Mesir Menjadi Kiblat Arsitektur Kubah Pertama dalam Sejarah

Mesir Menjadi Kiblat Arsitektur Kubah Pertama dalam Sejarah
Jamaah Shalat Jumat berfoto di depan bangunan Kubah Sakhrakh di kompleks Masjid Al Aqhsa Yerusalem, Jumat (18/5). Penjajah Israel membuka akses wilaya

HARIANRIAU.CO - Seperti yang diketahui, kubah bukan berasal dari budaya Islam, bahkan Islam tidak mengajarkan secara konkret tata bentuk arsitektur. Secara historis, kubah belum dikenal pada masa Rasulullah SAW, sebagaimana halnya dengan menara dan mihrab. 

Menurut arsitektur terkemuka, Prof K Cresswell, dalam Early Muslim Architecture, desain awal Masjid Madinah sama sekali belum mengenal kubah. Dalam rekonstruksi arsitekturnya, Cresswell menyebut betapa sederhananya masjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW tersebut. Arsitektur awalnya berbentuk segi empat dengan dinding sebagai pembatas sekelilingnya. Di sepanjang bagian dalam dinding, dibuat semacam serambi yang langsung berhubungan dengan lapangan terbuka yang berada di tengahnya.

Sejak diadopsi pada pemerintahan Umayyah, secara umum kubah berbentuk seperti separuh bola atau kerucut yang permukaannya melengkung keluar. 

Berdasarkan bentuknya, dalam dunia arsitektur, ada istilah 'kubah piring' karena bentuk puncak yang rendah dan dasar yang besar. Selain itu, ada pula istilah 'kubah bawang' karena hampir menyerupai bentuk bawang.

Dalam sejarah perkembangan bentuk kubah, peran Kairo tentu tidak dapat dilewatkan. Di sanalah gaya kubah Islam pertama dibangun, tepatnya di paruh kedua abad ke-10, pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Kubah-kubah Fatimiyah berbentuk kecil, bertekstur halus dan identik dengan cat putih hingga putih pekat. Namun kubah-kubah putih itu hanya berkembang di era-era awal, dan lenyap tertelan kemegahan bangunan yang terus bermunculan di Mesir.

Pada saat Dinasti Ayyubiyah, para pengrajin batu membuat terobosan bentuk kubah yang unik. Mengandalkan batu bata halus, mereka membentuk kubah menjadi lebih tinggi, dan menyerupai bentuk oval. Inovasi bentuk kubah ini ditandai dengan kelahiran kubah Mamluk. Kubah Malmuk pertama kali diinisiasi oleh Sultan Mamluk yang memerintah Kairo selama 250 tahun, dan terus dikembangkan oleh turunan Mamluk selanjutnya.

Perkembangan kubah Malmuk yang terlampau mutakhir, mendatangkan perubahan signifikan dalam metode konstruksi kubah. Jika sebelumnya hanya mengandalkan batu bata kecil, kini pengrajin kubah harus menggunakan balok batu besar untuk membuat kubah yang ukurannya dua hingga tiga kali lipat dari sebelumnya. 

Warna kubah yang awalnya putih jernih atau putih pekat, juga mengalami perubahan menjadi abu-abu dan cokelat lembut. 

Bentuk kubah terus mengalami revolusi, mulai dari munculnya kubah bergalur dengan desain memutar, hingga kubah yang dihiasi pahatan rumit. 

Gaya kubah berornamen cukup digemari kala itu, bahkan hingga kini. Ornamen standar dengan pola bintang, bunga atau dedaunan, hingga pola rumit yang abstrak tak pernah gagal membuat kagum siapapun yang memandang. Kreativitas pengrajin Kairo inilah, yang sedikit banyak mempengaruhi arsitektur kubah di negara-negara Islam lainnya, termasuk Indonesia.   

Namun kebanyakan kubah di Kairo tidak diletakkan di masjid, karena memang kebanyakan kubah digunakan sebagai simbol makam raja atau orang-orang penting. Mereka biasanya membangun kubah di atas mausoleum (ruang pemakaman), seperti yang saat ini masih banyak ditemui di pemakaman kuno di utara dan selatan Kairo. Salah satu bangunan berkubah paling megah di Kairo pada abad pertengahan yang dibangun oleh Sultan Barquq dan kedua putranya, Farag dan Abd Al-Aziz. 

Bangunan tersebut terdiri dari dua kamar berkubah besar yang berisi makam keluarga, dengan halaman luas, dan aula besar. Dindingnya tinggi dan dilapisi marmer, dilengkapi lantai berpola mosaik. Meski dipergunakan untuk tempat bersemayam jenazah, namun nilai estetika mausoleum telah diakui oleh banyak pengamat seni dari Timur maupun Barat. 

sumber: republika.co.id | ragil
 

Halaman :

Berita Lainnya

Index