Penghargaan untuk Lima Jurnalis Heroik Peliput Gempa Palu

Penghargaan untuk Lima Jurnalis Heroik Peliput Gempa Palu

HARIANRIAU.CO - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para jurnalis televisi di Palu yang telah memperlihatkan dedikasi dan sisi kemanusiaan yang mulia dalam peristiwa gempa dan tsunami di wilayah Sulawesi Tengah. Penghargaan ini diberikan setelah dengan cermat mempelajari kisah mereka.

Kisah heroik lima jurnalis tv saat terjadi tsunami dahsyat di Pelabuhan Pantoloan telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu. Mereka adalah Abdy Mari (tvOne), Ody Rahman (NET.), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (Radar TV), dan Ary Al-Abassy (TVRI).

Mereka, pada Jumat, 28 September 2018, sekitar pukul 15.00 WITA, turun dari Kota Palu menuju Kecamatan Sirenja di Kabupaten Donggala untuk meliput dampak gempa 5,9 SR yang terjadi satu jam sebelumnya, pukul 14.00 WITA. Kabarnya, ada korban meninggal akibat bangunan ambruk.

Jarak Palu ke Sirenja di Pantai Barat biasanya dua jam perjalanan menyusuri sisi utara teluk. Mereka satu mobil dengan kapasitas tempat duduk tujuh penumpang. Satu jam perjalanan, dekat Pelabuhan Pantoloan menjelang perbatasan Palu-Donggala, pemandangan laut terlihat indah seperti biasanya.

Namun, tiba-tiba mereka merasakan gempa yang sangat kuat. "Saya langsung tarik rem tangan, mobil berhenti di tengah jalan," tutur Ody yang mengemudikan mobil.

"Kami lihat hampir semua pengendara motor di sekitar kami berjatuhan," lanjut Ody.

Mereka langsung turun dan merekam semua peristiwa itu dengan telepon genggam masing-masing. Ada yang sambil menolong orang-orang yang terjatuh. Tiba-tiba terjadi lagi gempa. Dan, ketika melihat ke laut, tampak gelombang tinggi bergerak cepat ke arah mereka. Jemmy Hendrik berteriak, "Itu tsunami!"

Teriakan Jemmy menyadarkan mereka dan semua orang yang mendengar. Ada bahaya besar di depan mata. Semua orang saat itu panik, berteriak. Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang. "Lari.., lari, tsunami, tsunami..!"

"Kami langsung masuk mobil dan putar balik," cerita Abdy. "Kami lihat banyak orang lari ke sana ke mari. Kami buka pintu dan menarik beberapa masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam," kata Ody.

"Sampai di ketinggian yang kami anggap aman, mobil saya hentikan," imbuhnya.

"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada 12 orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu," cerita Abdy.

Panik tak bisa menghubungi keluarga, tapi masih bisa menolong orang.

Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti di dekat Pelabuhan Pantoloan. "Sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan. Di mana-mana terlihat penuh puing," tutur Abdy.

Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk kepentingan berita dan mengabarkan pada dunia tentang apa yang mereka saksikan dan alami sendiri. Sampai kemudian baru tersadar, apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu.

Serentak, mereka mencoba menghubungi Palu. "Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.

"Saya mungkin yang paling galau karena tempat tinggal kami, rumah tua yang rawan runtuh," kata Abdy.

Sekitar 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu. "Kami harus menemui keluarga dan mengirim berita," kata Abdy.

Perjalanan kembali tidak mudah. Melewati puing-puing bangunan yang berserakan, jalan rusak, dan pikiran kacau mengingat nasib keluarga masing-masing. Saat itu, kondisi sudah gelap. Mereka terus bergerak. "Sampai di Kelurahan Mamboro, kami melihat seorang ibu yang terjepit runtuhan bangunan. Kami berhenti dan membawanya ke tempat aman. Tampaknya ada tulang yang patah," tutur Ody.

"Kami sempat terjebak di Kelurahan Layana karena jalan tertutup. Terpaksa berhenti dan menunggu. Beberapa jam kemudian, ada iring-iringan kendaraan Brimob melintas yang membuka akses jalan. Akhirnya, sekitar pukul 23.00 WITA, kami tembus Palu," kata Abdy.

Di Palu, Abdy menghadapi kenyataan keluarganya telah mengungsi. Ketika bertemu, hanya ada istri dan anak pertama. Sedangkan anak kedua, Andra, hilang dengan posisi terakhir yang diketahui berenang di Hotel Golden Palu yang kena tsunami.

Hingga pagi, Abdy mencari Andra. Setelah hampir putus asa, mereka pulang melihat kondisi rumah. Tak lama kemudian, Andra muncul. Anak SD itu rupanya lari ke gunung dan bermalam sendirian di sana hanya mengenakan celana renang. Ada beberapa luka karena ditabrak motor saat lari.

Setelah memastikan keluarga semua selamat, hari itu juga mereka kembali ke 'lapangan'. Bekerja seperti biasa. "Kami baru bisa mengirim berita pada hari kedua melalui saluran yang sangat terbatas. Alhamdulillah," kata Abdy.

Pofesionalisme

Erick Tamalagi, tokoh masyarakat Palu dan salah seorang pendiri IJTI yang tinggal di Palu, mengalami langsung bencana tersebut. Ia turut menjadi saksi bagaimana para jurnalis tv di Palu telah bekerja dengan sangat profesional.

"Apa yang dilakukan teman-teman para jurnalis tv di Palu, menurut saya, adalah kesadaran yang tinggi sebagai seorang jurnalis dan kepala keluarga. Kegigihan terus meliput dan mencari spot untuk mengirimkan gambar di saat jaringan internet sangat terbatas dan membagi perhatian untuk keselamatan keluarga yang berada di pengungsian, adalah perjuangan yang sangat patut kita hargai," kata Erick.

Erick sendiri terus bergerak membantu para korban. Ia mendatangi berbagai lokasi hingga ke pelosok untuk mendistribusikan bantuan. "Puji syukur keluarga saya selamat," kata Erick yang juga mengungsikan seluruh keluarganya ke rumah famili yang lebih aman.

Tokoh muda nasional asal Palu, M. Ichsan Loulembah, juga menjadi saksi kegigihan para jurnalis tv di Palu.

"Para jurnalis menuangkan laporan untuk melayani kemanusiaan dengan profesionalisme yang terjaga. Tanpa lelah, lupa melihat jam, mereka menyajikan suara dan gambar melalui televisi yang amat berarti bagi masyarakat. Hanya ini yang kami punya (untuk mereka): setulusnya ucapan terima kasih," tulis Ichsan.

Ichsan tinggal di Jakarta. Begitu mendengar gempa dan tsunami di kampungnya, ia berusaha pulang. Tiba di Palu pada hari ketiga pasca-tsunami, Ichsan membuka posko 'Sulteng Bergerak' di rumah ibunya, di Jalan Rajawali 24, untuk menyalurkan berbagai bantuan ke seluruh wilayah terdampak.

Halaman :

Berita Lainnya

Index