Alasan Ladyboy Bisa Diterima di Thailand

Alasan Ladyboy Bisa Diterima di Thailand
Para ladyboy yang mengikuti ajang kontes kecantikan transgender Miss Tiffany di Thailand. (Istimewa)

HARIANRIAU.CO - Jika mendengar kata ladyboy, bagi wisatawan tulen yang senang berpelesiran, tentu sudah paham dan merujuk Thailand tempatnya. Ladyboy terdiri dari dua suku kata bahasa Inggris, lady dan boy yang jika diindonesiakan berarti perempuan dan laki-laki.

Di Indonesia, ladyboy lazim disebut waria atau wanita pria. Mereka juga kerap disebut secara sarkastis atau kasar dengan sebutan ‘bencong’ atau ‘banci’. Tipikal atau ciri khas ladyboy dapat dilihat dengan jelas, secara fisik mereka laki-laki namun dandanan dan kelakuan mereka yang gemulai dan ‘melambai’ merupakan sifat kewanitaan.

Bagi warga Thailand, ladyboy tidak diantipati dan dipersekusi seperti di kebanyakan negara lain, seperti Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Apa sih sebabnya para ladyboy ini tidak dimusuhi di Negeri Gajah Putih tersebut?

Orang Thailand menyebut para ladyboy dengan sebutan ‘kathoey’, berasal dari bahasa Khmer berarti anak laki-laki sekaligus juga wanita.

Dirangkum Terkini.id dari berbagai sumber, Selasa 6 Juli 2021, seperti dikutip dari theblondtravels.com, setiap kelas di sekolah di sana setidaknya ada satu ladyboy.

Tidak hanya di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, ladyboy juga dapat ditemui di pasar sebagai penjual buah berwajah cantik namun tangannya agak kasar dan suaranya bariton khas pria. Sehingga, hampir di manapun di Thailand dapat ditemukan ladyboy.

Mereka biasanya memutuskan mengubah identitas gendernya saat remaja. Pasalnya, obat hormon dapat dibeli tanpa resep dokter dan tersedia di setiap apotek di Thailand. 

Selain itu, banyak anak laki-laki usia 13-15 tahun yang mulai minum obat tanpa sepengetahuan orang tuanya lantaran mereka ingin terlihat feminin layaknya wanita tulen.

Yang mengejutkan, biasanya orang tua di sana pun tidak bereaksi saat anak mereka mulai berperilaku seperti anak perempuan. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang alami. 

Komersialisasi ladyboy juga membuat eksistensi mereka semakin terlihat, seperti festival ladyboy yang setiap hari digelar guna menarik para wisatawan. Festival ladyboy menjadi semacam ikon pariwisata Thailand yang khas dan mendatangkan devisa bagi negara.

Di Thailand menjadi 'salah kelamin' bukanlah masalah besar, sebab di sana transgender atau transpuan bisa diterima dan ditolerir. Lantas, bagaimana bisa ladyboy ditolerir dalam masyarakat Thailand? Jawabannya adalah kepercayaan yang dianut masyarakat Thailand.

Thailand adalah negara Buddhis dengan 80 persen populasi mempraktikkan ajaran Buddha. Dalam keyakinan mereka, kelahiran mereka sebagai transgender adalah kontribusi dari karma atau dalam agama lain disebut ‘dosa masa lalu’. Sehingga, saat tumimbal lahir atau reinkarnasi jadilah mereka manusia dengan identitas kelamin yang hablur atau abu-abu, pria tidak tetapi wanita juga bukan.

Orang Thailand percaya ‘citta’ atau istilahnya roh dalam agama lain, tidak hanya bereinkarnasi tetapi harus menerima konsekuensi ‘hukuman’ atau karma buruk mereka di masa lalu sebelum menjadi manusia seperti ini.

Hukuman yang sangat berat menanti mereka yang melakukan pembunuhan atau kejahatan mengerikan lainnya. Sementara itu, bagi mereka yang melakukan ‘dosa’ atau karma buruk kecil seperti prostitusi atau meninggalkan istri yang sedang hamil pada kehidupan masa lampaunya, akan dihukum dengan terlahir sebagai anak laki-laki yang nantinya akan menjadi anak perempuan.

Orang Thailand percaya, ladyboy adalah ‘orang-orang berdosa’ yang ingin menebus dosa-dosa mereka. Sehingga, mereka perlu melakukan hal-hal baik di kehidupan keduanya atau selanjutnya jika terlahir sebagai manusia seperti sekarang ini.

Masyarakat Thailand memperlakukan mereka dengan penuh belas kasihan, menganggap mereka telah melakukan dosa di kehidupan sebelumnya dan berusaha untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga, tidak ada persekusi atau perundungan bagi mereka.

Kendati demikian, ladyboy tetap selalu mendapat pencerahan dari para pemuka agama di sana agar kembali ke jalan yang benar. Tidak dengan memusuhi, menjauhi, bahkan menghina mereka seperti bukan manusia.

“Kami tidak bisa mengubah semuanya, tetapi kami dapat mengendalikan perilaku mereka dan menunjukkan bahwa mereka dilahirkan sebagai pria dan bukan wanita,” terang seorang biksu dalam wawancara dengan The Telegraph.

Beberapa vihara menawarkan program khusus, di mana orangtua dapat mendaftarkan anak-anak mereka dan diajari bagaimana menjadi pria tulen lagi.

Kendati dapat diterima, namun ladyboy juga tidak terlepas dari perundungan meskipun tidak separah dengan negara-negara yang dihuni masyarakat penganut agama non Buddhis. Di Thailand sendiri, mereka hanya diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Mereka memang tidak diintimidasi, tetapi peran utamanya untuk menghibur orang lain sebagai ‘budak’ penghibur, khususnya dalam bidang kepariwisataan di Thailand. 

Selain itu, mereka mengisi bidang-bidang komersial terkait kecantikan seperti pekerja salon, stylist, makeup artist, dancer di kabaret, bahkan pramuria atau pekerja seks komersil (PSK) di distrik-distrik pelacuran di sana.

Di luar sektor pekerjaan tersebut, ladyboy sulit diterima dengan gaji yang mumpuni lantaran mereka hanya dianggap warga kelas dua.

Uniknya, sekalipun mereka ladyboy yang notabene beridentitas ganda, namun mereka tetap harus mengikuti wajib militer (wamil). Kendati demikian, aturan kewajiban mereka sebagai tentara lebih banyak termentahkan alias formalitas belaka.

sumber terini.id

Halaman :

Berita Lainnya

Index