Kisah Wanita Afganistan yang Nekat Terobos RI Tanpa Paspor untuk Mencari Suami

Kisah Wanita Afganistan yang Nekat Terobos RI Tanpa Paspor untuk Mencari Suami
Frista Haedari warga Afganistan bersama putrinya Hasnah Haedari yang nekat mencari suaminya masuk ke Indonesia meski tanpa memiliki paspor. Foto Koran

HARIANRIAU.CO - Perjuangan Frista Haedari bersama putrinya Hasnah Haedari yang masih berumur 4,6 tahun terbilang berani. Karena warga Afganistan itu nekat mencari suaminya dari Afganistan masuk ke Indonesia meski tanpa memiliki identitas resmi seperti paspor atau identitas lainnya.

Kepala Subseksi Penindakan Keimigrasian Kanim Manado Hendrik Rompis menjelaskan, Rabu 21 Maret 2018 sekitar pukul 07.00 Wita, Seksi Pengawasan dan Penindakan (Wasdakim) Kanim Manado kedatangan dua tamu perempuan tidak diundang mengaku dari Afghanistan.

Meski demikian hari itu dia menyapa tamu tersebut seperti biasa karena menganggap bahwa kehadiran orang asing di Kanim ialah untuk memohon pelayanan izin tinggal atau memiliki masalah yang perlu penanganan Seksi Wasdakim.

“Rupaya setelah komunikasi seadanya karena dia tidak bisa berbahasa Inggris dan hanya bisa berbahasa Fastun Afganistan, mengaku sebagai pencari suaka dan ingin menjadi pengungsi mengikuti suaminya Muhammad Yasin Haidari yang sudah 2 tahun tinggal di Rudenim Manado dan sebelumnya tinggal di Rudenim Makassar selama 2 tahun juga,” jelasnya, Senin (26/3/2018).

Kemudian, Friece Sumolang Kakanim Manado dalam keterangannya menyampaikan, setelah dimintai keterangan seadanya dan menghubungi International Organization for Migration (IOM) Manado maka memutuskan untuk tidak menangani masalah yang bersangkutan.

Pertimbangannya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomo125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri maka seseorang asing seperti orang itu merupakan tanggung jawab Rudenim untuk menanganinya.

Sedangkan IOM sendiri menolak untuk membiayai segala keperluan pencari suaka/calon pengungsi seperti biasanya selama ini sehubungan dengan adanya kebijakan baru dari negara pendonor IOM yaitu bahwa terhitung mulai Kamis 15 Maret 2018, IOM tidak akan membiayai apapun terhadap siapapun yang menyatakan diri sebagai pencari suaka/calon pengungsi yang masuk ke wilayah/menyerahkan diri kepada instansi pemerintah Indonesia setelah tanggal 15 Maret 2018 tersebut.

“Setelah berkordinasi dengan pihak Rudenim Manado maka dicari solusi sementara menghubungi mitra Rudenim selama ini yaitu Jesuit Refugess Services (JRS) Manado sehingga akhirnya kedua orang tersebut diistirahatkan di suatu tempat penampungan atas biaya JRS sampai dengan hari ini, Senin 26 Maret 2018 dan masih tetap di bawah pengawasan Kanim Manado,”terangnya.

Sementara itu, Dodi Karnida Kepala Divisi Imigasi Sulawesi Utara menyatakan pendekatan terhadap masalah ini memang harus hati-hati dan mungkin lebih menonjolkan kepada unsur kemanusiaan. Sebab kata dia, kalau tidak hati-hati sepertinya akan mengalami kesulitan dalam arti bahwa mereka ini tidak memiliki paspor atau identitas lainnya, mengaku bernama Frista dan Hasnah tetapi kan tidak ada dokumen pembanding untuk kepentingan verifikasi.

“Demikian juga mengaku sebagai warga negara Afganistan tetapi belum tentu Kedutaan Afganistan mengakui mereka sebagai warga negaranya,”jelasnya.

Menurut Dodi, Jumat 23 Maret yang lalu mereka sudah dipertemukan dengan suami/bapaknya yang sudah berstatus sebagai pengungsi dan tinggal di Rudenim Manado selama 2 tahun dan dia sudah memberikan petunjuk kepada Kanim Manado menyerahkan kepada Rudenim Manado untuk difasilitasi agar dapat tinggal berdekatan dengan suaminya yang tinggal didetensi di Rudenim.

“Ini adalah pendekatan kemanusiaan yang kami lakukan. Saat ini kebijakan dunia internasional terhadap pengungsi asing menjadi lebih ketat lagi sejalan dengan situasi internasional,” katanya.

Selama ini pengungsi yang tinggal di Indonesia diambil oleh negara ketiga seperti Australia, Selandia Baru dan Kanada berjumlah sekitar 300-400 orang per tahun. Mulai tahun 2018 ini menurut UNHCR kuotanya mungkin hanya tinggal 30-an orang padahal pengungsi yang ada di Indonesia saat ini jumlahnya ada sekitar 6.000-7.000 orang.

“Ini artinya mereka yang memiliki kualifikasi yang bermutu saja yang akan diambil sehingga yang lainnya diharapkan dapat pulang ke negaranya masing-masing secara sukarela dan terhadap yang seperti ini maka IOM akan memfasilitasinya mulai dari penyediaan dokumen perjalanan, biaya tiket kendaraan dan biaya akomodasi serta modal awal untuk memasuki kehidupan baru di negaranya,” timpalnya.

Masih menurut Dodi, kedatangan ibu dan anak Afganistan ini ke Manado dapat dipastikan memang telah diatur oleh sindikat internasional.

Karena dari hasil pemeriksaan, dia mengaku berangkat dari Afganistan ke India dan terus ke Jakarta via Kualalumpur dengan pesawat terbang.

“Dia mengaku hanya berdua saja dengan anaknya tetapi kami tidak yakin karena ternyata iapun pernah tinggal di Jakarta selama 7 hari untuk kemudian diatur terbang ke Manado,”ungkapnya.

Pertanyaannya adalah, dokumen apa yang mereka gunakan ketika membeli tiket dan ketika melakukan check in untuk terbang ke Manado. Tentu saja ini ada yang mengatur dan terhadap hal ini pihaknya harus lebih berkoordinasi lagi dengan instansi terkait lainnya termasuk dengan unsur penerbangan agar tidak terjadi banjir pengungsi ke Manado sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2014-2015 yang lalu.

Sementara ini jumlah WNA yang berstatus pengungsi di Manado adalah sebanyak 40 orang dan 16 orang pencari suaka yaitu mereka yang masih belum lulus dari verifikasi UNHCR sebagai pengungsi.

“Sedangkan detensi lainnya di Rusdenim Manado berjumlah 15 orang WN Filipina laki-laki pelaku pelanggaran keimigrasian termasuk 11 orang yang baru dipindahkan dari Kanim Tahuna yang salah satunya ialah eks narapidana illegal fishing yang dipenjara di Lapas Tahuna selama 4 bulan,”pungkasnya.

Sumber: sindonews
Editor: Ragil Hadiwibowo

Halaman :

Berita Lainnya

Index