Sri Mulyani: Kalau Cuma Pemerintah yang Belanja, Berat

Sri Mulyani: Kalau Cuma Pemerintah yang Belanja, Berat
Sri Mulyani

HARIANRIAU.CO - Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari betapa beratnya mengejar pertumbuhan ekonomi yang positif apabila pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 hanya berasal dari belanja pemerintah saja.

Hal itu disampaikan Sri Mulyani dengan melihat realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 yang mengalami minus 5,32% dengan kontraksi dari konsumsi di atas 5%, dan kontraksi investasi yang hampir mendekati 8%.

"Kita masih terus melakukan [pemulihan ekonomi], kan masih ada 1,5 bulan untuk kuartal III-2020. Tapi memang, kalau tanpa recovery dari sisi konsumsi dan investasi, kalau hanya government saja agak berat juga untuk bisa memulihkan seluruhnya," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Senin (24/8/2020).

"Jadi dalam hal ini, semua mesin pertumbuhan juga harus pulih, nggak cuma dari pemerintah saja. Makanya kita coba dari konsumsi dan investasi bisa pulih lagi," katanya.

Dia juga sempat mengatakan, perbaikan aktivitas ekonomi, khususnya di kuartal III-2020 bisa terwujud melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Seluruh stimulus yang ada di dalam program ini, memiliki tujuan agar masyarakat bisa terbantu dan aktivitas ekonomi bisa perlahan pulih.

Sayangnya, penyerapan stimulus PEN sampai 19 Agustus 2020 baru mencapai Rp 174,79 triliun atau baru terealisasi 25,1% dari alokasi penanganan covid-19 dan program PEN yang mencapai Rp 695,2 triliun.

"Realisasi Rp174,79 triliun atau 25,1% dari Pagu," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (24/8/2020).

Sri Mulyani merinci dari pagu anggaran penanganan Covid-19 dan PEN yang mencapai Rp 695,2 triliun. Terdiri dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Rp387,91 Triliun, tanpa DIPA Rp155,96 triliun dan belum DIPA Rp151,36 triliun.

Sebagai catatan, BPS mencatat, kontraksi terdalam berasal dari komponen konsumsi rumah tangga, yang menjadi penopang PDB RI paling tinggi dan mendominasi.

Secara tahunan (year on year/yoy) konsumsi rumah tangga terkontraksi hingga -5,51%. Hanya ada 2 komponen yang masih mencatatkan pertumbuhan positif, yakni perumahan dan perlengkapan rumah tangga 2,36%; serta kesehatan dan pendidikan 2,02%.

Kontraksi yang terdalam adalah di sektor restoran dan hotel sebesar -16,53%; diikuti transportasi dan komunikasi -15,33%; pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya -5,13%; dan lainnya -3,23%.

Investasi/Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang menjadi penopang PDB kedua terbesar, juga terkontraksi atau minus 8,61%. Semua komponen terkontraksi, dengan yang terdalam di sektor kendaraan -34,12%; peralatan lainnya -26,09%; CBR -14,89%; mesin dan perlengkapannya -12,87%; dan produk kekayaan intelektual -11,46%.

Sementara itu, konsumsi pemerintah terkontraksi 6,90%. Kontraksi konsumsi pemerintah terjadi untuk penurunan realisasi belanja barang dan jasa, belanja pegawai turun, dan bansos masih naik 55,87%.

Selain itu, ekspor barang dan jasa terkontraksi 11,66% dan LNPRT -7,76%. Impor barang dan jasa terkontraksi 16,96%, dengan rincian impor barang terkontraksi 12,99% dan impor jasa terkontraksi 41,36%.

Dari kontraksi 5,32% pada kuartal II-2020, konsumsi rumah tangga mencatat kontraksi terdalam sebesar -2,96 persen, diikuti investasi -2,73%, konsumsi pemerintah -0,53%, konsumsi LNPRT -0,10%, dan lainnya -1%. (R02)

Artikel ini sudah tayang di  CNBC Indonesia

Halaman :

Berita Lainnya

Index