Aidit, PKI dan Agama Sebagai Candu

Aidit, PKI dan Agama Sebagai Candu

HARIANRIAU.CO, PEKANBARU - Sejatinya kejadian ini sudah agak lama. Pada sekitar awal 1990-an, melalui surat pembaca di Majalah Al Muslimun, Bangil, seorang sarjana sejarah bernama Abdul Rojak ‘marah-marah’ kepada Kuntowidjojo. 

Pasalnya orang yang mengaku sebagai pemerhati sejarah Islam di Indonesia tersebut tidak menerima sang budayawan menyebut “Ikhwanul Muslimun sebagai kepunyaan Partai Komunis Indonesia (PKI)” dalam buku legendarisnya: “Paradigma Islam, Intepretasi untuk Aksi”.

“Saya kecewa. Apa maksudnya Pak Kunto menyebut organisasi Islam terkemuka di dunia tersebut sebagai kepunyaan PKI?” tulisnya.

Lama sekali surat itu tak berbalas. Entah karena Kuntowidjojo tak membaca Al Muslimun atau karena hal lain (terlebih saat itu ia diberitakan sedang sakit keras). Yang jelas, klarifikasi darinya tak kunjung tiba.

Hingga sekitar 2 bulan kemudian, penerangan itu pun muncul juga. Namun datangnya bukan dari Kuntowidjojo, tapi dari budayawan Sunda Ajip Rosidi. Ajip membenarkan bahwa pada era kejayaannya sekitar 1960-an, PKI memang memiliki sebuah sayap agama yang bernama Ikhwanul Muslimun.
 

“Saat itu, suatu sayap agama lumrah dimiliki oleh sebuah partai politik. Misalnya PNI yang saat itu juga memiliki sayap agama bernama Jamiatul Muslimin,” ujar Ajip yang menuliskan penjelasan itu saat ia tengah berada di Jepang.
 

***

Kemarahan Saudara Abdul Rojak terhadap Kuntowidjojo tentunya bukan tanpa alasan. Sejak 1985 hingga 1997, hampir setiap tahun orang-orang Indonesia “merayakan” kekejaman PKI lewat layar kaca.

Bagi kita yang hidup di era 1990-an, tentunya tak akan pernah lupa bagaimana suara lelaki berparas beku dengan kepulan asap rokok di mulutnya dalam kata-kata khas “Djakarta adalah kunci…” atau “Hari-hari besok adalah hari-hari tindakan…”

Ya, Dipa Nusantara Aidit adalah salah satu sosok antagonis sejarah yang dicekokan oleh rezim Orde Baru kepada generasi muda 80-an hingga awal 90-an.

Saya pernah mendengar langsung seorang guru sejarah di Cianjur, dalam mimik benci pernah menyebutnya sebagai pimpinan komunitas anti Tuhan yang licik dan kejam.
“Dialah yang menyuruh Letnan Kolonel Untung untuk membunuh para jenderal,” katanya di hadapan murid-muridnya saat itu.

Namun sejatinya, sosok Aidit tidak sesederhana seperti yang dikatakan sang guru sejarah tersebut. Alih-alih tumbuh sebagai seorang yang anti agama, era 1930-an, Aidit muda malah dikenal sebagai seorang muadzin (tukang adzan) di lingkungan tempat tinggalnya yang terletak dalam wilayah Jalan Belantu, Belitung. 

“Karena suaranya keras, dia kerap diminta mengumandangkan adzan,” ujar Murad Aidit kepada MajalahTempo pada 2007.

Murad merupakan salah satu adik Aidit. Putera ketiga dari Abdullah Aidit yang konon merupakan aktivis partai Islam Masjumi di Belitung.

Uniknya, saat Aidit sudah menjadi aktivis PKI pada 1948, ia pun menikahi Soetanti secara Islam. Dan tak tanggung-tanggung, penghulu yang menikahkan mereka adalah KH. Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo.

Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama.

Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang, ia menyatakan : “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya seperti dikutip oleh Remy Madinier dalam Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.

Menurut penulis Prancis tersebut, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato.

Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya: “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.”  (riau24)

Halaman :

Berita Lainnya

Index