Di India Mayat Bergelimpangan, Obat Menipis, Oksigen Habis, Ratusan Ribu Positif Corona

Di India Mayat Bergelimpangan, Obat Menipis, Oksigen Habis, Ratusan Ribu Positif Corona
Jenazah pasien virus Covid-19 di India menunggu untuk dikremasi. (Foto: PTI)

HARIANRIAU.CO -  Ini bahan renungan bagi warga yang masih nekat mau mudik. Sebelum memutuskan beli tiket, tolong tengok dulu kondisi yang terjadi di India. Negara Bollywood itu, kini sedang dilanda tsunami Corona gelombang kedua. 

Ratusan ribu orang terpapar. Ribuan orang meninggal setiap harinya. Rumah sakit kewalahan. Oksigen yang digunakan untuk menyambung nyawa, habis. Mayat pun bergelimpangan hingga dibakar di jalan-jalan. Semoga, Corona di Indonesia yang saat ini sedang landai tak ikut ngamuk seperti di India. Amin.

Hingga Selasa (20/4), penyebaran Corona di India benar-benar memprihatinkan. Negara dengan penduduk terpadat kedua di dunia itu, mencatat 295.158 kasus positif baru dalam sehari. Sementara puncak gelombang pertama, September 2020 lalu, jumlah kasusnya berkisar antara 97 ribuan.

Angka kematian juga terus melonjak. Data yang masuk Selasa (20/4), ada 2.023 orang meninggal perhari akibat Corona. Sementara, 7 hari sebelumnya rata-rata 1.495 kasus. Kasus kematian terendah setelah puncak gelombang pertama, berada di angka 70-an kasus kematian dalam sehari.

Seperti apa kengerian badai tsunami Corona gelombang kedua di India? Salah satu gambarannya, terlihat di lokasi pembakaran mayat atau krematorium milik pemerintah Kota Pune. Asap hitam selalu mengepul dari lokasi tersebut. Meskipun masih siang hari, tapi sudah 22 orang dikremasi.

Mayat yang masuk ke krematorium di salah satu kota negara bagian, Maharashtra, India itu, sudah melampaui kapasitas. Sejak lonjakan kematian akibat Covid-19 terjadi, mereka harus membakar hingga 60 mayat dalam sehari. Itu pun belum selesai, meskipun pekerjanya sudah lembur.

Salah satu pekerja, namanya Varum Jangam mengaku kewalahan melihat antrean mayat di krematorium. Enam lemari pendingin mayat di tempatnya bekerja itu penuh. Sehingga mayat-mayat yang terus berdatangan bergelimpangan di luar bersama kerabatnya. Biasanya waktu tunggu hanya 15-20 menit. Kini, bisa mencapai hingga enam jam. Selain itu, harga kayu yang dipakai untuk membakar jenazah juga naik hingga tiga kali lipat. “Banyak sekali mayat yang dibawa ke sini,” keluh Varum, seperti dilansir BBC kemarin.

Krematorium lain, di salah satu kota negara bagian Gujarat, dilaporkan logam tungku gasnya bahkan sampai meleleh. Karena harus terus beroperasi. Tak tertampung di krematorium, dari beberapa gambar yang beredar, mayat bahkan dibakar di trotoar, di luar salah satu pinggiran ibu kota.

Di rumah sakit, kondisinya tidak kalah memprihatinkan. Rumah sakit penuh, satu ranjang diisi hingga dua pasien, bahkan ada yang tergeletak di lantai. Selain itu, pasokan oksigen dan obat-obatan semakin terbatas hingga warga meninggal di ambulans menjadi pemandangan baru yang mengerikan di India.

Situasi gawat ini, terjadi setelah India berhasil membengkokkan kurva kasus Covid-19 jadi landai dalam rentang September 2020 hingga Februari 2021. Pemimpin negara itu, yakni Narendra Modi juga sempat banjir pujian karena dinilai sukses melakukan vaksinasi hingga satu juta penduduk dalam sehari. Bahkan 100 juta dosis vaksin bisa disalurkan dalam 85 hari. Tercepat di dunia.

Setelah itu, masyarakatnya merasa aman. Mereka mulai menghadiri lagi kerumunan seperti festival yang dihadiri oleh jutaan umat Hindu di tepi sungai Gangga, awal bulan ini, tanpa menghiraukan protokol kesehatan. Lalu, diketahui melonggarkan kembali penonton pertandingan kriket tanpa menggunakan masker hingga mobilisasi massa besar-besaran untuk menghadiri kampanye dalam pemilu yang digelar di beberapa negara bagian.

Namun, rasa aman itu ternyata semu. Sejak Maret hingga saat ini, kurva kasus Covid-19 di India terus mendaki tajam. Jumlah kasus harian hingga angka kematian sudah jauh melampaui puncak kasus gelombang pertama.

Bagaimana dengan kasus Covid-19 di Indonesia? Sejauh ini, kasus Covid-19 di Indonesia mengalami tren penurunan. Termasuk angka kematian. Namun pemerintah tetap waspada, jangan sampai lonjakan kasus tiba-tiba terjadi. Salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran Corona, yakni melarang mudik Lebaran. Seperti sebelumnya, angka Corona meningkat tajam paska libur panjang Lebaran, Natal dan Tahun Baru.

Presiden Jokowi berulang kali meminta masyarakat patuh, tidak melakukan mudik. Sebab, ia melihat, tahun lalu, ketika dilarang saja masih ada 11 persen masyarakat yang mudik. Setara dengan sekitar 27 juta orang. Jika tidak dilarang, yang mudik bisa 33 persen.

Hitung-hitungan Jokowi, kalau mudik tak dilarang, jumlah kasus Covid-19 bisa melonjak antara 120.000 hingga 140.000 kasus per hari. “Makanya ini (jumlah pemudik) harus terus ditekan,” tegas Presiden, Selasa (20/4) lalu.

Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman mewanti-wanti agar masyarakat, termasuk pemerintah menyadari situasi yang sangat serius yang terjadi di India saat ini.

“Pesan penting dari situasi di India adalah, pandemi ini nyata terjadi dan sangat serius. Itu pertama. Kedua, Covid-19 ini masih jauh dari akhirnya. Bahkan meski sudah dilakukan program vaksinasi di banyak negara,” kata Dicky dikutip dari Rakyat Merdeka (Rm.id), tadi malam.

Ia berharap kasus Covid-19 yang terus memburuk di negeri Shahrukh Khan itu, tak terjadi di Indonesia. Salah satu momen paling rawan yang harus diantisipasi sejak dini adalah mudik lebaran.

“Saya mengimbau kepala daerah untuk tegas melarang mudik. Jangan kayak di NTB (Nusa Tenggara Barat). Karena Anda mudik, bawa virus. Perlu tindakan lebih riil, bukan hanya imbauan,” sambungnya.

Ia juga meminta pemerintah tidak boleh optimis berlebihan. Meskipun strategi penanganan Covid-19 sudah optimal, tetap harus menggencarkan 3T dan 5M. Apalagi jika belum memadai. “Ini sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan rasa aman yang semu,” pungkasnya. 

Halaman :

Berita Lainnya

Index