PILU... Dengar Kata Tsunami, Perempuan Itu Langsung Menutup Wajah dan Menangis

PILU... Dengar Kata Tsunami, Perempuan Itu Langsung Menutup Wajah dan Menangis
Antrian korban gempa-tsunami Palu menunggu pesawat di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri yang bisa membawa ke Makassar

HARIANRIAU.CO - Duka dan trauma akibat gempa-tsunami di Palu sepertinya meninggalkan bekas yang teramat dalam bagi para korban. Sampai dengan Senin (1/10/2018), Kota Palu masih menjadi kota mati sejak diguncang gempa-tsunami pada Jumat (28/9) lalu.

Bagi mereka yang selamat, memilih pergi dan berbondong-bondong ke Bandara Mutiara SIS Al-Jufri menuju kota lain yang masih memungkinkan untuk dituju.

Salah satunya adalah Makassar di Sulawesi Selatan.

Sisa-sisa kerusakan yang ditinggalkan gempa maha dahsyat itu begitu jelas membekas di Bandara Mutiara Al-Jufri, Palu.

Pintu utama bandara itu, di bagian tengah, rusak parah. Pecahan kaca berserakan memenuhi lantai. Plafon-plafon berjatuhan dari atas. Kondisinya memang parah.

Kondisi rungan utama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, usai diguncang gempa. Foto JPG

Kondisi rungan utama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, usai diguncang gempa. Foto JPG

Tak jauh dari landasan pacu sudah banyak orang berjubel. Mereka adalah warga yang selamat dari gempa dan tsunami.

Lantaran pintu utama rusak parah, praktis hanya ada dua pintu yang bisa digunakan. Yakni di sisi Barat dan Timur.

Di kedua pintu itu, sudah banyak orang yang ingin berebut masuk ke dalam landasan pacu. Mereka ingin segera dievakuasi, ke mana saja.

Asal bisa segera meninggalkan Palu.

Salah seorang pengungsi gempa Palu, Rahmi, tak kuasa menahan tangis setelah dirinya berhasi menerobos kerumunan warga lainnya menuju pesawat Hercules di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Foto JPG

Salah seorang pengungsi gempa Palu, Rahmi, tak kuasa menahan tangis setelah dirinya berhasi menerobos kerumunan warga lainnya menuju pesawat Hercules di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Foto JPG

Trauma mendalam memang sangat dirasakan oleh mereka. Selamat dari bencana, bukan berarti hidup mereka tenang.

Bayang-bayang bangunan runtuh, jalan terbelah, jembatan roboh, hingga gelombang pasang yang naik ke daratan benar-benar menghantui mereka.

Saking traumanya mereka, mendengar kata ‘tsunami’ saja sudah bisa membuat mereka menintikan air mata.

Seperti perempuan paruh baya yang ditanya oleh wartawan Jawa Pos saat ditemui di bandara tersebut soal bencana yang baru saja terjadi itu.

Tak ada jawaban. Hanya kedua tangannya yang langsung ditutupkan ke wajahnya.

Disusul air mata yang jatuhh cukup deras diiringi sesenggukan.

Bandara Mutiara SIS Al-Jufri yang mengalami kerusakan itu sendiri sudah penuh sesak oleh para pengungsi.

Kabarnya, mereka menunggu giliran pesawat Hercules. Informasi yang diterima Jawa Pos, sehari maksimal ada tiga pesawat yang bisa mengangkut para pengungsi itu.

Praktis, semua burung besi yang membawa para korban itu terbang saat matahari masih menyapa.

Saat malam, para warga yang belum terangkut menanti dan berisitirahat di tenda-tenda darurat di sekitar area bandara.

Kondisi kota Palu usai diguncang gempa dan diterjang tsunami

Kondisi kota Palu usai diguncang gempa dan diterjang tsunami

Situasi yang sama juga terlihat, Senin (1/10). Bahkan para pengungsi semakin banyak menyesaki Bandara Mutiara SIS Al-Jufri.

Kebanyakan mereka jalan kaki puluhan kilometer. Mereka tidak hanya berasal dari Palu, tapi juga kabupaten-kabupaten lainnya.

Hotel Roa Roa dan Bandara Mutiara SIS Al-Jufri berjarak sekitar 6 sampai 7

km. Untuk menuju ke sana, harus menumpang warga yang membawa motor dan harus berganti tiga kali tumpangan. Itu juga kalau beruntung.

Mereka yang membawa motor ini juga sedang mencari sanak saudaranya. Bandara menjadi harapan mereka. Berharap ada keajaiban.

“Mungkin ketemu di bandara. Mudah-mudahan saja,” kata seorang warga yang membonceng itu.

Bapak paruh baya yang baik hati ini menuturkan, gempa mengguncang Palu tatkala kumandang azan magrib.

Awalnya, lantunan takbir saat azan sama seperti hari-hari biasanya.

Sampai kemudian gempa itu datang, azan yang tadinya bersahut-sahutan antar masjid, sayup-sayup mulai terdengar lirih.

Warga langsung berkerumun, memenuhi jalanan. Tak lama berselang, kawasan pesisir Palu diterjang gelombang tsunami. Seisi kota benar-benar luluhlantak.

Sepanjang perjalanan itu kami terus mengobrol. Banyak warga berjalan kaki ke arah yang sama. Jalanan utama menuju bandara itu banyak yang retak.

Kondisinya malah lebih ramai dibanding saat saya pertama kali menjejakkan kaki di Palu. Para pengungsi itu terlihat letih. Bibir mereka mengering. Kurang minum.

Kondisi perumahan di perumnas Balaroa, Palu yang porak poranda akibat gempa. Foto: Fajar

Kondisi perumahan di perumnas Balaroa, Palu yang porak poranda akibat gempa. Foto: Fajar

Tidak ada bantuan makanan di bandara. Mereka hanya mengandalkan bekal yang dibawa dari rumah.

Tak jarang beberapa diantara mereka saling berbagi minuman. Saling memberi dukungan.

Sama seperti sebelumnya, lansia, perempuan, dan anak-anak diprioritaskan untuk dievakuasi lebih dulu. Tidak sedikit anak-anak itu yang lemas.

Mereka menangis karena berdesak-desakkan. Ada yang sampai digendong ibunya.

Mereka berebut mendapat jatah untuk terbang lebih dulu. Warga sudah tidak ingin lama-lama berada di Palu.

“Kami kelaparan sama sekali tidak ada yang kasih sisa (tersisa, Red). Tsunami sudah bawa semua. Harus tinggalkan dulu ini Palu supaya bisa kasih tenang perasaan,” kata Rahmi (26), satu dari ratusan korban pengungsi yang ditemui di Bandara.

Perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini berjalan tergesa-gesa memasuki landasan pacu bandara.

Bersama dengan putrinya yang berusia 10 tahun, Rahmi sekuat tenanga menerobos kerumunan. Berusaha menjebol barikade penjagaan petugas di pintu sisi Barat.

Rahmi akhirnya mendapat pesawat yang akan mengangkutnya ke Makassar.

“Kalau kita tidak begini, kita tidak bisa tinggalkan dulu Palu. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Hanya berharap supaya bisa naik ke pesawat dalam sini,” ucapnya sembari membawa anaknya berlari-lari di landasan pacu yang retak itu.

Dengan napas tersengal-sengal, Rahmi tidak menyangka bencana datang begitu cepat.

Rumah usaha batako miliknya yang sudah sepuluh tahun dibangun, habis tersapu gelombang. Tempatnya mencari nafkah itu berada di Jalan Yos Sudarso.

“Kita (pakai) pakaian di badan saja sekarang sama ambil berapa lembar (uang) yang bisa kita selamatkan,” tambahnya singkat.

Rahmi sebenarnya mengungsi bersama suaminya, Arik. Namun karena perempuan dan anak-anak mendapat prioritas, Arik terpaksa tertahan di luar gerbang pintu masuk Bandara.

Perasaan yang sama juga dirasakan Lusi, 37.

“Tidak ada yang mau lagi tinggal disini, sudah tidak ada apa-apa lagi kita-kita disini,” ungkapnya.

Sampai menjelang magrib, ratusan pengungsi masih bertahan. Bahkan ada gelombang pengungsi yang baru tiba.

Mereka yang seharian berpeluh keringat, harus sabar menunggu pesawat lain tiba esok hari.

Tidak ada daftar nama, siapa-siapa saja yang lebih dulu datang di bandara. Petugas hanya bisa mengatur agar warga tidak berebut. Itupun diatur dengan susah payah.

Para petugas itu sudah mengabdikan dirinya untuk rela berimpitan, ditarik oleh pengungsi yang marah, sampai mendapat bentakan.

Halaman :

#Tsunami Palu

Index

Berita Lainnya

Index