Pandemi dan Etika Lingkungan

Pandemi dan Etika Lingkungan
Penulis : Claudio Palapa Nusa, S.I.Kom. Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.

HARIANRIAU.CO - Pandemi COVID-19 saat ini telah memaksa kita untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan alam. Kita manusia adalah bagian integral dari alam dan sistem yang melekat padanya. Alam adalah ruang dimana faktor biotik dan abiotik berinteraksi. Kehidupan manusia akan selalu dipengaruhi oleh ekosistem di sekitarnya, mulai dari mikro-organisme hingga iklim makro.

Kita bisa dihancurkan oleh entitas biologis, seperti wabah penyakit yang menyebar cepat dengan dampak mendadak dan korban besar, serta dampak jangka panjang dari perubahan iklim. 

Oleh karena itu, sekarang adalah waktu yang tepat untuk merenungkan pendekatan kita terhadap alam. 10 Agustus telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Hari Pelestarian Alam Nasional. Hari dimana kita dapat merefleksikan kembali upaya kita untuk melestarikan alam di Indonesia.

Peristiwa-peristiwa ini dengan jelas menggambarkan bahwasanya saling ketergantungan kita dengan jaringan kehidupan di bumi. 

Kita mungkin sampai pada pertanyaan yang sangat eksistensial, apa nilai manusia di planet ini? Sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi dan berada di tingkat teratas rantai makanan, manusia mengeksploitasi alam dan mengubah setiap jejak muka bumi.

Industrialisasi dan globalisasi benar-benar menyatukan kita sebagai perlombaan menuju kemakmuran. Namun, globalisasi juga dapat menjadi sarana penyebaran dan pengembangan komponen biologis negatif (bagi manusia). Pandemi COVID-19 adalah contoh nyata.

Perubahan lingkungan hidup global disebut sebagai the Great Acceleration. Momen penanda masuknya Bumi pada era Antroposen, manusia sebagai agen utama yang mengubah sistem Bumi secara signifikan. Akibatnya, Bumi kehilangan kestabilan, mengarah pada kondisi terra incognita [tidak diketahui tujuannya].

Antroposen menunjukkan keterbatasan hukum lingkungan, mencegah manusia tidak melewati batas-batas ekologis yang dapat merusak sistem Bumi itu sendiri.

Pada konteks COVID-19, tidak bekerjanya hukum lingkungan berakibat terjadinya perusakan habitat alami satwa liar beserta perdagangan ilegal. Pada gilirannya, memungkinkan terjadinya perpindahan penyakit dari satwa liar ke tubuh manusia. COVID-19 harus dilihat sebagai bagian kecil Antroposen.

Lockdown dan physical distancing merupakan respon paling lazim diambil oleh pemerintah di banyak negara menghadapi situasi pandemi COVID-19. Cara ini dinilai tidak hanya efektif mencegah penularan corona lebih luas, tetapi juga berdampak tidak langsung dengan berkurangnya kegiatan manusia. Termasuk, aktivitas ekonomi yang selama ini menjadi sumber berbagai permasalahan lingkungan.

Sampah plastik, limbah medis, polusi deterjen, serta konsumsi air diprediksi mengalami peningkatan. Prinsip kehatian-hatian [precautionary principle] juga dilewatkan dalam kebijakan penyemprotan disinfektan massal, padahal kita belum tahu apa dampaknya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 

Eksploitasi alam juga dapat kita rasakan yang memiliki landasan dan nalar filosofis yang kuat, yaitu untuk kepentingan umat manusia. Namun, ketika bencana ekologis terjadi, alam dikatakan tidak bersahabat. Padahal kita sendiri yang merusaknya. 

Salah Satunya Persaingan antar manusia untuk mengekstraksi sumber daya alam sebenarnya menunjukkan bahwa alasan dan rasionalitas yang mendukung eksploitasi adalah tabir kapitalisme.

Ya, kita membutuhkan kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi alam perlu berkelanjutan. Keberlanjutan pada akhirnya juga menguntungkan manusia.

Rasa pertimbangan kita terhadap alam harus dibangkitkan. Fondasi pembangunan harus digeser dari antroposentris ke ekosentris. Manusia hanyalah bagian dari alam, dan bukan satu-satunya yang harus selalu diprioritaskan. Oleh karena itu, kita benar-benar perlu memikirkan kembali pendekatan kita terhadap alam.

Masa pandemi COVID-19 dapat menjadi momen perenungan global di antara manusia. Saatnya kita semua berubah agar kita dan alam bisa saling mendapatkan feedback yang positif dan terus berkelanjutan hingga ke anak dan cucu kita nanti. 

 “The earth is a fine place and worth fighting for” (Bumi adalah tempat yang baik dan sangat layak untuk diperjuangkan).

Halaman :

Berita Lainnya

Index