Telenovela juga Ada dalam Sepak Bola

Telenovela juga Ada dalam Sepak Bola
Ilustrasi

HARIANRIAU.CO - Sepak bola semacam model masyarakat idaman. Diatur oleh hukum yang jelas dan sederhana. Hukum tadi dapat dipahami dan diamati semua orang, dan jika dilanggar ada hukuman langsung kepada pihak yang bersalah.

Lapangan sepak bola pun jadi ruang egaliter yang mengecualikan segala favoritisme dan privilese. Di atas rumput, seseorang dihargai untuk apa yang dia lakukan: keterampilan, dedikasi, daya cipta, dan efektivitasnya.

Sementara nama, uang, dan pengaruh tidak berarti apa-apa ketika harus mencetak gol dan mendapatkan tepuk tangan atau sorakan dari tribun.

Inilah yang menjadi dasar Roberto DaMatta, seorang antropolog asal Brasil, menjelaskan kenapa sepak bola bisa begitu populer. Menurut DaMatta, ada kecemburuan tersembunyi dan nostalgia bawah sadar dalam diri kita untuk sebuah dunia yang harmonis, adil, dan setara.

Tak seperti dunia yang sedang kita tinggali, yang diisi ketidakadilan, kekerasan dan korup.

Sepak bola mengekspresikan keinginan kodrati untuk legalitas, kesetaraan, dan kebebasan. Hal ini menggugah gairah banyak orang di seluruh dunia, memadati stadion, dan mengikuti pertandingan di televisi dengan penuh perhatian dan saling rebut idola-idola sepak bola.

Bagi Albert Camus, sepak bola bukan cuma tontonan, melainkan sarana bermenung – diam sambil berpikir dalam-dalam. Mungkin, Anda sudah bosan beberapa kali baca esai sepak bola pasti ada kutipan Camus. Tapi, saya terpaksa mencomot si filsuf necis ini.

Camus pernah ditanya sahabatnya, Charles Poncet, lebih menyukai mana antara teater atau sepak bola? Tanpa ragu, si filsuf eksistensialis itu mantap menjawab, “Sepak bola!”

Camus percaya para politikus dan agamawan mencoba memusingkan kita dengan sistem moral yang berbelit-belit. Membuat segalanya kelihatan rumit dari yang sebenarnya. Sebab, mereka punya agenda tertentu yang ingin dicapai.

Ia pun menyarankan orang-orang untuk menonton sepak bola, yang menurutnya memperagakan moralitas sederhana.

Ini mengacu pada esai awal yang ditulis Camus bahwa moralitas sederhana itu, misalnya, mengakrabkan diri dengan teman, bermain jujur, dan menghargai keteguhan hati. Tak salah, jika kemudian Camus lebih memilih sepak bola ketimbang teater.

Sepak bola boleh dikata teater, dengan drama lebih gila. Layaknya rombongan teater, sepak bola memadukan bakat individu yang memukau dengan kerja tim tanpa pamrih.

Sepak bola menyedot partisipasi intens dari para penontonnya. Namun, berbeda dengan teater, sepak bola memperkaya kehidupan estetika orang-orang biasa, bukan cuma kalangan intelek yang terbatas.

Sebagian besar orang merasa dijauhkan oleh budaya tinggi. Tapi, setidaknya sekali seminggu mereka bisa menonton penampilan seni yang sublim bernama sepak bola.

Lelaki dan perempuan dari beragam kalangan bisa menampilkan pengetahuan yang menakjubkan ketika mengingat sejarah pertandingan atau membedah keterampilan individu. Seperti teater Bertolt Brecht, permainan ini mengubah orang-orang biasa menjadi para ahli.

Sepak bola menawarkan keindahan, drama, konflik, liturgi, karnaval, dan tragedi. Meski terkesan maskulin, ada sebuah titik dalam sepak bola meleburkan batas gender: pemain sepak bola mengawinkan kekuatan pegulat dengan keanggunan penari balet.

Pengarang dan jurnalis Arthur Koestler pernah mengatakan bahwa ada nasionalisme dan ada nasionalisme sepak bola. Yang terakhir, sebut Koestler, lebih mengikat dan mendalam.

Kapan lagi fans Real Madrid dan Barcelona atau pendukung Persija dan Persib bisa damai, kecuali saat timnas mereka main?

Sepak bola juga memang melahirkan watak kesukuan. Namun, tribalisme ini bentuknya lebih cair dan kosmopolit. Terlebih, untuk orang Indonesia, pada Piala Dunia tahun ini mereka terpaksa harus berpindah ‘kewarganegaraan’. Setidaknya selama 90 menit.

Dalam pertandingan di Grup F Piala Dunia 2018, saya memilih menjadi warga Meksiko dan Korea Selatan. Alasannya sederhana: saya pasang 3 pemain El Tricolor dan seorang Son Heungmin dalam permainan FIFA World Cup Fantasy.

Alasan lainnya lebih poskolonial, Asia dan Amerika Latin harus bisa menjungkalkan kedigdayaan Eropa.

Para pemain Korea Selatan memang tak serupawan para idol. Tapi tetap saja, kegemilangan industri hiburan ‘Negeri Ginseng’ bisa menyulap banyak massa untuk menjadi pendukung tim wakil Asia ini.

Setelah menerima dua kali kekalahan, Korea yang melawan Jerman serupa David bertemu Goliath. Pertandingan antara Jerman dan Korea berjalan monoton selama 90 menit.

Namun, penonton sepak bola modern adalah dia yang menatap lapang sekaligus mengokang ponsel. Notifikasi dari grup WhatsApp terus berbunyi. Seorang teman yang sedang tinggal di Jerman mengabarkan kalau jadwal kereta sampai batal berkat adanya pertandingan tersebut.

Toko-toko memasang diskon 10% per gol yang bisa dicetak Jerman. Kawan saya ini ancang-ancang buat belanja, tentu saja.

Namun, serangan-serangan Jerman bisa ditepis, sementara Korea pun sama menyerang. Berkali-kali Son mendapat peluang, berkali-kali pula saya mengumpat. Di grup WA, saya mengingatkan soal mitos para jawara Piala Dunia yang bakal terjungkal di fase grup.

Waktu 90 menit akan usai. Meksiko dibobol tiga gol oleh Swedia, sementara Jerman dan Korea tampak bakal berbagi poin. Teater sebenarnya justru baru dibuka pada menit akhir. Gol tercipta, dianulir wasit, namun VAR mengesahkan. Tragedi buat Jerman.

Tragedi kembali terjadi pada menit-menit akhir perpanjangan waktu. Kali ini dengan tambahan komedi. Son yang dari tadi gagal menjebol, kali ini bisa menyumbang gol yang begitu komikal. Saya sampai loncat kegirangan.

Ternyata, bukan hanya saya dan pendukung Korea Selatan yang bersuka ria atas drama ini. Setelah kalah, pendukung Meksiko berduyun-duyun jadi fans Korea. Mereka memerlukan kekalahan Jerman.

Di linimasa, dipacak beragam euforia pendukung Meksiko atas kemenangan Korea. Banyak orang Meksiko berterima kasih, bahkan berjanji bakal jadi fans K-Pop.

Sepak bola memang sebuah teater, yang lebih populer dan merakyat. Sebuah telenovela dengan akhir yang manis bagi Meksiko, dan drama Korea yang membuat jutaan pendukung Jerman menitikkan air mata.

Halaman :

Berita Lainnya

Index