Tidur Tak Teratur Tingkatkan Peluang Obesitas pada Orang-orang Ini

Tidur Tak Teratur Tingkatkan Peluang Obesitas pada Orang-orang Ini
Ilustrasi

JAKARTA - Bukan kali ini saja masalah pada pola tidur dikaitkan dengan risiko obesitas alias kegemukan. Namun perlu dipahami, ini bukan hanya terjadi pada mereka yang kurang tidur, tetapi juga kebanyakan tidur.

Fakta ini dipastikan oleh penelitian terbru yang dilakukan University of Glasgow, Skotlandia. Menurut peneliti, terjadinya abnormalitas pada pola tidur, entah itu kekurangan ataupun kelebihan tidur erat kaitannya dengan peningkatan risiko kelebihan berat badan.

Hanya saja, perlu digarisbawahi bahwa ini hanya berlaku bagi mereka yang memang memiliki kerentanan obesitas secara genetik. Jadi apapun pola makan, riwayat kesehatan dan keadaan sosio-ekonominya, peluang mereka untuk mengalami obesitas tetap tinggi.

Untuk membuktikannya, peneliti mengamati dampak tidur kurang dari 7 jam semalam (short sleep) dan lebih dari 9 jam (long sleep) pada partisipan.

Pada mereka yang memang memiliki risiko genetik obesitas yang tinggi, baik tidur pendek maupun panjang tetap meningkatkan risiko mereka untuk kelebihan berat badan.

Akan tetapi ini tak berlaku jika durasi tidur mereka normal-normal saja. Terbukti, mereka yang tidurnya lebih dari 9 jam rata-rata memiliki bobot 4 kg lebih berat, dan mereka yang tidurnya kurang dari 7 jam berbobot 2 kg lebih berat daripada yang sama-sama memiliki risiko tetapi durasi tidurnya cukup.

Seperti dugaan, keterkaitan antara durasi tidur dengan berat badan pada mereka yang risiko genetik obesitasnya rendah juga tidak terbukti.

"Nampaknya mereka yang berisiko genetik tinggi memang perlu lebih memperhatikan gaya hidup agar bisa mempertahankan berat badannya agar tetap ideal," kata salah satu peneliti, Dr Carlos Celis seperti dilaporkan BBC.

Faktor genetik memang menjadi salah satu pemicu tertinggi dari obesitas, di samping gaya hidup. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di tahun 2006 terungkap, ada 41 genome yang dikaitkan dengan kemunculan risiko obesitas, dengan dampak diperkirakan mencapai 40-70 persen.

Sejumlah penelitian juga mengungkap, ayah yang gemuk dapat 'menularkan' masalah berat badannya lewat sperma, sehingga kelak anak yang dihasilkan juga ikut menggemuk, entah itu pada anak laki-laki maupun perempuan.

Kendati demikian, dr BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia mengatakan 'bibit' tesebut tidak akan tumbuh besar dan berbuah menjadi penyakit jika tidak dipupuk dengan gaya hidup tak sehat dan kebiasaan buruk seperti merokok atau minum alkohol.

"Jadi misalnya gemuk dari anak-anak hingga remaja, tapi setelah usia 20 tahun jadi ramping dan melakukan gaya hidup sehat, bisa juga berkurang risiko mengalami masalah jantung di kemudian hari," tuturnya beberapa waktu lalu. (dtk)

Halaman :

Berita Lainnya

Index