Keju Jepang Kembali Lagi, Dipicu Covid-19
Su atau so sejenis keju Jepang dari abad pertengahan, dioleskan di atas biskuit. Makiko Itoh/Atlas Obscura

HARIANRIAU.CO -  Virus corona yang mewabah di Jepang, mendorong Perdana Menteri Shinzo Abe, pada Jumat, 27 Februari 2020, memerintahkan penutupan semua sekolah hingga awal April, untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Pada pekan berikutnya, sebagian besar sekolah di seluruh negeri tutup.

Terhentikah persoalan? Tentu tidak. Menukil Atlas Obscura, masalah muncul bagi para peternak sapi perah. Pasalnya, pembeli terbesar produk pertanian dan peternakan Jepang adalah program makan siang sekolah, yang memberi makan siswa sekolah dasar dan menengah di seluruh negeri.

Sekitar 10 persen dari semua produksi pangan domestik digunakan untuk makan siang di sekolah, yang biasanya menekankan produk lokal atau domestik. Jepang memiliki program memperkenalkan makanan berbahan lokal dan mengedukasi para pelajar mengenai hidangan tradisional dari berbagai kota di Jepang.

Jadi, ketika sekolah libur, peternakan sapi perah khususnya merasakan pukulan paling awal. Beberapa meminta masyarakat untuk membeli lebih banyak susu, baik untuk menghindari masalah keuangan, juga membantu sapi agar tetap diperah tiap hari – agar mereka tak menderita.

Orang-orang dengan cepat melompat untuk membantu. Tapi kemudian muncul pertanyaan: apa yang harus dilakukan dengan produksi susu yang berlebih itu? Keluarga dapat memberikan susu kepada anak-anak mereka dengan makan siang di rumah, tetapi orang dewasa di Jepang tidak minum banyak susu, meskipun mereka mengonsumsi produk susu lainnya, seperti yogurt dan keju. 

Su (So) dalam bahasa Jepang merujuk kepada semacam "keju" kuno. Tidak pasti dari mana tren keju kuno atau Su itu dimulai. Namun, kuliner itu dibuat saat susu berlebih, dan mulailah sejarah terulang pada Maret 2020.

Su adalah produk susu Jepang dari periode Nara (710–794) dan Heian (794–1185), ketika pengaruh dari Cina dan Korea berada pada tingkat yang paling kuat. Para bangsawan tuan tanah pada saat itu dengan penuh semangat menyerap budaya dan teknologi dari daratan Cina, termasuk konsumsi produk susu dan peternakan sapi perah, yang tidak ada di Jepang pada saat itu.

Dokumen era Heian mencantumkan beberapa produk susu. Merujuk buku Milk and the Japanese, yang ditulis Yutaka Yoshida, produk olahan susu selain su termasuk raku – seperti mentega atau sejenis susu kental, dan daigo -- yang mungkin merupakan keju atau sejenis ghee.

Namun, tidak ada catatan yang tersisa tentang bagaimana produk susu dibuat, kecuali su. The Engishiki, sebuah buku hukum dan kebiasaan yang sebagian besar ditulis pada tahun 927, mencatat bahwa hal itu dibuat dengan memasak susu hingga sepersepuluh dari volumenya. Hasil olahan susu itu, cukup pantas untuk dipersembahkan kepada kaisar.

Pada tahun 1185, setelah perang yang panjang dan berdarah untuk menguasai tanah, panglima perang Minamoto no Yoritomo mendirikan Keshogunan Kamakura. Ia memulai era samurai, yang berlangsung hingga 1868.

Sejarah mencatat, para Samurai tidak tertarik pada peternakan sapi atau susu — mereka jauh lebih tertarik membiakkan banyak kuda untuk digunakan dalam pertempuran. Peternakan sapi perah di Jepang hampir menghilang, sampai dimulainya era modern pada periode Meiji (1868-1912).

Kini su atau so bermunculan. Warga Jepang mulai mengunggah resep dan gambar su di Instagram dan Twitter, membahas cara memasaknya dan menceritakan kembali bagaimana rasanya. Akhirnya, masakan bangsawan abad pertengahan itu, gegara wabah virus corona bisa dinikmati warga Jepang pada umumnya.

Sumber: tempo.co

Halaman :

Berita Lainnya

Index