Pasung, 'Hantu Gentayangan' Bagi ODGJ

Pasung, 'Hantu Gentayangan' Bagi ODGJ

HARIANRIAU.CO - Sodikin yang sekarang bukan Sodikin yang dulu. Jika dulu Sodikin adalah beban keluarga, kini dia merupakan tulang punggung keluarga.

Perjalanan dari 'beban' untuk kemudian menjadi 'tulang punggung' itu harus dijalani Sodikin selama bertahun-tahun lamanya akibat kondisi gangguan jiwa yang dideritanya.

Sebelumnya, Sodikin adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mengalami pemasungan. Dia dikurung di sebuah kandang di luar kediaman keluarganya di Cianjur, Jawa Barat.

Puskesmas yang tidak memiliki fasilitas pengobatan kesehatan mental dan letak rumah sakit yang terlampau jauh membuat keluarga urung memberikan perawatan medis pada Sodikin. Akibatnya, Sodikin menghabiskan lebih dari delapan tahun dalam pasung di kandang.

Baru pada 2016 lalu, Sodikin dibebaskan berkat pendampingan sebuah organisasi masyarakat sipil setempat.

Kini, Sodikin bekerja di sebuah pabrik pakaian sebagai penjahit seragam untuk sekolah khusus pelajar putra. "Sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Sodikin," ujar Sandi, kakak ipar Sodikin sebagaimana disebutkan dalam laporan Human Right Watch teranyar yang dirilis Oktober 2018.

Sodikin hanyalah satu dari ribuan ODGJ yang akhirnya terbebas dari belenggu 'hantu' pasung. Hingga Juli 2018, Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 12.382 ODGJ yang dipasung. Angka itu menurun dari 13.528 pada Desember 2017.

Namun, angka itu sulit untuk didokumentasikan karena pasung kerap terjadi di wilayah-wilayah terpencil. Belum lagi pemasungan ulang yang kerap dilakukan terhadap orang yang telah terbebas dari pasung akibat kurangnya layanan pendukung masyarakat.

Meski telah berhasil ditekan, tapi pemasungan ODGJ masih menjadi 'hantu' yang bergentayangan di Indonesia.

"Pemerintah Indonesia telah berupaya serius untuk mengatasi praktik pasung. Tapi dengan kurangnya pengawasan, belasan ribu ODGJ masih dirantai atau dikurung," ujar peneliti senior HRW, Kriti Sharma.

Dalam laporan sebelumnya pada 2016, HRW menemukan bahwa ribuan ODGJ mengalami pemasungan secara paksa. Kondisi ini bertahan hingga saat ini meski sejak 1977 pemerintah telah melarang praktik pasung. Penyebabnya apalagi jika bukan persoalan stigma dan kurangnya layanan pendukung kesehatan mental.

Jalan Panjang Indonesia Bebas Pasung

Sejumlah institusi telah meneken nota kesepahaman untuk bekerja sama dalam menerapkan larangan pasung yang telah diatur sejak 1977 silam. Penandatanganan itu dilakukan pada 2017 lalu oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kapolri, beserta Organisasi Asuransi Kesehatan Jiwa.

Selain itu, pemerintah juga telah berkampanye untuk mengakhiri praktik pasung dengan Indonesia Bebas Pasung 2019.

Selama dua setengah tahun terakhir, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi praktik pasung. Berbagai program, komitmen, dan target dikeluarkan oleh pemerintah.

Salah satunya adalah program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga milik Kementerian Kesehatan. Sampai September 2018, program ini telah menjangkau 16,2 juta atau sekitar 25 persen keluarga di Indonesia.

Namun, data yang terkumpul menunjukkan bahwa hanya 16 persen pasien dengan gangguan mental dan jiwa yang disurvei memiliki akses ke layanan kesehatan mental.

"Mengintegrasikan kesehatan masyarakat ke dalam perawatan kesehatan dasar sangat penting, tapi itu saja tidak cukup," ujar Sharma.

Untuk mengakhiri pasung, lanjut Sharma, perlu adanya edukasi terhadap masyarakat mengenai kesehatan mental. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan layanan yang lebih dari sekadar pengobatan.

Tak hanya itu, HRW juga menemukan adanya praktik tak semena-mena terhadap ODGJ di sejumlah panti rehabilitasi sosial. Tindakan berupa kekerasan fisik, pengobatan tak sukarela, pemenjaraan, dan pengasingan paksa menjadi hal yang lumrah di sejumlah panti rehabilitasi sosial.

Salah satunya terjadi pada salah satu yayasan sosial yang berada di Brebes, Jawa Tengah. Pada September 2018, ada 50 pasien di yayasan tersebut yang dipasung selama hampir 24 jam sehari.

Mereka juga tak mendapatkan perawatan medis sebagaimana mestinya. Tak ada pula makanan sehat yang mereka lahap. Yang lebih mengkhawatirkan, pasien berisiko menerima kekerasan fisik dari pasien lain atau staf yayasan.

Praktik tak semena-mena itu menunjukkan bahwa ada yang salah dari konsep panti rehabilitasi sosial saat ini. Bukannya membantu menghilangkan pengalaman traumatis, sejumlah panti rehabilitasi sosial malah menambah beban psikologis pasien.

Kurangnya pengawasan dari pemerintah sebagai salah satu penyebab kasus kekerasan dan pemasungan di sejumlah panti rehabilitasi sosial menjadi begitu kentara.

HRW meminta Ombudsman, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk memerintahkan peninjauan rutin terhadap seluruh institusi pemerintah dan swasta.

"Meski ada kemajuan, perjalanan pemerintah masih panjang untuk mengakhiri pemasungan," ujar Sharma.

Halaman :

Berita Lainnya

Index