Tindakan Kriminal dan Kekerasan Seksual, Potret Buram Revolusi Kemerdekaan

Tindakan Kriminal dan Kekerasan Seksual, Potret Buram Revolusi Kemerdekaan

HARIANRIAU.CO - Jangan pernah berpikir bahwa narasi sejarah setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, diwarnai dengan kondisi yang serba heroik seluruhnya. Masa sesudahnya atau biasa disebut sebagai era revolusi kemerdekaan adalah masa yang juga diwarnai kekacauan.

Sesudah berita proklamasi kemerdekaan tersebar, di beberapa daerah meletus gejolak sosial. Semua tatanan yang sebelumnya menjadi acuan, dijungkirbalikkan. Semua orang yang dianggap mendukung Jepang dan Belanda, bergaya hidup ke-Belanda-an, struktur sosial peninggalan kolonial diperangi.

Proklamasi bagi sekelompok masyarakat di Indonesia diterjemahkan sebagai momentum bebas melakukan tindakan balas dendam akibat kehidupan yang menghimpit pada masa sebelumnya. Dalam situasi itulah, para jawara atau jagoan lokal ikut menentukan gerakan tersebut.

Maka, masa revolusi sebagai periode menentukan berdirinya Republik Indonesia, ternyata diwarnai berbagai tindak kriminal, seperti pelecehan seksual dan perampokan, mempermalukan mereka yang dianggap sebagai pendukung penjajah (Jepang dan Belanda), hingga pembunuhan sewenang-wenang.

Tindak kriminal selama revolusi berdampak buruk bagi citra Republik Indonesia yang baru lahir. Bisa dipahami apabila mereka yang diperlakukan sewenang-wenang, menjadi sangat kecewa dan tidak simpatik dengan para pendukung proklamasi 17 Agustus 1945 atau biasa disebut kaum republiken.

Potret buram itu antara lain digambarkan Anton E Lucas dalam buku berjudul “Peristiwa Tiga Daerah” (1989). Masyarakat di sekitar Karesidenan Pekalongan (Pekalongan, Tegal, Brebes) menerjemahkan proklamasi dengan mengganti dan menghapus semua yang berbau penjajah.

Insiden berlangsung sejak 8 Oktober hingga November 1945. Ribuan massa dengan beringas turun ke jalan sambil membawa kaleng, tong, kentongan, yang dibunyikan. Arak-arakan dengan memukul alat yang mereka bawa tersebut kemudian dinamakan “Aksi Dombreng”.

Mereka mendatangi pamong praja yang dianggap sebagai representasi penjajah seperti wedana, camat, kepala desa, pegawai, tentara, hingga polisi. Mereka menangkap, mengarak, mempermalukan, lalu memaksa melepaskan jabatan. Bahkan, sebagian juga dibunuh.

Tak hanya pamong praja setempat, dua orang utusan Komite Nasional Indonesia (KNI) bernama Maryono dan H Ikhsan yang berusaha menenangkan massa, juga ditahan dan dibunuh di Markas Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Talang.

Aksi massa dan pembunuhan tersebut tak bisa dilepaskan dari peran seorang tokoh bernama Kutil. Ia dikenal sebagai lenggaong (sebutan jawara atau jagoan) di daerah itu. Bersama sejumlah tokoh aliran kiri (komunis), Kutil mendirikan AMRI Talang.

Dalam rangkaian peristiwa tersebut, nasib tragis juga menimpa RA Kardinah, salah satu adik RA Kartini. Pada 13 Oktober, massa merangsek ke Kadipaten Tegal untuk mencari Bupati Sunarjo, menantu RA Kardinah.

Bupati Sunarjo tidak ditemukan. Massa kemudian menahan semua anggota keluarganya, termasuk RA Kardinah yang kala itu sudah berusia 64 tahun.

RA Kardinah dipaksa mengenakan pakaian goni lalu diarak keliling kota. Konon, ia kemudian berpura-pura pingsan dan tidak diarak lagi, sehingga bisa selamat. Peristiwa itu menjadi pengalaman traumatik yang terus dibawa hingga ia meninggal pada 5 Juli 1971.

Kejadian serupa juga terjadi di sekitar Depok (Sekarang menjadi kota Depok, Jawa Barat).

Dalam buku Tri Wahyuning M Irsyam berjudul “Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990an" (2017), gejolak sosial tersebut dinamakan “Peristiwa Gedoran”.

Sejak 7 Oktober 1945, massa pemuda berjubel turun ke jalan sambil membawa bendera Merah Putih. Mereka mendatangi rumah Asisten Wedana Depok. Rumah itu kemudian dijarah. Rumah lain di sekitarnya juga tak luput menjadi sasaran perampokan.

Pemuda dan gelandangan juga menyerbu gudang pangan di Depok. Dalam aksi ini, tak kurang dari sepuluh orang yang dianggap berbau Kolonial Belanda dibunuh. Orang-orang Belanda Depok, Eropa, Indo, dan sejumlah pribumi beragama Kristen ditangkap dan ditahan di belakang Stasiun Depok. Tak peduli pria, wanita, ataupun anak-anak, semua ditelanjangi dan digiring menuju Bogor.

Sementara dalam catatan Gert Oostindie berjudul “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950” (2016), dinyatakan bahwa orang Eropa yang ditangkap selama revolusi tidak hanya disiksa, tetapi juga disertai pemerkosaan. Korban yang dibunuh berkisar antara 3.500 sampai 20.000 jiwa.

Korban selama gejolak sosial pascaproklamasi tidak hanya orang Eropa mantan interniran tentara Jepang. Orang-orang Ambon, orang Tionghoa kaya, dan Indo, juga menjadi sasaran. Demikian dalam catatan Mischa de Vreede dalam buku “Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui” (2013).

Nasib tragis lainnya dialami penyair Poedjangga Baroe, Tengku Amir Hamzah. Dalam catatan Tengku M Lah Husny berjudul “Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah” (1978), ia dibunuh dan dikubur secara massal bersama 26 orang lainnya pada 20 Maret 1946.

Selain sebagai penyair, Amir Hamzah juga dikenal sebagai Pangeran Kesultanan Langkat Hilir (sekarang masuk Kabupaten Langkat, Sumatera Utara). Sebenarnya, pada 5 Oktober 1945, Kesultanan Langkat menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Namun, karena selama masa Kolonial Belanda semua kesultanan dianggap mendukung Kolonial Belanda, maka semua kesultanan di Sumatera Utara tak luput menjadi sasaran amukan laskar-laskar rakyat Volksfront, yang di antaranya dimotori oleh Partai Komunis Indonesia di Sumatera Utara.

Selama gejolak sosial berlangsung, Kesultanan Langkat, Asahan, Koewaloe, Karo, Simalungun, Bilah, dan Pinang, diserang dan dijarah. Banyak keluarga Sultan diculik, dianiaya, dan dibunuh. Bahkan, kedua putri Sultan Mahmoed Abdoel Jalil di Kesultanan Langkat, diperkosa di depan ayahnya.

Halaman :

Berita Lainnya

Index